[DRAMA REVIEW] Thirty Nine (2022) - Tentang Merayakan Kematian

Juni 09, 2022

Thirty Nine <서른, 아홉> (JTBC, 2022)

Begitu melihat aktris Jeon Mi-do di poster drama ini, tanpa ragu saya langsung mengecek trailernya yang waktu itu baru rilis. Drama ini menjadi produksi pertama Jeon Mi-do setelah drama “Hospital Playlist” yang mengenalkannya ke layar kaca, dan saya cukup excited untuk melihatnya mencoba peran baru bersama sutradara lain. Begitu melihat trailernya, saya langsung tertarik karena menceritakan kisah persahabatan tiga wanita lajang di usia 39 tahun—fokus jenjang usia yang jarang saya lihat dikemas dengan nuansa youthful seperti drama ini (biasanya sarat isu perkawinan, perselingkuhan, dan sejenisnya).

Saat akhirnya drama ini tayang, ternyata ceritanya lebih menyedihkan daripada yang digambarkan dalam trailer. Sejak episode pertama, kita sudah diberi tahu bahwa salah satu tokoh utama kita akan meninggal. Tanpa babibu, di episode kedua langsung diungkapkan siapa tokoh tersebut. Namun, justru hal ini yang membuat saya terus tertarik untuk menonton hingga akhir karena artinya tim produksi cukup percaya diri dengan story-telling yang mereka susun untuk menceritakan proses menuju ending tersebut.

Dugaan tersebut terbukti. Setiap episode terajut dengan sangat rapi dan mendalam, membawa kita menyelami setiap lapis emosi yang dihadirkan pada setiap fase yang dialami tokoh-tokoh kita: sejak muncul kabar salah satu dari mereka mengidap kanker stadium akhir, penolakan setiap tokoh terhadap berita tersebut, masa penerimaan, bagaimana mereka “mempersiapkan kematian” tokoh tersebut, hingga akhirnya mereka melepas kepergiannya. Skenario sakit kanker stadium akhir ini sebenarnya plot klise yang sudah sangat banyak kita lihat di film maupun drama Korea, tetapi drama ini berhasil memperlihatkan sisi yang lebih humanis dan realistis, juga diwarnai eksplorasi cara-cara baru dalam menghadapi—atau lebih tepatnya merayakan sebuah kematian: bagaimana mengusahakan kebahagiaan dalam setiap momen hidup, mensyukuri apa yang kita miliki, lalu mengenang orang yang pergi dengan sebaik-baiknya dan mencoba yang terbaik dalam hidup kita sendiri. Jujur, saya pribadi tidak bisa tidak menangis di tiap episodenya.

Drama ini juga dilengkapi beberapa sub-plot dari tokoh lainnya, seperti berhenti dari pekerjaan yang selama ini menghidupi diri, mencoba hal-hal baru, menemukan cinta, dan sebagainya. Yang paling membekas bagi saya barangkali tema anak yatim piatu yang tumbuh dewasa, bagaimana tidak semuanya bertemu dengan keluarga angkat yang dapat memberikan kasih sayang secara tulus, bagaimana setelah mendapat curahan cinta dari keluarga baru pun masih ada kekosongan dalam diri yang membuat mereka ragu untuk mengambil langkah dalam hidup, atau merasa tidak pantas untuk mencintai orang lain. Saya sendiri belum pernah memiliki teman yang merupakan seorang yatim piatu (setidaknya yang saya tahu). Setelah menonton drama ini saya berharap bisa memperlakukan mereka dengan baik apabila diberi kesempatan bertemu.

Plot lain yang terasa sangat relatable bagi saya adalah bagaimana dalam persahabatan tiga orang, terkadang ada satu orang yang terasingkan, terkadang tidak diikutsertakan dalam perbincangan, selalu terakhir dalam mengetahui suatu berita. Saya sendiri pernah berada dalam posisi tersebut yang membuat saya berandai-andai apakah ada yang kurang dalam diri saya sebagai seorang teman. Dari drama ini saya belajar bahwa belum tentu teman-teman kita sengaja berbuat demikian dan tentu semuanya bisa dicari jalan keluarnya apabila kita mau untuk mendiskusikannya bersama.


THE TEAM

Jeon Mi-do di sini menurut saya sangat sukses memerankan tokoh Jeong Chan-Young, seorang guru akting dengan karakter tangguh, ceria, dan paling selow di antara ketiga tokoh utama, berbeda dari karakter Chae Song-Hwa di Hospital Playlist yang upright dan agak kaku. Truly never disappoints.

Drama ini menjadi produksi pertama dengan Son Ye-Jin sebagai cast-nya yang berhasil saya tonton sampai habis. Sebelumnya saya berhenti di tengah saat menonton performanya di Crash Landing on You karena ceritanya terlalu romantis untuk selera saya. Namun, di sini saya bisa bersimpati sepenuhnya pada tokoh Cha Mi-Jo yang diperankannya. Drama ini menjadi penutup karir yang indah bagi Son Ye-Jin sebelum tak lama kemudian menikah dengan Hyun Bin, lawan mainnya di Crash Landing on You.

Senang sekali saya bisa melihat Yeon Woojin di sini memerankan Kim Seon-Woo yang dipasangkan dengan Cha Mi-Jo. Penampilannya sebagai seorang introvert di My Shy Boss sangat memukau. Dengan ditayangkannya drama ini di Netflix, saya berharap ia akan mendapatkan pengakuan publik yang pantas ia terima atas performanya.

Beberapa aktor lain yang saya temui kembali melalui drama ini antara lain, Kang Ae-Shim (1963), Lee Ji-Hyun (1972), dan Kang Mal-Geum (1979). Mereka bertiga sama-sama belum lama memulai karir akting di film dan layar kaca, tetapi konsisten dalam menyusun portofolio dan performanya selalu mencuri perhatian. Seperti Lee Ji-Hyun yang belum lama ini muncul juga di Green Mothers’ Club memerankan guru SD, di sini mendapat peran penting sebagai ibu Jeong Chan-Young; Kang Mal-Geum yang sebelumnya memerankan selir kerajaan yang berwibawa di drama The Red Sleeve, di sini dengan sukses memerankan kakak Cha Mi-Jo yang sangat ceria dan usil; terakhir Kang Ae-Shim yang pertama kali saya temui lewat Be Melodramatic dan setelah itu sering mengambil peran-peran kecil dalam berbagai drama, tetapi beliau punya selera bagus dalam memilih naskah sehingga kehadirannya menjadi salah satu indikasi tingginya kualitas suatu drama, seperti di drama ini ia memerankan kepala panti asuhan.

New face dalam drama ini yang paling mencuri perhatian saya adalah Lee Mu-Saeng yang memerankan Kim Jin-Seok. Karakternya sangat karismatik dan aktingnya saat mengetahui wanita yang dicintainya tak lama lagi akan meninggal sangat menyayat hati. Sedikit berbeda dari tiga aktor yang saya sebut sebelum ini, Lee Mu-Saeng (1980) sebenarnya sudah agak lama memulai karir di layar kaca, tetapi baru akhir-akhir ini mendapatkan peran-peran yang signifikan posisinya. Saya berharap yang terbaik untuk karirnya ke depan.

Hal yang paling membuat saya kehilangan kata-kata saat meriset soal drama ini untuk diulas adalah bahwa Yoo Young-A yang menulis drama ini merupakan penulis naskah film adaptasi Kim Jin-Young: Born 1982 yang cukup fenomenal saat dirilis tahun 2019 lalu. Melihat filmografinya, terlihat perhatian beliau terhadap perempuan yang juga diimbangi dengan sudut pandang laki-laki (sesuatu yang dengan cermat ia tambahkan dalam naskah adaptasi Kim Jin-Young: Born 1982). Terlihat juga ketertarikannya terhadap plot sakit kanker stadium akhir dari naskahnya untuk My Annoying Brother (2016), hehehehe.

You Might Also Like

0 comment

Subscribe