[FILM REVIEW] A World Without (2021) - I watched it so you don't have to

Juni 20, 2022

"A World Without" yang rilis Oktober 2021 lalu merupakan film ke-12 yang didistribusikan secara eksklusif oleh Netflix Indonesia. Film garapan Nia Dinata ini mengusung tema distopia di Indonesia tahun 2030. Ceritanya fokus pada sebuah institusi bernama The Light yang mendidik anak-anak muda dengan berbagai keterampilan, kemudian dijodohkan dengan pasangan “terbaik”, lalu dibantu merintis karir atau bisnis sehingga menjadi “agen perubahan” bagi negeri. Namun, tiga sekawan, Salina, Ulfah, dan Tara yang dididik di sana mulai melihat kejanggalan dalam bagaimana institusi ini dijalankan. Mereka berusaha untuk keluar dari The Light, sebelum semuanya terlambat.

Dari trailernya kita mendapatkan kesan futuristik dan art directing yang cukup unik, dipadukan dengan nuansa cult dari audio-visualnya yang sedikit mencekam. Saya sendiri tertarik untuk menonton karena belum pernah melihat format seperti ini dari film dalam negeri. Apalagi sejak beberapa bulan sebelum dirilis, Netflix sudah sangat gencar melakukan promosi untuk film ini, iklannya selalu nongol setiap saya membuka media sosial. Selain itu, ada duet Chico Jericho dan Ayu Sita yang menggawangi film ini dengan berperan sebagai frontmen The Light.

Kalau tidak salah ingat, pada hari film tersebut dirilis, hari itu pula saya langsung menontonnya. Saya tidak menyangka, di hari itu pula saya kecewa. WKWKWK.

Ada banyak alasan mengapa film ini tidak perlu ditonton. Pertama, pembawaan akting dan phase editing-nya terasa kaku. Lebih seperti panggung teatrikal daripada film. Kedua, upayanya memanfaatkan bangunan-bangunan lama sebagai latar memang patut diapresiasi, tetapi treatmen properti dan setnya tidak konsisten. Beberapa terlihat sangat rapi, profesional, dan menjual sesuai tema futuristiknya. Namun, sebagian yang lain terlihat murahan dan tidak meyakinkan. Ketiga, banyak isu ingin dibahas, seperti pergaulan anak muda yang tidak terarah, pernikahan dini, politik konglomerat, women empowermen, dsb, tetapi pada akhirnya tidak ada yang diselesaikan dengan tuntas. Keempat, konteks cerita dalam The Light seakan terlepas dari dunia di sekelilingnya, barangkali karena kurangnya massa dan sumber daya selama proses syuting karena pandemi sehingga koneksi dengan dunia luar hanya digambarkan melalui interaksi di dunia maya.

Kelima, dan yang menjadi alasan tersebesar kenapa saya kecewa dengan film ini adalah ending-nya yang sangat KENTANG, alias menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk salah satunya, “Hah, GINI DOANG??” Semua kejanggalan The Light sudah dipaparkan, tetapi urgensi bahanya tidak terasa dan  sampai akhir kita tidak diberi tahu motif sesungguhnya di balik itu. Padahal itulah yang sejak awal berusaha dijual oleh film ini. Selesai menonton, saya merasa 106 menit saya berlalu dengan sia-sia :"))

Saya jadi bertanya-tanya bagaimana Netflix menyeleksi sebuah film atau series karena bukan kali ini saja saya kecewa dengan produk Netflix Originals, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Terbukti, nama yang besar tidak selalu menjadi jaminan kualitas. Terkadang suatu karya dipilih karena koneksi, atau faktor popularitas aktornya dan tim produksinya saja. Kemunculan Joko Anwar sebagai cameo dalam film ini juga nampaknya karena koneksinya dengan sutradara Nia Dinata dalam berbagai film sebelumnya (“Arisan!”, “Janji Joni”, “Quickie Express”). Kehadirannya di film ini justru semakin menvalidasi ketidakkonsistenan performanya sebagai penulis naskah, terutama sejak dua film terakhirnya, “Perempuan Tanah Jahanam” dan “Gundala” yang kurang memuaskan.

Nilai akhir untuk film ini: 4/10
dan 10/10 untuk marketingnya, WKKWKW

You Might Also Like

0 comment

Subscribe