[MOVIE REVIEW] Tazza: One Eyed Jack (2019)

Juni 08, 2022


Saya sudah lama tertarik dengan film ini karena tokoh utamanya diperankan oleh Pak Jungmin, salah satu aktor kesukaan saya yang sedang naik daun saat film ini dirilis. Namun, nampaknya niat tersebut selama ini urung lantaran tema dan genrenya yang bukan selera saya. Film ini merupakan sekuel ketiga dalam instalmen Tazza yang diadaptasi dari komik dengan judul sama yang mengambil inspirasi dari para penjudi profesional di Korea (disebut tazza/tajja). Cerita “Tazza: One Eyed Jack” sendiri fokus pada Do Il-Chul, anak dari tazza legendaris Jjak-kwi yang diajak bergabung dengan sekelompok penipu untuk menjatuhkan seorang pembisnis lewat judi poker. Dalam prosesnya, Il-Chul dipertemukan dengan Ma-Gwi, seorang tazza legendaris yang diduga bertanggung jawab atas kematian ayahnya.

Yang membuat saya akhirnya menonton film ini adalah terlibatnya Lee Kwangsoo, aktor yang belum lama ini dramanya saya bahas. Di sini ia memerankan Kkachi, anggota kelompok penipu yang pandai mengocok kartu, bahkan mengaturnya dalam urutan tertentu untuk menjatuhkan lawan. Ia juga digambarkan sangat percaya diri, berpenampilan menarik, dan menyukai wanita. Wow, sungguh tipe karakter yang jarang kita temukan dalam daftar filmografi Lee Kwangsoo yang sering memerankan karakter clumsy. Setelah menonton film ini, saya terkaget-kaget dengan betapa baiknya Kwangsoo memerankan Kkachi, sampai membuat saya pangling karena pembawaannya yang sangat berbeda dari biasanya. Siapa pun yang menonton film ini tidak mungkin tidak mengakui kapabilitas Lee Kwangsoo sebagai aktor.

Lalu bagaimana dengan film ini sendiri?

Hmm, barangkali karena tidak paham soal permainan poker, “Tazza: One Eyed Jack” tidak terasa begitu menarik bagi saya. Banyak istilah poker yang tidak saya pahami sehingga mengurangii signifikansi trik penipuan yang digunakan. Dari segi plot, rasanya seperti diseret-seret, apalagi yang berkaitan dengan perkembangan karakter tokoh utama dan juga kematian salah satu tokoh penting. Barangkali karena banyak terjadi pemangkasan cerita dari komik aslinya yang sepanjang 13 volume. Namun, saya cukup puas dengan bagaimana plotnya berakhir karena memberikan jawaban dari permasalahan tiap karakter utama kita.

Dalam hal presentasi, saya cukup tertarik dengan teknik pengambilan gambar zooming yang dikombinasikan dengan pergerakan kamera tilting (vertikal) atau panning (horizontal), terutama dalam adegan-adegan pengungkapan trik penipuan yang memperkuat plot twist dan kesan nakal dari trik tersebut.

Meski bagi saya kurang menarik, film ini memiliki popularitas yang cukup tinggi di negara asalnya, seperti sekuel pendahulunya. Hal ini bagi saya cukup ironis karena di Korea Selatan sendiri perjudian merupakan hal ilegal dan termasuk tindakan kriminal. Public figure mana pun yang terjerat kasus perjudian karirnya langsung terjun bebas. Barangkali film ini menjadi kritik bagi tingkat kesejahteraan yang tidak merata di Korea sehingga banyak orang diam-diam mencoba keberuntungan dengan berjudi dan mendapatkan uang secara instan.

You Might Also Like

0 comment

Subscribe