Dari Penerbitan ke Studio Arsitektur: Menghadapi Ketakutan dalam Bekerja (Pt. 1/4)

Juni 02, 2022

Hampir semua anak yang masuk kampus arsitektur ingin menjadi arsitek. Namun, tahukah Anda bahwa hanya 20% lulusan sekolah arsitektur yang benar-benar menjadi arsitek? Banyak teman seangkatan saya banting setir, entah yang 180 derajat seperti perniagaan dan marketing, atau yang masih dekat dengan arsitektur seperti tata kota, desain grafis, dan fotografi. Termasuk saya.

Ada banyak alasan untuk tidak melanjutkan karir sebagai arsitek. Saya sendiri sudah mulai jenuh dengan impian saya sejak saat masih kuliah, meskipun sebagian karena salah saya sendiri. Banyak aspek harus dipertimbangkan saat mendesain, dan ternyata saya tidak cukup terampil untuk memadukan berbagai faktor tersebut menjadi suatu karya. Produk yang harus dihasilkan dalam studios seperti poster, maket, dkk-nya seakan tak pernah habis dikerjakan dan saya yang buruk dalam manajemen waktu ini kewalahan, apalagi saya tidak mahir menggunakan berbagai aplikasi yang digunakan untuk membantu perancangan. Saya menjadi semakin minder karena semua orang terlihat sangat bersemangat berlomba menjadi yang terbaik. Meski under-perform di studio, alhamdulillah nilai saya masih bisa selamat karena ada beasiswa yang harus dipertahankan.

Setelah menyelesaikan tugas akhir, saya kabur dari arsitektur dengan ikut program pertukaran pelajar selama hampir setahun. Di sana saya banyak belajar tentang budaya, sosiologi, pendidikan, dan topik soshum lainnya. Tugas-tugasnya yang berupa esai membawa saya kembali menyelami hobi menulis saya yang terkubur sejak masuk kuliah. Namun, saya masih cinta dengan arsitektur, tapi saya tahu saya lebih senang menulis. Begitu kembali ke Indonesia, saya bekerja sebagai asisten riset dosen tugas akhir saya kemarin, sebuah win-win solution. Hingga akhirnya di tengah pandemi, saya berkesempatan untuk bekerja di penerbitan arsitektur yang sudah lama saya dambakan, tempat saya bernaung hingga sekarang.

Walau tuntutannya tinggi, lingkungan kerja saya cukup nyaman karena memberi saya ruang untuk belajar dan mencoba hal baru sekaligus berkontribusi pada arsitektur Indonesia yang masih rendah tingkat literasinya. Namun, saya mulai berpikir ulang ketika muncul pertanyaan: ke mana saya setelah ini? Tidak ada jenjang karir di tempat kerja saya, dan saya juga ingin kembali ke kampung halaman agar dekat dengan orang tua yang sudah tak sebugar dulu.


Bersambung...

Part 2

 

You Might Also Like

0 comment

Subscribe