Dari Penerbitan ke Studio Arsitektur: Menghadapi Ketakutan dalam Bekerja (Pt. 3/4)

Juni 04, 2022

Part 1

Part 2

Well, sebagai seorang Perceiver (MBTI), saya sudah memperkirakan berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan Pak Bos menolak ide saya pindah ke studio. Alasan yang berhasil saya prediksi adalah kurangnya tenaga di penerbitan. Tim kami sangat kecil, hanya tiga pegawai plus satu-dua anak magang yang datang dan pergi. Harus diakui tidak mudah mencari orang yang memiliki minat dan keterampilan untuk menulis tentang arsitektur. Kalau saya pindah ke studio, tentu tim kami akan kuwalahan.

Alasan kedua dari Pak Bos yang sebenarnya cukup gamblang tetapi tak terpikirkan oleh saya adalah bahwa core saya ada di literasi. Selama ini saya hanya merasa cukup baik dalam menulis, tetapi tidak pernah sepenuhnya yakin menulis adalah core saya. Mungkin beliau melihat bagaimana selama ini saya dengan yakin selalu berkata tidak ingin menjadi arsitek, tetapi tak ada angin tak ada mendung tiba-tiba ingin pindah ke studio. Pak Bos khawatir saya “keblinger”, terdistraksi pemikiran yang tidak perlu, atau kebanyakan mikir (which mostlikely it is). Beliau juga menyayangkan apabila saya pindah ke studio atau bidang lainnya, perlahan saya akan kehilangan core saya. Beliau berharap saya bisa fokus untuk terus memupuk keterampilan saya tersebut. 

Meski saya tidak diizinkan pindah ke studio, Pak Bos memahami motivasi saya dan membantu meluruskan strateginya. “Jadi, sebenarnya kamu cuma butuh untuk pedagogimu nanti, kan?” 

Yesss, Pak! Betuuul!” saya berseru dalam hati karena akhirnya menemukan penjelasan yang tepat.

“Kalau begitu kamu tidak perlu masuk ke studio sepenuhnya. Training di salah satu hari liburmu sepertinya cukup. Di studio akan berbeda sekali, coba dicicipi dulu,” begitu lanjut beliau.

(FYI, berbeda dari studio atau kantor pada umumnya, penerbitan kami menerapkan masuk bergilir di akhir pekan sehingga saya hanya libur satu hari di akhir pekan dan satu hari lagi di weekday.)

Perasaan saya campur aduk. Ada sedikit rasa sedih karena tidak bisa pindah ke studio dan merasakan pengalaman mendesain sepenuhnya, tapi ada rasa lega karena tidak akan menghadapi itu semua in one blow. Ada juga rasa kecewa karena hari libur saya yang berharga berkurang satu, tetapi hal itu sepertinya bisa diatasi apabila saya mengatur waktu lebih baik dan bisa pulang lebih awal di hari kerja saya.

Di balik itu semua, ada rasa gugup yang bergelantung. Oh my God, it’s happening...

“Ya sudah, silakan nanti ngobrol sama anak studio. Kalau sudah siap kabari saya, ya,” ujar Pak Bos sebelum meninggalkan ruangan.

“Iya, Pak.”

Betapa beraninya saya mengungkapkan ide tersebut pada beliau. Namun, nyatanya butuh waktu satu bulan lebih untuk saya mempersiapkan hati dan mental.


Bersambung...

Part 4/End

You Might Also Like

0 comment

Subscribe