tag:blogger.com,1999:blog-39644413392794738362024-03-19T16:39:53.459+07:00Blue-ThinkHanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.comBlogger371125tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-66920679927546994722022-07-01T03:25:00.004+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00Hidup dalam Simulasi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXjBM_d9zkwksclh3vmtW5ZU4ddQwzDE0AqzjI9bJd_ALsEBtsoXxmoFPdjdCAPANVBNK8mfe3kBrgHh3LZ82473-IDskfZjnkCKIoSf7EBEw9h0m2jd8LGf3AXeSWfE7-SQfqnaX1ldWFwPXwQEo38tGhsm6g9EY_tb9LSSGVZk6ISMNFKeIapvcO6A/s1024/DALL%C2%B7E%202022-07-01%2003.32.49%20-%20the%20city%20inside%20a%20fish%20bowl,%20starry%20night%20style.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="1024" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXjBM_d9zkwksclh3vmtW5ZU4ddQwzDE0AqzjI9bJd_ALsEBtsoXxmoFPdjdCAPANVBNK8mfe3kBrgHh3LZ82473-IDskfZjnkCKIoSf7EBEw9h0m2jd8LGf3AXeSWfE7-SQfqnaX1ldWFwPXwQEo38tGhsm6g9EY_tb9LSSGVZk6ISMNFKeIapvcO6A/w640-h640/DALL%C2%B7E%202022-07-01%2003.32.49%20-%20the%20city%20inside%20a%20fish%20bowl,%20starry%20night%20style.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">Aku suka Tablo. Kalau kamu suka musik atau nonton <i>variety show</i> Korea, mungkin kamu familiar dengan sosoknya. Namun, kalau kamu belum tahu, izinkan aku mengenalkannya. Dia adalah rapper dari grup hip-hop Korea, Epik High yang debut di tahun 2003. <i>Quite old and quite a legend</i>, pokoknya jangan ketipu sama wajah imutnya. Dia punya istri seorang aktris dan mereka punya seorang putri, Haru namanya. </p><p style="text-align: justify;">Sebelum ia menjalani karir sebagai rapper di Korea, ia kuliah literatur di Standford, US. <i>Interesting, isn’t it? </i>Namun, yang membuatku suka sekali dengan Tablo adalah sikap kritis dan kejujurannya dalam berpendapat yang kadang cukup brutal, tetapi selalu bisa ia bawakan dengan cara yang menyenangkan. Tablo pernah punya podcast berbahasa Inggris yang tayang setiap pekan selama Agustus 2019 hingga Januari 2021 dan podcast ini menjadi salah satu sumber hiburan sekaligus momen reflektifku saat itu.</p><p style="text-align: justify;">Dalam suatu episode berjudul “Time Travel”, Tablo membicarakan berbagai metode dan eksperimen perjalanan waktu yang dihadirkan di film-film, kemudian bagaimana setiap pilihan kita di masa kini atau masa lalu bisa menghadirkan <i>alternative universe</i> yang baru. Lalu, di penghujung podcast, tiba-tiba obrolan tiba pada topik Simulation Theory.</p><p style="text-align: justify;"><i>"The simulation theory is that like…” </i>Tablo memulai penjelasannya<i>. "In the future, we got so advanced, right? That we were able to create VR to the point where it was so real, that it's impossible to differentiate it from the reality. And that we created a simulation to live it and that simulation is the world we are living in right now. So all of us are in a simulation as suppose to an actual thing, right? People like Elon Musk are saying that it is a logical thing that can happen…”</i></p><p style="text-align: justify;">Hmmm, interestiiiing~!</p><p style="text-align: justify;"><i>“If we were living in a simulation,” Tablo melanjutkan. “This will be an alternate universe to whatever is really out there. I don’t believe it. I don’t wanna believe it, I don’t wanna believe that my loved ones are.. you know, artificially created…”</i></p>
<iframe allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture" allowfullscreen="" frameborder="0" height="232" src="https://open.spotify.com/embed/episode/0ZrAJX8Gemlu7qngIlcdkT?utm_source=generator&t=2459152" style="border-radius: 12px;" width="100%"></iframe><p style="text-align: justify;">Aku terkesan dengan penjelasan Tablo, tetapi sekaligus merasa miris karena teori tersebut merupakan penjelasan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana dunia ini bekerja dalam sudut pandang muslim, atau setidaknya dalam sudut pandangku sebagai seorang muslim.</p><p style="text-align: justify;">Dalam Islam, kita percaya bahwa Allah memiliki kuasa untuk menciptakan segala hal dan mengatur jalannya kehidupan. Bahkan sehelai daun pun tidak luput dari aturannya. Berkali-kali pula disebutkan dalam Al-Quran bahwa kehidupan ini merupakan tempat cobaan dan ujian. Tidak hanya dalam bentuk barang atau kondisi, manusia pun bisa menjadi ujian bagi manusia yang lain. Bahkan orang baik pun bisa menjadi ujian pula untuk kita, seperti keluarga dan teman-teman misalnya. Pada akhirnya, dunia ini hanyalah simulasi sebelum akhirnya kita kembali pada Allah di akhirat nanti dan menjalani kehidupan yang sesungguhnya.</p><p style="text-align: justify;">Namun, lebih ironis lagi, sudah dua tahun berlalu sejak aku mendengar episode podcast itu dan mendapatkan kesimpulan yang mencerahkan, tetapi apakah aku selama ini sudah benar-benar hidup seperti dalam sebuah simulasi dari Allah? Ataukah selama ini aku terlena dan tertipu dengan gemerlapnya dunia ini?</p><p style="text-align: justify;"><i>How do you say about it, Tablo?</i></p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-81924392159176640302022-07-01T03:08:00.005+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00My Introduction to Hipoglikemia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiphegZ1TWNdqivQ8VE74GeGE2iAMEdl3lD68lGmCl5wDZCqavDJP09AXM2VpZP7a-yONuM5M-XbdepUhF8VLLqH2qEGJ4hmv4TsA7a0sRilkPnxcEBDNWXZA_ezPXHG46wZLqeBdzrb22F2HXour85MvSc4w0wfEQAJqk-P3OVi4veTAGzKsGXG1a6xA/s1024/DALL%C2%B7E%202022-07-01%2003.07.24.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="1024" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiphegZ1TWNdqivQ8VE74GeGE2iAMEdl3lD68lGmCl5wDZCqavDJP09AXM2VpZP7a-yONuM5M-XbdepUhF8VLLqH2qEGJ4hmv4TsA7a0sRilkPnxcEBDNWXZA_ezPXHG46wZLqeBdzrb22F2HXour85MvSc4w0wfEQAJqk-P3OVi4veTAGzKsGXG1a6xA/w640-h640/DALL%C2%B7E%202022-07-01%2003.07.24.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">Aku agak lupa sejak kapan, barangkali saat SMP atau SMA, aku mulai mengalami keringat dingin dan tremor apabila aku telat makan. Well, tidak setiap kali telat makan aku akan merasa seperti itu. Kalau persoalannya hanya telat makan, biasanya aku hanya akan merasa lapar dan lemas. Bahkan saat berpuasa, kadang aku bisa bekerja lebih keras dibanding ketika tidak berpuasa. Benar bahwa tiap kali aku keringat dingin, biasanya aku memang belum makan. Namun, tampaknya persoalannya tidak sesederhana kurang asupan energi saja.</p><p style="text-align: justify;">Awalnya, saat itu terjadi aku akan langsung makan. Namun, melakukan itu ternyata tidak langsung mengembalikan kondisi tubuhku. Hingga suatu saat aku mengalami keringat dingin, tetapi tidak berada dalam kondisi bisa langsung makan. Akhirnya, aku makan permen sebagai pertolongan pertama. Ajaib, ternyata metode itu justru lebih cepat membuat keringat dinginku reda. Sejak itu aku selalu sedia permen, coklat, atau snack manis lainnya ke mana pun aku pergi dan itu selalu membantu.</p><p style="text-align: justify;">Saat kuliah, aku punya kesempatan ngobrol dengan teman yang kuliah kedokteran tentang kondisi kesehatan. Aku pun bertanya tentang kondisiku tersebut, barangkali ada apa-apa.</p><p style="text-align: justify;">“Jadi, aku kenapa, ya? Kondisi itu ada sebutannya nggak, sih?”</p><p style="text-align: justify;">“Oh, ada, Mbak. Kalau diagnosisku benar nih, kemungkinan besar Mbak ini ada hipoglikemia,” jawab temanku itu.</p><p style="text-align: justify;">“Eh, apa namanya? Hipogl…?”</p><p style="text-align: justify;">“Hi-po-gli-ke-mi-a. Hehehe. Susah, ya, namanya?”</p><p style="text-align: justify;">“Wkwk, iya. Jadi, itu penyakit atau gimana?”</p><p style="text-align: justify;">“Nah, hipoglikemia itu kondisi ketika kadar gula dalam darah terlalu rendah, Mbak.”</p><p style="text-align: justify;">Seketika aku merasa seakan mendapat pencerahan. Apalagi, waktu KKN aku beberapa kali minta temanku yang anak medika untuk memeriksa kadar gula darah untuk deteksi diabetes dan hasilku selalu lebih rendah daripada standar gula darah normal.</p><p style="text-align: justify;">“Ooooooh, pantesan. Aku kasih permen biasanya langsung sembuh!” </p><p style="text-align: justify;">“Nah, iya, Mbak. Memang itu pertolongan pertamanya.”</p><p style="text-align: justify;">“Pantes, pantes. Eh, tapi dia bahaya ga, ya?” tanyaku khawatir.</p><p style="text-align: justify;">“Mbak gak pernah sampai pingsan, kan?”</p><p style="text-align: justify;">Aku menggeleng.</p><p style="text-align: justify;">“Hoo, kalau gitu masih aman, kok. Siap sedia permen aja,” begitu katanya, dan konsultasi informal kami berakhir. Aku pun merasa lega karena akhirnya mendapat penjelasan medis atas kondisiku.</p><p style="text-align: justify;">Entah mengapa, sejak aku tahu soal hipoglikemia, aku jadi jarang mengalami keringat dingin atau tremor. Mungkin secara tidak sadar aku makin menikmati saat-saat makan dan menambah asupan gula ke tubuh. Sekarang, aku sudah jarang membawa permen. Paling-paling aku beli sedikit saat aku harus berpergian jauh untuk jaga-jaga. Aku berharap kondisi ini tidak memburuk ke depannya.</p><p style="text-align: justify;">Semoga tulisan ini membantu kamu yang mengalami hal serupa.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-70928245819450946812022-06-29T05:43:00.005+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00Jangan Kau Jual Seluruh Isi Gelasmu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbK-MiZkJxBO_UMosW9mlmNrzPLNpAKNbhDKXh-SlUvJS_MC932L6RID7UPEIdTlq1W1-r2ua_AEUC4L7hEuPvCcQjLl8lKw5WpILN4jOmwb-4t1uWA8GHrlzmaoQBN3MF7-9ScAsLIWgplmDUOx3vufb5jb0gujLI9MzqVjryYWQ5w-Sw-3QDYt4F_Q/s1024/DALL%C2%B7E%202022-06-29%2005.43.07.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="1024" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbK-MiZkJxBO_UMosW9mlmNrzPLNpAKNbhDKXh-SlUvJS_MC932L6RID7UPEIdTlq1W1-r2ua_AEUC4L7hEuPvCcQjLl8lKw5WpILN4jOmwb-4t1uWA8GHrlzmaoQBN3MF7-9ScAsLIWgplmDUOx3vufb5jb0gujLI9MzqVjryYWQ5w-Sw-3QDYt4F_Q/w640-h640/DALL%C2%B7E%202022-06-29%2005.43.07.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">Saya suka analogi, dan analogi gelas beserta isinya menjadi salah satu favorit saya. Gelas biasa digunakan untuk menggambarkan kapasitas manusia dalam berkegiatan atau mempelajari sesuatu. Saya sendiri termasuk orang yang percaya bahwa kapasitas manusia terbatas, tidak semudah itu berkembang, melainkan cenderung tetap seperti sebuah gelas. Bila isinya sudah penuh, maka akan sulit untuk memasukkan informasi baru.</p><p style="text-align: justify;">Sebelum mulai bekerja, saya sering membayangkan apa yang akan saya tulis dalam surat lamaran untuk memikat perhatian employer. Salah satunya adalah kalimat bernada, “Saya lebih dari siap untuk mengosongkan isi gelas saya dan mengisinya kembali dengan ilmu baru dari perusahaan Bapak.” Harapannya kalimat itu bisa mengekspresikan semangat dan kesediaan saya untuk belajar hal baru, yang mana menjadi salah satu kekuatan saya. Namun, pada akhirnya saya bahkan tidak diminta membuat surat lamaran di kantor saya yang sekarang, <i>and those words were left unsaid</i>.</p><p style="text-align: justify;">Saat akhirnya bekerja, saya baru menyadari bahwa ego saya cukup tinggi. Saya sudah punya prinsip-prinsip yang berusaha saya jaga dan ternyata tidak semudah itu saya berkompromi. Selain itu, tidak semua hal yang saya dapatkan atau alami di kantor merupakan hal yang positif, dan ini jelas berlaku di mana saja, di kantor maupun kehidupan sehari-hari. Nyatanya, saya tidak mampu untuk mengosongkan seluruh isi gelas saya, dan saya pun juga tidak mampu langsung mengisinya dengan apa pun yang saya temui.</p><p style="text-align: justify;">Hal ini bukan berarti buruk. Justru sebagai manusia kita perlu punya pendirian sehingga tidak mudah terombang-ambing. Pada akhirnya, ini bukan tentang seberapa banyak kita bisa menerima hal baru, tetapi tentang mengkurasi apa yang akan kita isi ke dalam gelas kita, seperti bagaimana gelas yang setengah terisi air sumur adalah lebih baik daripada gelas yang terisi penuh dengan air comberan.</p><p> </p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-83533225743531338512022-06-29T04:59:00.004+07:002022-09-02T08:18:45.084+07:00[MOVIE REVIEW] Midnight Runners (2017)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://asianwiki.com/images/8/88/Midnight_Runners-p1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="560" height="800" src="https://asianwiki.com/images/8/88/Midnight_Runners-p1.jpg" width="560" /></a></div><p style="text-align: justify;">Saya sudah lama nonton film ini, barangkali sekitar tahun 2018 atau 2019. Waktu itu saya penasaran dengan kemistri antara Park Seojun dengan Kang Haneul yang digambarkan konyol dalam trailernya. Sesuai judul aslinya, “청년경찰” (Young Cop), filmnya sendiri bercerita tentang dua orang taruna akademi polisi, Kijoon (Park Seojun) dan Heeyeol (Kang Haneul) yang menyaksikan aksi penculikan saat mereka sedang berlibur di luar kampus. Merasa tidak bisa tinggal diam, malam itu mereka pun berusaha mengejar pelaku dan menyelamatkan korban menggunakan ilmu yang telah mereka pelajari di akademi, walau konsekuensinya terlambat kembali ke asrama. Di sinilah judul versi Inggris, “Midnight Runners” menjadi relevan.</p><p style="text-align: justify;">Film ini menggambarkan bagaimana para pelajar mencoba mengaplikasikan hal telah mereka pelajari di sekolah dalam situasi nyata. Apakah selalu berhasil? Kadang iya, kadang tidak. Ada gap antara pendidikan profesi dengan realita di lapangan. Di satu sisi mereka memang masih berstatus siswa dan perlu lebih banyak latihan sebelum terjun menangani kasus. Ada kegamangan antara kepedulian kepada masyarakat dan masih kurangnya kapasitas diri, serta pertanyaan terkait legalitas profesi. Saya rasa, siapa pun yang pernah menempuh pendidikan dengan orientasi profesi pasti pernah merasakan hal ini, sekalipun bukan pendidikan polisi.</p><p style="text-align: justify;">Publik terbiasa mengetahui aksi kejahatan dari berita viral di tv atau media sosial, para taruna juga belajar berbagai kasus dari kelas. Namun, nyatanya banyak kejahatan dimulai dari lingkungan terkecil dan muncul dalam keseharian. Diperlukan kejelian untuk melihat kejanggalan yang terjadi di tengah masyarakat dan bertindak sesuai kemampuan. Hal itu yang coba dilakukan Kijoon dan Heeyeol di film ini.</p><p style="text-align: justify;">*Spoiler Alert*</p><p style="text-align: justify;">Menariknya film ini, dalam situasi genting, masih ada selipan-selipan komedi dari sikap konyol tokoh-tokoh utama kita saat akhirnya mempraktikkan berbagai teori dan strategi penyidikan. Namun, pembuat film dengan tepat menggeser nuansa menjadi mencekam ketika mereka tersadar bahwa persoalan yang sedang menghadapi amatlah serius. Penggambaran kejahatan eksploitasi wanita dan perdagangan telur ovari yang keji berhasil membuat penonton tegang sekaligus menarik simpati atas hal yang menimpa wanita-wanita malang ini.</p><p style="text-align: justify;">Sayangnya tensi menurun ketika terdapat jeda yang cukup panjang antara sekuen penemuan markas gembong hingga penyergapan. Selain itu, nuansa mencekam yang didapat dari markas lama yang berupa bangunan tua nan gelap tidak bisa bertahan ketika penyergapan justru terjadi di sebuah rumah sakit yang bersih dan terang dengan para korban yang ditidurkan di atas ranjang dengan baju bersih. Klimaks film ini jadi terasa tidak maksimal karena kekurangan dalam logika setting ini.</p><p style="text-align: justify;">Meski demikian, Midnight Runners adalah usaha yang baik dalam menghadirkan topik crime dengan pendekatan yang berbeda yang menghibur tetapi juga tetap realistis.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-2715125676523234602022-06-29T04:57:00.004+07:002022-09-02T08:18:45.081+07:00[DRAMA REVIEW] Welcome to Wedding Hell (2022) - Actually a Wedding Playbook<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://asianwiki.com/images/2/25/Marriage_White_Paper-p1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="558" height="800" src="https://asianwiki.com/images/2/25/Marriage_White_Paper-p1.jpg" width="558" /></a></div><p style="text-align: justify;">Dibintangi oleh Lee Jinuk dan Lee Younghee, Welcome to Wedding Hell memiliki premis yang amat sederhana, yakni menceritakan lika-liku proses persiapkan pernikahan antara Seo Junhyeong (36) dan Kim Naeun (32) yang telah berpacaran selama dua tahun.</p><p style="text-align: justify;">Tayang sebagai web-drama di KakaoTV, durasi drama ini cenderung singkat, yaitu 40 menit untuk tiap episodenya dengan total 12 episode. Setiap episodenya menceritakan fase tertentu, dari proses melamar, pertemuan antara dua keluarga, mempersiapkan acara pernikahan itu sendiri, membicarakan kondisi finansial, mencari rumah baru, dan sebagainya. Menonton drama ini rasanya lebih seperti membaca buku panduan menikah, tetapi dengan studi kasus nyata dalam konteks masyarakat Korea.</p><p style="text-align: justify;">Di awal cerita, kemistri romantis antara kedua tokoh utama kita terasa datar-datar saja. Kerangka utama cerita juga bisa ditebak karena saya sudah terbiasa melihat isu pernikahan di film atau drama lain. Namun, setiap persoalan berhasil disajikan dengan runtut dan personal untuk tiap tokohnya. Kita dibawa menyelami keraguan-keraguan yang dialami Junhyeong dan Naeun terhadap perbedaan di antara mereka. Kemistri justru terbentuk ketika keduanya saling mengendap-endap, maju mundur untuk memperjuangkan pendapat pribadi terkait pernikahan mereka sembari berusaha menjaga perasaan satu sama lain. Setiap tahap dengan manis dianalogikan dengan permainan baseball yang membantu penonton memahami situasi yang terjadi.</p><p style="text-align: justify;">Beberapa isu sensitif berhasil diangkat dengan cukup baik, seperti kondisi keuangan antarpasangan, perbedaan strata sosial antara kedua keluarga, dan hubungan dengan calon mertua yang rumit. Drama ini berhasil menggambarkan konflik interest antara dua keluarga dengan baik tanpa membuat karakter-karakternya terlihat jahat. Drama ini juga cukup humble dalam memberikan contoh kasus paling sederhana dengan menghadirkan dua tokoh utama yang sama-sama sudah mapan dan sama-sama anak tunggal untuk dieksekusi dalam waktu singkat. Akan lebih kompleks lagi bila ada ketimpangan finansial yang besar antara keduanya, atau bila mereka memiliki kakak atau adik, mengingat kultur Korea menaruh perhatian tinggi pada hirarki gender dan usia.</p><p style="text-align: justify;">Perspektif anak muda terhadap pernikahan yang dihadirkan dalam drama ini menjadi semakin lengkap dengan adanya dua side character dari sisi wanita, yakni teman-teman kantor Naeun: Choi Huiseon yang lebih tua, pernah menikah tetapi kemudian bercerai, dan Lee Suyeon yang lebih muda dan belum memiliki pasangan. Mereka selalu berbagi pendapat setiap timbul masalah selama persiapan pernikahan, tentang ekspektasi umum dan juga realita dari orang yang pernah gagal menjalaninya. Sudut pandang pria awalnya absen, tetapi perlahan dibangun juga lewat perbincangan antara Junhyeong, sahabatnya Jang Minwoo, dan senior-senior mereka di perusahaan—walau seringkali terkesan konyol untuk menggambarkan betapa clueless-nya laki-laki dalam menebak keinginan para wanita.</p><p style="text-align: justify;">Drama ini barangkali bisa menjadi pedoman dasar yang baik untuk memberikan gambaran kompleksitas pernikahan kepada generasi muda Korea saat ini yang cenderung mengejar karir dan enggan menikah sebagai imbas dari berbagai permasalahan ekonomi dan sosial. Tidak untuk menakut-nakuti, tetapi justru ingin memberi tahu bahwa meskipun sulit, dengan bersama semua bisa dilalui.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-8913170066575019252022-06-29T02:15:00.001+07:002022-09-02T08:18:45.081+07:00Mengapa Mencintai dan Memiliki adalah Dua Hal yang Berbeda<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN93X8h_gugvLjsWB2OhXQLf-q-pP0wZC_0mH_vfo0V5uswzetHLj9NhRU1QsdJnGBWYzmE7nMHXreWqjOfFrFqahj1eHcgRdP7HTQqMUu0TiLL0DxjFXjpnv8ve8jCmvjyRhfBp5rFjlU8UCC4lSZ8_lEHklEmXKeYpfr3if0wZZ2rTDxgjApI__kgw/s1024/DALL%C2%B7E%202022-06-29%2002.08.50%20-%20a%20girl%20giving%20out%20a%20heart-shaped%20balloon%20to%20a%20guy%20standing%20still%20korean%20style%20digital%20illustration%20pastel%20color.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="1024" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN93X8h_gugvLjsWB2OhXQLf-q-pP0wZC_0mH_vfo0V5uswzetHLj9NhRU1QsdJnGBWYzmE7nMHXreWqjOfFrFqahj1eHcgRdP7HTQqMUu0TiLL0DxjFXjpnv8ve8jCmvjyRhfBp5rFjlU8UCC4lSZ8_lEHklEmXKeYpfr3if0wZZ2rTDxgjApI__kgw/w640-h640/DALL%C2%B7E%202022-06-29%2002.08.50%20-%20a%20girl%20giving%20out%20a%20heart-shaped%20balloon%20to%20a%20guy%20standing%20still%20korean%20style%20digital%20illustration%20pastel%20color.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">Aku punya satu lingkar pertemanan yang terbentuk karena kesukaan kami terhadap buku. Sejak 2017 hingga sekarang, kami masih membicarakan buku, walau tidak sering. Terkadang bicara hal random juga. Namun, tidak biasanya, alih-alih membicarakan buku atau hal bodoh lainnya, malam itu, via Zoom, kami berlima buka-bukaan tentang pengalaman masing-masing dengan cinta. Ya Allah, apakah kami sudah sebucin itu karena semakin tua? Well, apa lagi yang bisa dilakukan lima orang jomblo ketika berkumpul di malam Minggu?</p><p style="text-align: justify;">Ya, berhubung kami semua sedang <i>single </i>dan kebanyakan belum pernah pacaran, bahasan akhirnya dimulai dari persoalan mencintai secara sepihak.</p><p style="text-align: justify;">Sebut saja Riziq, ia membagikan sebuah petuah dari seniornya yang kira-kira berbunyi seperti ini:</p><p style="text-align: justify;"><i>Menyukai orang itu hal yang biasa. Nah, kemungkinan orang itu suka balik ke kita adalah yang tidak biasa. Keajaiban. Jadi, tidaklah perlu mengharap kembali perasaannya. Act of kindness aja.</i></p><p style="text-align: justify;">Banyak kalimat dalam nuansa seperti ini sudah kudengar. Namun, entah kenapa kali ini terasa lebih mengena. Mungkin karena aku sudah tiba pada usia di mana kita tidak bisa diam-diam saja dan harus mengambil tindakan terhadap rasa yang kita miliki.</p><p style="text-align: justify;">Teman lain, sebut saja Galih, membagikan pengalamannya soal ini. “Kalau kita mencintai itu harusnya kita merasa bahagia, sih. Terlepas dari orang itu memberikan timbal balik atau tidak. Aku <i>kek gitu,</i> ya, apalagi pas PDKT. <i>Kek </i>fokus <i>aja gitu</i> untuk tahu lebih banyak soal orang ini dan berbuat baik ke dia. Kalau aku mulai berharap untuk mendapatkan sesuatu dari orang yang kusuka, di situ perasaan mulai <i>gak </i>sehat dan aku <i>gak </i>merasa bahagia lagi. Menurutku itu udah bukan mencintai lagi, sih.”</p><p style="text-align: justify;">“Terus gimana kalau udah pacaran, atau menikah? Bukannya mereka juga saling mengharapkan sesuatu? Apa artinya mereka tidak mencintai? ”</p><p style="text-align: justify;">Pertanyaan barusan tidak terlontar semulus itu. Kami sempat ribut menemukan diksi yang tepat untuk mengekspresikannya. Setelah itu, giliran kami ribut soal jawaban mana yang lebih baik dan bisa memuaskan semua orang.</p><p style="text-align: justify;">“Ya, sebenarnya mengharap sesuatu dari orang lain itu hal yang wajar <i>gak</i>, sih?” Aku manggut-manggut.</p><p style="text-align: justify;">“<i>Tapi </i>kurasa pada akhirnya rasa cinta itu tanggung jawab kita masing-masing. Orang bisa datang dan pergi kapan <i>aja</i>, kan? Hatinya bisa dibolak-balikkan juga sama Allah. Pacaran atau nikah sama seseorang <i>gak </i>bisa membuat kita memiliki orang itu. Kita <i>gak </i>bisa menahan dia kalau dia mau pergi.”</p><p style="text-align: justify;">“<i>Nggak taking that person for granted</i>, ya?” <i>That came out quite random but we got the idea</i>. </p><p style="text-align: justify;">Ketika kita merasa memiliki seseorang, timbal balik dari orang itu terkesan seperti sebuah keharusan dan kita bersedih atau marah ketika tidak mendapatkan hal itu. Namun, bila kita tidak merasa memiliki orang itu, kita akan menjadi bersyukur pada setiap perbuatannya untuk kita, sekecil apa pun itu, karena itu merupakan pilihannya. Ia bisa saja memilih untuk tidak berbuat apa pun, atau justru membenci kita, tetapi ternyata ia memilih untuk berbuat baik pada kita.</p><p style="text-align: justify;">Pembicaraan kami masih berlanjut hingga empat jam lamanya dengan topik-topik lain yang terasa mengalir begitu saja. Namun, bahasan tadi jadi salah satu yang paling mengena. Entah kapan aku akan menyukai seseorang lagi, tetapi saat itu tiba, kuharap aku bisa merasa lebih bebas dan nyaman dengan perasaanku sendiri.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-28425725965650768302022-06-28T04:06:00.001+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00Belenggu Kasurku<div style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeCw4eYlveBeZgQEczaigXT2pGzbOvw6mIEPEefVUbcMlvNsOw7TYeAtssgpCtXBe0Mfw8fy0WZ-ZjVfL4DtDQw4tdl1cdcG7hmZlYkwiHOYyfUJI6y4si-XgnQLN6bYb_8QG7XGmIWlnl5hExXjT8PU2_KjxafsYB1JEHdiNRFiBERGbL9PjdHkDU6A/s1024/DALL%C2%B7E%202022-06-28%2004.05.23.png"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="1024" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeCw4eYlveBeZgQEczaigXT2pGzbOvw6mIEPEefVUbcMlvNsOw7TYeAtssgpCtXBe0Mfw8fy0WZ-ZjVfL4DtDQw4tdl1cdcG7hmZlYkwiHOYyfUJI6y4si-XgnQLN6bYb_8QG7XGmIWlnl5hExXjT8PU2_KjxafsYB1JEHdiNRFiBERGbL9PjdHkDU6A/w640-h640/DALL%C2%B7E%202022-06-28%2004.05.23.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">Sejak kecil, aku terbiasa menggunakan kasur berbahan kapuk. Ini bukan pilihan pribadi, tetapi lebih karena orang tua kami yang termasuk golongan sepuh dan tidak familiar dengan kasur busa atau <i>spring bed</i>. Kebetulan kasur tidak menjadi prioritas anggaran keluarga kami sehingga sepanjang usiaku, kasur-kasur di rumah baru pernah diganti sekali. Itu pun dengan kasur kapuk lagi yang dijual pedagang kasur asongan yang keliling dari satu komplek pemukiman ke pemukiman lain lalu mengisi kapuk ke dalam selongsong kasur secara langsung di ruang tamu atau halaman rumahmu. Sayangnya, beberapa kasur kualitasnya tidak cukup baik sehingga lekas mengeras dalam hitungan hari setiap kali selesai dijemur.</p><p style="text-align: justify;">Ketika kubilang terbiasa menggunakan kasur kapuk, sebenarnya secara tidak langsung aku mengatakan bahwa aku terbiasa tidur pada permukaan yang keras. Terbukti saat kuliah, ketika kesibukan sedang tinggi-tingginya, aku bisa memejamkan mata di lantai kelas dan tertidur pulas barang 15-20 menit. Di kantor pun aku terbiasa tidur dengan kepala di meja kerja kalau rasa kantuk tidak bisa ditawar-tawar lagi.</p><p style="text-align: justify;">Ya, aku bisa tidur di mana saja. Namun, bukan berarti aku tidak mendambakan adanya kasur yang empuk. Saat pertama kali <i>ngekos </i>di Jogja untuk kuliah, itu pertama kalinya juga aku menggunakan kasur busa. <i>Well</i>, bukan kasur busa mahal yang tidak akan <i>njeglong </i>sesering apapun kamu memakai atau mendudukinya, tetapi cukup untuk memanjakanku. Saat masih menggunakan kasur kapuk pun aku bisa nempel dengan kasur seharian, apalagi dengan kasur busa. Ditambahkan dengan ruang yang sempit dan tidak adanya meja kursi belajar, akhirnya mengerjakan tugas pun ku lakukan di atas kasur ditemani meja lipat pendek. Makin <i>njeglong</i>-lah kasur kamar kosku.</p><p style="text-align: justify;">Saat aku tinggal di Jepang, asramaku menyediakan kasur futon. Namun, ternyata karakter futon di asrama seperti kasur kapuk yang bila tidak sering dijemur dan ditepuk, perlahan akan keras juga. Apalagi futon asrama bukan tipe yang dilipat setiap hari, tetapi yang dibiarkan saja menghampar di atas dipan seperti kasur biasa. Hal ini berbeda dengan futon hotel yang kemungkinan lebih berkualitas dan selalu dilipat dan digelar kembali setiap hari, juga selalu diganti kain selongsongnya. Rasanya… Ya Allah, sangat lembut dan empuk seakan aku tidur di atas awan. Selepas <i>exchange</i>, aku pun pulang dan kembali pada kasur-kasur lamaku.</p><p style="text-align: justify;">Aku bertahan cukup lama dengan kasur busa murahan dan kasur kapuk hingga akhirnya aku mulai bekerja di Tangerang. Mes kantorku menyediakan kasur busa yang lebih tipis dibanding kasur busa kosku di Jogja, hanya 5cm tebalnya. <i>Well</i>, apa yang kuharapkan dari kamar mes seharga Rp250.000,-/bulan? Jadi, ya, aku terima-terima saja. Beberapa bulan pertama, aku cukup percaya diri bisa bertahan dengan kasur ini untuk waktu yang lama. Akan tetapi, badanku mulai nyeri setiap kali bangun tidur, apalagi bila malam sebelumnya aku bekerja hingga cukup larut. Aku tahu kasurku perlu diganti, tetapi aku juga tidak ingin mengeluarkan uang untuk membeli kasur baru.</p><p style="text-align: justify;">Setahun berlalu, <i>alhamdulillah </i>aku dapat rezeki lungsuran kasur <i>spring bed</i> dari teman kantor yang <i>resign</i>, dan aku tidak harus membayar apa pun. Di situlah aku baru merasakan betapa nyamannya kasur <i>spring bed</i>. Tentu aku sudah pernah mencoba kasur jenis ini sebelumnya, seperti saat menginap di hotel atau rumah teman dan kerabat, tetapi semua itu dalam hitungan hari saja. Merasakan tidur di atasnya selama berbulan-bulan adalah hal yang berbeda. Kasur jenis ini juga tidak <i>njeglong </i>permanen sesering apapun aku mendudukinya. Betapa nyamannya kasur <i>spring bed</i> sampai-sampai aku berjanji pada diri sendiri untuk membelikan orang tuaku satu nanti bila ada rezeki.</p><p style="text-align: justify;">Masalah mulai muncul ketika aku terlalu nyaman dengan kasurku dan jadi makin enggan untuk bangun, bahkan ketika sudah waktunya untuk bekerja. Hal buruk ini menjadi semakin parah di hari-hari kebiasaan lemburku kambuh. Aku butuh alternatif.</p><p style="text-align: justify;">Di sini kemampuan tidur-di-mana-saja-ku akhirnya bekerja kembali. Sekarang, bila kerja lembur, aku lebih memilih untuk tidur di kantor. Tepatnya di atas sofa yang masih terbilang empuk, tetapi tidak sangat nyaman hingga membuatku susah bangun bila alarmku berbunyi di waktu subuh. Aku sampai membeli selimut baru untuk menemaniku tidur di kantor. Dedikasi yang aneh dan cukup absurd sebenarnya, tetapi harus dilakukan kalau tidak ingin melewatkan hal-hal penting dengan pola hidupku yang seperti ini.</p><p style="text-align: justify;">Aku mengharapkan datangnya hari di mana siklus harianku akhirnya kembali normal sehingga aku bisa tidur lebih awal di atas kasurku yang empuk di kamar. </p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-79210060197646645682022-06-27T06:50:00.002+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00Belenggu Lemburku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR5JegRKLCaTP8208q9vzIL8nWz6p2JRfyI3tBIoMMH_wxSMoOi-1KMuxA_Ayt0HNMU-YJfyDMhGfBSb1O2AnkmXTfD-9TH-oIvqgyIR0a2JuJHCMwFQYG9439QmWGy9Wnbexu-rwEg_jDSz_X_GLZ0r5IYOVCuACRZVWhO3lT0yx1V3UhQKXytMQllA/s1024/DALL%C2%B7E%202022-06-27%2006.48.21%20-%20a%20bunch%20of%20people%20working%20on%20computer,%20some%20chatting,%20in%20bright%20office,%20in%20the%20middle%20of%20the%20night,%20digital%20painting.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="1024" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR5JegRKLCaTP8208q9vzIL8nWz6p2JRfyI3tBIoMMH_wxSMoOi-1KMuxA_Ayt0HNMU-YJfyDMhGfBSb1O2AnkmXTfD-9TH-oIvqgyIR0a2JuJHCMwFQYG9439QmWGy9Wnbexu-rwEg_jDSz_X_GLZ0r5IYOVCuACRZVWhO3lT0yx1V3UhQKXytMQllA/w640-h640/DALL%C2%B7E%202022-06-27%2006.48.21%20-%20a%20bunch%20of%20people%20working%20on%20computer,%20some%20chatting,%20in%20bright%20office,%20in%20the%20middle%20of%20the%20night,%20digital%20painting.png" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">01:16 dini hari.</p><p style="text-align: justify;">Saya masih duduk di depan komputer kantor. Di dekatku ada Riyan yang sedang melakukan sesuatu di iPadnya. Di seberang ruangan ada Billy dan Mel yang curhat satu sama lain tentang orang tua, pola asuh, dan <i>inner child</i>. Sementara, Putra masih berkutat dengan pekerjaannya di lantai atas.</p><p style="text-align: justify;">Pemandangan seperti ini tidaklah asing. Hampir semua orang di kantor ini pulang melebihi jam kerja resmi. Setidaknya 30% orang baru mematikan komputer selepas tengah malam. Beberapa orang yang tinggal di mes kantor kadang tinggal lebih lama di ruang kerja untuk ngobrol atau mengerjakan proyek pribadi, seperti kami malam ini.</p><p style="text-align: justify;">Fenomena kerja lembur di kantor kami mengingatkan saya pada sebuah materi sosiologi yang saya pelajari di saat pertukaran pelajar di Jepang tentang budaya bekerja di sana. Di Jepang, rata-rata pekerja kantoran pulang naik kereta atau bus terakhir hari itu, sampai di rumah, menyiapkan diri dan bekal makanan untuk esok, tidur, bangun pagi, lalu berangkat lagi ke kantor, dan siklus terulang lagi. Faktor utama yang sering disebutkan saat membahas ini adalah konsep <i>life-time employment</i> yang umum diterapkan di Jepang. Seorang pegawai akan dipertahankan hingga ia masuk usia pensiun sehingga ia diharapkan untuk setia terhadap perusahaan tersebut. Faktor lain adalah budaya <i>conformity </i>atau mengutamakan kepentingan bersama dibanding individu sehingga ada perasaan bersalah apabila pegawai pulang lebih dahulu, apalagi lebih awal daripada atasan mereka.</p><p style="text-align: justify;">Saat belajar tentang ini, saya keheranan sendiri, apalagi ini fenomena yang sangat umum terjadi di negara ini. Melihat pria berjas membawa tas kerja melintasi jalanan kota di dini hari menjadi hal yang biasa. Saya sendiri melihat ayah <i>host family</i> saat di Jepang pulang pukul 10 malam saat anak-anaknya yang masih kecil sudah tidur dan berangkat lagi pukul 6 pagi ketika anak-anaknya belum bangun. Hampir tak ada waktu untuk keluarga kecuali di akhir pekan. Saya pun ragu apakah ia punya cukup waktu untuk dirinya sendiri. Tak heran, banyak ditemukan kasus bunuh diri di Jepang karena kerja berlebihan.</p><p style="text-align: justify;">Saat itu, saya berjanji ke diri saya sendiri untuk tidak menjadi seperti itu. Saya juga optimis dengan kultur kerja di Indonesia yang cenderung lebih santai. Namun, waktu itu saya lupa mempertimbangkan bagaimana saya sebagai individu bekerja. Sejak kecil, saya selalu punya masalah dengan manajemen waktu. Saya sering mepet atau terlambat datang ke sekolah. Hal serupa terjadi saat kuliah dan menjadi semakin parah, terutama dalam hal pengumpulan tugas. Saat di Jepang pun, saya sering terlambat masuk kelas, padahal jarak ke kampus hanya 10 menit dari asrama. Dengan kata lain, saya memang suka menyepelekan waktu. Saya juga perfeksionis, punya standar tinggi, terutama soal apa yang saya hasilkan. Dikaitkan dengan waktu tadi, semakin besar tugasnya, semakin saya beranggapan bahwa saya butuh lebih banyak waktu untuk menyelesaikannya. Sementara, saya tidak cukup memperhatikan berapa waktu yang sebenarnya saya miliki dan juga langkah apa saja yang perlu saya tempuh untuk menyelesaikan suatu tugas. Karena terlalu santai di awal, alhasil semua pekerjaan terkumpul di akhir dan saya pun biasa lembur pada hari-hari pengumpulan.</p><p style="text-align: justify;">Ketika mulai kerja di Tangerang, saya sempat bisa mengontrol waktu kerja saya saat masih tinggal di kos. Namun, sejak pindah dari kos ke mes kantor, kebiasaan lembur saya kambuh lagi dan sulit disembuhkan. Barangkali karena lokasi mes yang berada di bangunan kantor itu sendiri, batas antara ruang kerja dengan ruang istirahat menjadi kabur. Kalau dulu saya mengusahakan pulang awal untuk menghindari mobilisasi di malam hari, sekarang saya tidak perlu mengkhawatirkan itu dan bisa berangkat dan pulang kapan saja. Lagi-lagi saya menyepelekan hal tersebut dan saya pun baru bisa semangat bekerja di malam hari karena sudah makin dekat dengan <i>deadline</i>. Hal yang mirip terjadi juga pada teman-teman lain yang pindah ke mes. Beberapa bahkan ada yang sengaja pindah ke mes supaya tidak perlu khawatir soal pulang larut malam tiap kali butuh begadang.</p><p style="text-align: justify;">Awalnya saya berpikir, apakah kami sering lembur karena kami bekerja di daerah ibukota yang fasenya cepat? Namun, pertanyaan itu terpatahkan ketika saya membandingkan dengan kantor-kantor arsitektur lain yang di Jakarta yang masih bisa pulang <i>teng-go.</i> Usut punya usut dengan anak-anak studio kami, katanya kantor terbiasa mengambil proyek terlalu banyak. Setiap hari selalu ada yang harus dikerjakan, entah karena kebutuhan pekerjaaan pembangunan di lapangan atau karena dikejar-kejar klien satu ke klien lainnya. Tidak ada ruang untuk bersantai. Apalagi kantor studio juga perlu mengejar setoran bulanan untuk menghidupi seluruh karyawan. Nah, soal setoran bulanan ini mungkin tidak berlaku di divisi penerbitan tempat saya bekerja karena ia bergerak lebih seperti CSR. Namun, dari segi proyek yang dikerjakan tidak jauh berbeda. Jumlah karyawan sedikit, sedangkan banyak hal yang harus dilakukan untuk memajukan literasi arsitektur di Indonesia.</p><p style="text-align: justify;">Namun, tidak semua faktor datang dari stimulus eksternal. Ada juga anak-anak yang sengaja memilih untuk lembur. Ada rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan yang tinggi, juga kepada klien dan para tukang yang menanti gambar-gambar kami sebagai acuan pembangunan di lapangan. Kemudian, motivasi itu didukung dengan fasilitas mes di kantor yang memungkinkan kerja lembur. Beberapa lagi ada yang suka dengan kebersamaan yang tercipta di kantor saat lembur sehingga kerja lembur tidak terasa buruk-buruk amat. Jadi, mumpung ada temannya, sekalian saja. Di sisi lain, beberapa anak tinggal di kantor lebih lama meski sudah “selesai” dengan pekerjaan mereka untuk mengerjakan proyek pribadi atau hobi yang membantu mereka menyeimbangkan kebutuhan personal dengan tuntutan kerja di kantor. Salah satunya juga karena tidak yakin bisa mengerjakan itu kalau sudah kembali ke kamar dan menyentuh kasur.</p><p style="text-align: justify;">Meski begitu, hal tersebut tidak membenarkan kebiasaan lembur itu sendiri. Setidaknya bagi saya, sekalipun itu sudah menjadi kebiasaan. Karena lembur, saya jadi sering kecapekan dan tertidur di jam kerja. Saya juga jarang olahraga karena sering bangun kesiangan. Alasan yang sama membuat saya malas main keluar di hari libur, apalagi badan merengek minta jatah tidurnya yang selama ini tertunda. Jam makan dan tidur saya juga tidak teratur. Pokoknya berantakan. Yang paling parah adalah tidak adanya waktu untuk melakukan refleksi seperti menulis pemikiran atau sekadar mengisi jurnal agenda harian. Hari-hari rasanya berlalu begitu saja. Saya juga tidak sempat ikut kajian untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Boro-boro, <i>shalat </i>subuh saja sering terlewat karena bangun kesiangan. Menyedihkan. Oh, jangan tanya kondisi kamar saya. Jelas berantakan.</p><p style="text-align: justify;">Alhamdulillah, sampai sekarang saya masih diberi kesehatan dan jarang sakit. Namun, saya selalu ingat kata-kata Bapak, “<i>Nduk</i>, mungkin sekarang sekarang <i>gak </i>kerasa, tapi nanti kalau kamu sudah tua baru terasa dampaknya.” Tidak terbayang bagaimana nanti kalau saya justru jatuh sakit ketika sudah saatnya merawat anak dan mungkin juga merawat orang tua. Saya juga tidak ingin berakhir seperti keluarga-keluarga Jepang yang tidak punya banyak waktu untuk bersama dalam kesehariannya. Namun, rasanya sulit merubah kebiasaan ini: kerja lembur, kesiangan, masuk telat, tambal jam kerja, lembur lagi, kesiangan lagi. Begitu terus, menjadi siklus yang sulit dipecahkan.</p><p style="text-align: justify;">Apakah saya pernah dalam kondisi ideal? Alhamdulillah pernah. Masa pengerjaan tugas akhir justru jadi momen saya hidup paling sehat. Karena semua progres harus dikerjakan dalam studio kampus yang dibatasi waktunya dari pukul 8 sampai pukul 4 sore saja, saya pun jadi benar-benar fokus memanfaatkan waktu itu untuk bekerja. Di luar itu saya bisa kajian, mempelajari hal baru, bersih-bersih kamar setiap hari, bahkan masih sempat nonton drama Korea untuk melepas stress. Saya juga sempat berhasil melakukan itu saat tinggal di Jepang, walaupun kemudian jadi kacau ketika waktu <i>shalat </i>mulai berubah akibat pergerakan matahari. Saat masih dalam masa <i>job-seeking</i> di awal pandemi, saya juga sempat hidup teratur dan bisa membagi antara pekerjaan <i>freelance</i>, pekerjaan rumah, dan <i>entertainment</i>. Namun, di semua kondisi itu memang beban kerjanya lebih ringan dan saya tidak harus memperjuangkan pendapatan finansial tertentu.</p><p style="text-align: justify;">Perlu diakui, memang ada pergeseran prioritas dalam hidup saya. <i>Somehow</i>, saya juga tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk keluar dari belenggu lembur ini. Namun, saya bingung bagaimana memulainya, dan sekalinya dicoba, saya malah jatuh ke lubang yang sama lagi ...</p><p style="text-align: justify;">Barangkali memang ada yang harus saya korbankan. Namun, apakah saya siap untuk melepaskannya?</p><p style="text-align: justify;">Jam komputer menunjukkan pukul 04:56. Saya pun bergegas mengambil air <i>wudhu </i>dan <i>shalat </i>subuh di ruang sofa kantor. Mata yang berat menggoda saya untuk rebahan di atas sajadah dan saya pun tertidur masih dalam balutan mukena, menanti dibangunkan oleh suara para pegawai yang satu per satu masuk ke kantor. </p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-19561651600400700322022-06-22T07:54:00.003+07:002022-09-02T08:18:45.081+07:00[DRAMA REVIEW] Shooting Stars (2022) - Main Couple-nya Malah Mlempem<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://web-cf-image.cjenm.com/crop/660x950/public/share/metamng/programs/%EB%B3%84%EB%98%A5%EB%B3%84-%EB%93%9C%EB%9D%BC%EB%A7%88-poster-ko-001.jpg?v=1655366816" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="556" height="800" src="https://web-cf-image.cjenm.com/crop/660x950/public/share/metamng/programs/%EB%B3%84%EB%98%A5%EB%B3%84-%EB%93%9C%EB%9D%BC%EB%A7%88-poster-ko-001.jpg?v=1655366816" width="556" /></a></div><p style="text-align: justify;">Dibintangi Lee Sunkyung dan Kim Youngdae, drama tvN ini bercerita mengenai kisah cinta antara seorang aktor ternama (Gong Taesung) dan kepala divisi public relation di agensi yang menaungi aktor tersebut (Oh Hanbyul). Drama ini mencoba mengeksplorasi situasi di belakang layar gemerlapnya dunia entertainment Korea, bagaimana sebuah agensi menemukan bakat, mengorbitkan artis-artisnya, dan tentunya mengelola citra mereka. Kepala perusahaan, tim manajer, dan tim public relation menjadi sorotan utama. Selain itu, digambarkan juga bagaimana mereka bekerja dengan persoalan legal (pengacara) dan peran media dalam membentuk citra selebriti (wartawan).</p><p style="text-align: justify;">Drama ini bisa dilihat sebagai penggambaran atau kritik terhadap bagaimana citra seorang artis di Korea tidak hanya dibangun berdasarkan performanya dalam bekerja, tetapi juga keseharian, latar belakang, dan hal personal lainnya. Segala hal menjadi konsumsi publik dan skandal sekecil apa pun bisa mengakhiri keseluruhan karir. Hal ini berbeda dibanding kultur industri hiburan di Amerika atau Indonesia di mana artis-artis masih bisa kembali tampil ke publik meski memiliki masalah personal yang merusak citra mereka.</p><p style="text-align: justify;">Perusahaan pun harus berhati-hati dalam mengambil langkah, seperti saat mengatur agenda harian, proyek mana yang akan diambil, dan tentunya dalam memberikan press release atau konfirmasi dengan wartawan terkait sepak terjang artis maupun isu lainnya. Tidak jarang ada agensi yang mengambil langkah ekstrem dan bersikap posesif terhadap artisnya, membatasi kegiatan dan interaksi dengan dunia luar, merampas kebebasan mereka.</p><p style="text-align: justify;">Shooting Stars seperti mencoba memberikan contoh yang baik dengan Starforce. Agensi yang menjadi pusat cerita di Shooting Stars ini digambarkan sebagai agensi yang sehat, yang menghargai keputusan artis-artisnya, yang bisa memposisikan diri sebagai mitra kerja alih-alih atasan dan bawahan. Starforce juga cukup bisa mempekerjakan pegawainya secara manusiawi dan juga memberikan apresiasi sesuai kerja keras yang telah diberikan pegawai. Sosok CEO Choi Jihoon pun diam-diam menjadi salah satu karakter favorit saya di drama ini karena ketegasan sekaligus kelenturannya dalam memimpin Starforce. Para manajer di sini juga sangat menarik diikuti karena lika-likunya membantu artis untuk melalui setiap jadwal dan tantangan karir. Tim public relation juga tak ketinggalan selalu disibukkan dengan pertanyaan dari wartawan dan dituntut untuk bisa membaca perkembangan citra artis di mata publik.</p><p style="text-align: justify;">Nah, sayang seribu sayang, plot utama tentang kisah cinta artis-pegawai-nya justru tidak terlalu menarik bagi saya. Faktor penyebabnya ada banyak. Di antaranya karena menurut saya kurang ada pendalaman pada karakterisasi Oh Hanbyul. Meski digambarkan aktif dan progresif dalam hal pekerjaan dan perhatiannya pada Gong Taesung, karakter Oh Hanbyul tidak dilengkapi dengan personalisasi dan latar belakang yang cukup. Ketertarikan Hanbyul terhadap Taesung pun kehilangan motifnya karena tidak didukung dengan landasan karakter yang kuat. Di sisi lain, karakter Gong Taesung yang sudah digambarkan cukup lengkap justru kurang didukung dengan performa aktornya. Kim Youngdae tidak bisa dipungkiri selama ini memang cukup terampil mengolah peran. Akan tetapi, penampilannya sebagai superstar di sini terlihat canggung dan dibuat-buat. Secara sekilas, chemistry antara Kim Youngdae dan Lee Sunkyung terlihat baik-baik saja. Namun, nyatanya adegan mereka yang paling intim pun gagal membuat saya baper.</p><p style="text-align: justify;">Anehnya, love line tokoh-tokoh pendukungnya justru ditulis dengan lebih baik. Name it all! Pasangan manajer kawakan Kang Yoosung dan Park Hoyoung, pasangan professional Do Soohyuk dan Jo Kibbeum, pasangan pegawai baru Byun Jungyeol dan Hong Boin, pasangan aktor rookie Yoon Jaehyun dan Jin Yoona, pasangan senior-junior Baek Dahye dan Kang Sideok, dan bahkan pasangan sesepuh CEO Choi Jihoon dan ibu Gong Taesung sekalipun!—semuanya justru bisa tampil natural tanpa paksaan meski tidak selalu ditampilkan secara mendetail. </p><p style="text-align: justify;">Di antara semuanya, pasangan profesional pengacara Do Soohyuk dan wartawan Jo Kibbeum menjadi favorit saya. Dasar ketertarikan mereka cukup jelas, sesederhana terkesan dengan etos kerja satu sama lain. Empati di antara keduanya juga dibangun dengan cukup rapi dan efektif. Dari segi akting, kemistri Lee Jungshin yang memerankan Do Soohyuk dan Sojin sebagai Jo Kibbeum juga menjadi favorit saya. Secara individu pun mereka juga dapat bersinar tanpa adanya yang lain. Hal ini ironis bila dibandingkan dengan pasangan utama kita, mengingat Lee Jungshin dan Sojin datang dari latar belakang idol dan memiliki daftar portofolio yang lebih pendek.</p><p style="text-align: justify;">Beberapa aktor lain yang mengundang perhatian saya adalah Ha Dokwon (CEO Choi Jihoon) dan Lee Seunghyub (Kang Sideok). Ha Dokwon secara visual terlihat biasa-biasa saja dan nampak seperti pemeran figuran, tetapi perlahan bisa menghidupkan karakternya dengan lebih karismatik seiring jalannya cerita. Lee Seunghyub sendiri lebih saya kenal sebagai anggota band N.Flying. Drama ini menjadi media pertama saya dalam berkenalan dengannya sebagai aktor dan saya sangat terkesan dengan performanya. Tatapannya saat melihat wanita yang ia sukai sukses membuat saya baper walau durasinya sangat singkat. Selain itu, saya senang aktor Yoon Jonghoon (Kang Yoosung) di sini tampil sangat baik selepas penampilannya di drama legendaris 2021 “Penthouse” (SBS, 2021). Saya melihat potensi baru dalam perannya kali ini sebagai senior manajer yang karismatik setelah sebelumnya hanya mendapat peran-peran kecil yang menyebalkan. Saya cukup excited menanti penampilan selanjutnya dari ketiga aktor ini.</p><p style="text-align: justify;">Meski terhitung drama kecil, Shooting Stars dihujani banyak cameo dengan nama-nama besar yang memiliki koneksi dengan sutradara Lee Soohyun atau dengan aktor-aktor utama. Contohnya Kim Dongwook dan Moon Gayeong yang sebelumnya membintangi “Find Me in Your Memory” (MBC, 2020) garapan sang sutradara, juga Uhm Kijoon dan Bong Taegyu yang sebelumnya bermain dengan aktor Yoon Jonghoon dalam “Penthouse”. Dilihat dari struktur ceritanya, penampilan cameo-cameo ini sudah direncanakan sejak dalam proses penulisan naskah yang sepertinya merupakan karya debut screenwriter Choi Youngwoo. Hal ini tidaklah buruk, tetapi agak disayangkan mengingat penulisan karakter-karakter utama justru masih belum maksimal.</p><p style="text-align: justify;">Overall, Shooting Stars (Sh**ting Stars) adalah feel-good drama yang meski memiliki kekurangan yang fatal, masih bisa kita nikmati dan memberikan insight baru terkait dunia entertainment Korea.</p><p style="text-align: justify;"><b>68/100</b></p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-51036722189215881632022-06-21T07:49:00.006+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00Review Singkat Transportasi Ibukota<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://epicentrum.co.id/images/post/223ahok-transportasi-di-jakarta-pokoknya-paling-parah-deh.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="335" data-original-width="670" height="335" src="https://epicentrum.co.id/images/post/223ahok-transportasi-di-jakarta-pokoknya-paling-parah-deh.jpg" width="670" /></a></div><p style="text-align: justify;">Ketika dunia masih sekecil Magelang, jasa angkot sudah cukup mewadahi kebutuhan mobilitas saya. Saat saya mulai pindah ke Yogyakarta dan kebutuhan saya mulai beragam, busway tidak mampu lagi menjembatani hal itu, dan saya pun membawa motor ke mana-mana. Saat saya berkesempatan ke luar negeri adalah momen saya akhirnya paham bagaimana transportasi umum seharusnya bekerja. Saya bisa pergi ke mana pun dan akan selalu ada angkutan umum dengan jadwal yang selalu bisa diandalkan dan diakses via Google Map atau aplikasi transportasi lokal. Kalaupun saya harus jalan, itu tidak pernah lebih dari 20 menit. Dan itu semua bisa diakses dengan mudah bahkan oleh saya yang notabene orang asing.</p><p style="text-align: justify;">Pindah ke Tangerang di tahun 2020 menjadi momen untuk saya sepenuhnya mencoba berbagai moda transportasi di Jakarta dan sekitarnya. Walau sudah ada aplikasi Trafi dan Moovit (sayang sekali, bahkan yang selevel Google Map gak sanggup memetakan moda transportasi kita), mobilisasi menggunakan transportasi umum masih cenderung sulit dilakukan. Tidak semua tempat dijangkau angkutan kota, metode dan moda pembayarannya tidak seragam, kondisi angkutan tidak selalu memadai/layak, jadwal belum akurat, informasi titik transit tidak selalu jelas, dan masih banyak kendala lain. Saya tidak bisa membayangkan kalau ada orang asing main ke Indonesia, pasti mereka bingung setengah mati.</p><p style="text-align: justify;">Suatu saat saya pernah ngobrol dengan orang Jakarta yang sejak kecil sampai akhirnya bekerja selalu tinggal kota ini. Dia agak tersinggung ketika saya bilang transportasi umum Jakarta masih belum terintegrasi dan terfasilitasi dengan baik. Dia merasa kondisinya sekarang sudah sangat oke. Ya, betul, kalau dilihat perkembangan internalnya saja. Namun, andai ia mau belajar sedikit saja tentang urban design/planning dan mendapat kesempatan untuk main ke luar negeri, barang ke Singapura atau Malaysia saja, niscaya dia akan tahu that we need to dream more, dia akan paham betapa banyaknya PR yang harus digarap pemerintah untuk menghadirkan transportasi publik yang nyaman dan bisa diakses seluruh kalangan.</p><p style="text-align: justify;">Namun, hal tersebut bukannya mustahil untuk dilakukan. Saya sendiri merasakan ada semangat yang cukup besar untuk mencapai hal tersebut, tetapi memang perlu sabar. Sebagai masyarakat biasa, mungkin kita bisa belajar untuk menggunakan dan merasakan sendiri pengalaman naik transportasi umum, saling mengingatkan dan menumbuhkan kesadaran akan fasilitas yang lebih baik. Then hopefully, we may start to bid farewell to kemacetan.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-64590651379046530122022-06-20T01:42:00.003+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00[FILM REVIEW] A World Without (2021) - I watched it so you don't have to<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://m.media-amazon.com/images/M/MV5BMzg0NzQ5OWMtMWNiMy00MDY4LWE1ZGUtNzkzNDIxODg3ZTg3XkEyXkFqcGdeQXVyMTEzMTI1Mjk3._V1_.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="540" height="800" src="https://m.media-amazon.com/images/M/MV5BMzg0NzQ5OWMtMWNiMy00MDY4LWE1ZGUtNzkzNDIxODg3ZTg3XkEyXkFqcGdeQXVyMTEzMTI1Mjk3._V1_.jpg" width="540" /></a></div><p>"A World Without" yang rilis Oktober 2021 lalu merupakan film ke-12 yang didistribusikan secara eksklusif oleh Netflix Indonesia. Film garapan Nia Dinata ini mengusung tema distopia di Indonesia tahun 2030. Ceritanya fokus pada sebuah institusi bernama The Light yang mendidik anak-anak muda dengan berbagai keterampilan, kemudian dijodohkan dengan pasangan “terbaik”, lalu dibantu merintis karir atau bisnis sehingga menjadi “agen perubahan” bagi negeri. Namun, tiga sekawan, Salina, Ulfah, dan Tara yang dididik di sana mulai melihat kejanggalan dalam bagaimana institusi ini dijalankan. Mereka berusaha untuk keluar dari The Light, sebelum semuanya terlambat.</p><p>Dari trailernya kita mendapatkan kesan futuristik dan <i>art directing</i> yang cukup unik, dipadukan dengan nuansa <i>cult </i>dari audio-visualnya yang sedikit mencekam. Saya sendiri tertarik untuk menonton karena belum pernah melihat format seperti ini dari film dalam negeri. Apalagi sejak beberapa bulan sebelum dirilis, Netflix sudah sangat gencar melakukan promosi untuk film ini, iklannya selalu nongol setiap saya membuka media sosial. Selain itu, ada duet Chico Jericho dan Ayu Sita yang menggawangi film ini dengan berperan sebagai <i>frontmen </i>The Light.</p><p>Kalau tidak salah ingat, pada hari film tersebut dirilis, hari itu pula saya langsung menontonnya. Saya tidak menyangka, di hari itu pula saya kecewa. WKWKWK.</p><p>Ada banyak alasan mengapa film ini tidak perlu ditonton. Pertama, pembawaan akting dan <i>phase editing</i>-nya terasa kaku. Lebih seperti panggung teatrikal daripada film. Kedua, upayanya memanfaatkan bangunan-bangunan lama sebagai latar memang patut diapresiasi, tetapi treatmen properti dan setnya tidak konsisten. Beberapa terlihat sangat rapi, profesional, dan menjual sesuai tema futuristiknya. Namun, sebagian yang lain terlihat murahan dan tidak meyakinkan. Ketiga, banyak isu ingin dibahas, seperti pergaulan anak muda yang tidak terarah, pernikahan dini, politik konglomerat, <i>women empowermen</i>, dsb, tetapi pada akhirnya tidak ada yang diselesaikan dengan tuntas. Keempat, konteks cerita dalam The Light seakan terlepas dari dunia di sekelilingnya, barangkali karena kurangnya massa dan sumber daya selama proses syuting karena pandemi sehingga koneksi dengan dunia luar hanya digambarkan melalui interaksi di dunia maya.</p><p>Kelima, dan yang menjadi alasan tersebesar kenapa saya kecewa dengan film ini adalah <i>ending</i>-nya yang sangat KENTANG, alias menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk salah satunya, “Hah, GINI DOANG??” Semua kejanggalan The Light sudah dipaparkan, tetapi urgensi bahanya tidak terasa dan sampai akhir kita tidak diberi tahu motif sesungguhnya di balik itu. Padahal itulah yang sejak awal berusaha dijual oleh film ini. Selesai menonton, saya merasa 106 menit saya berlalu dengan sia-sia :"))</p><p>Saya jadi bertanya-tanya bagaimana Netflix menyeleksi sebuah film atau <i>series </i>karena bukan kali ini saja saya kecewa dengan produk Netflix Originals, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Terbukti, nama yang besar tidak selalu menjadi jaminan kualitas. Terkadang suatu karya dipilih karena koneksi, atau faktor popularitas aktornya dan tim produksinya saja. Kemunculan Joko Anwar sebagai <i>cameo </i>dalam film ini juga nampaknya karena koneksinya dengan sutradara Nia Dinata dalam berbagai film sebelumnya (“Arisan!”, “Janji Joni”, “Quickie Express”). Kehadirannya di film ini justru semakin menvalidasi ketidakkonsistenan performanya sebagai penulis naskah, terutama sejak dua film terakhirnya, “Perempuan Tanah Jahanam” dan “Gundala” yang kurang memuaskan.</p><p>Nilai akhir untuk film ini: 4/10<br />dan 10/10 untuk marketingnya, WKKWKW</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-83446782822808920772022-06-19T07:55:00.007+07:002022-09-02T08:18:45.084+07:00Tentang Eril dan Bagaimana Menyikapi Kepergian<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/AMN6tsH9hQHHRENbdsGly0r2KBY=/1200x1200/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3456202/original/022167500_1620991428-Ridwan_Kamil_22.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="800" height="640" src="https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/AMN6tsH9hQHHRENbdsGly0r2KBY=/1200x1200/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3456202/original/022167500_1620991428-Ridwan_Kamil_22.JPG" width="640" /></a></div><p>Kepergian seorang pemuda yang istimewa mengguncang Indonesia beberapa pekan terakhir. Emmeril Kahn Mumtadz atau yang akrab dipanggil Eril, putra dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, resmi berpulang ke rahmatullah setelah hanyut di Sungai Aare, Swiss. Masyarakat Indonesia berbondong-bondong mengekspresikan duka dan dukungan untuk Eril dan keluarga, sejak diberitakan hilang hingga akhirnya jasadnya ditemukan dan dibawa pulang ke tanah air. Saya sendiri tersentuh melihat bagaimana seluruh negeri turut bersedih dan secara tulus berempati dengan peristiwa ini. Namun, perkembangan pemberitaan atau pembahasan Eril di internet dan media sosial tidak selalu mengenakkan hati.</p><p>Awalnya semua berjalan sesuai koridornya masing-masing. Keluarga Ridwan Kamil memberikan update secukupnya, sejak klarifikasi hilangnya Eril, proses pencarian, hingga ia ditemukan. Mereka juga menunjukkan kesedihan serta apresiasi pada sosok Eril dengan patut, tanpa glorifikasi yang tidak perlu. Sementara, (tidak biasanya) media massa bersikap cukup santun memberitakan peristiwa ini, dengan sabar menunggu update resmi dari Ridwan Kamil sekeluarga dan pihak yang berwenang. Media online yang lebih kecil membahas Eril dengan santun, beberapa mencoba menganalisis fenomena kesedihan kolektif masyarakat kita dan dikaitkan dengan sosok Eril itu sendiri.</p><p>Segalanya mulai terasa aneh sejak jasad Eril ditemukan, kira-kira dua minggu sejak dikabarkan menghilang. Tentu semua orang bersyukur atas hal tersebut dan semuanya ingin tahu. Mulailah terlihat bagaimana media memanfaatkan momen untuk menggaet massa, memancing kembali kesedihan, dan mengglorifikasi sosok Eril di luar proporsinya. Tak terkecuali akun-akun influencer yang selalu memberikan credit nama mereka di setiap unggahan. Saya sendiri mulai jengah dan akhirnya memilih menutup medsos di ponsel.</p><p>Berbeda dengan media yang terkesan mengulur-ulur isu, keluarga Ridwan Kamil justru cenderung bergerak cepat untuk move on dari kepergian Eril. Saya kira mereka akan stay low barang 1-2 bulan. Namun, begitu kembali ke Indonesia untuk pertama kalinya, Pak Emil langsung mengunggah kedekatannya dengan Arka, putra bungsunya yang masih kecil. Beberapa hari lalu, tak lama setelah jasad Eril dibawa pulang, Ridwan Kamil sekeluarga merayakan kelulusan Zara, anak kedua mereka, dengan nuansa gembira. Pak Emil juga beberapa kali merespons ungkapan duka netizen yang salah sasaran dengan bercanda.</p><p>Awalnya saya kaget karena dalam standar saya, ini semua masih terlalu dini. Namun, saya jadi teringat film NKCTHI yang konfliknya tentang trauma keluarga karena meninggalnya salah seorang anak mereka. Di film itu, saking sedihnya, kedua orangtua memutuskan untuk merahasiakan kepergian anak itu dari anak-anak mereka yang lain dan menganggap hal tersebut tidak pernah terjadi supaya mereka tidak perlu merasakan kesedihan yang dirasakan orang tua. Akan tetapi, sebenarnya mereka belum benar-benar ikhlas dengan kepergian anak tersebut sehingga selalu ada yang kurang dalam curahan kasih sayang yang mereka berikan kepada anak-anak yang lain.</p><p>Yang terjadi dalam keluarga Ridwan Kamil, bila saya boleh berpendapat, adalah kepercayaan yang amat besar terhadap takdir Allah dan bagaimana setiap peristiwa selalu memiliki tujuan dan hikmah. Tentu mereka bersedih, apalagi kepergian Eril amatlah tragis. Namun, mereka bisa menerima hal tersebut dan tidak melupakan apa yang mereka masih miliki sekarang, Zara dan Arka. Merayakan keduanya dengan penuh kegembiraan menjadi cara terbaik untuk melanjutkan hidup, dan barangkali menjadi penghormatan terbaik atas kepergian Eril.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-75761266962045232722022-06-18T07:41:00.005+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00Goodbye, Summer<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://i.pinimg.com/564x/79/38/c5/7938c5c3c73ee3db4a796a0ac80ddf8a.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="450" height="800" src="https://i.pinimg.com/564x/79/38/c5/7938c5c3c73ee3db4a796a0ac80ddf8a.jpg" width="450" /></a></div><p style="text-align: right;"><i>"<a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/summer.html">Summer</a>"</i></p><p style="text-align: justify;">Aku masih ingat, saat pertama kali menonton film “500 Days of Summer”, si narator membuka cerita dengan berkata:</p><p style="text-align: justify;"><i>“This is a story of boy meets girl, but you should know upfront, this is not a love story.”</i></p><p style="text-align: justify;">Waktu itu aku masih SMP dan tidak paham apa maksud dari kalimat itu. Aku makin gagal paham lagi setelah menyimak jalan kisahnya. <i>Terserah, lah. Jelas-jelas ini cerita cinta!</i></p><p style="text-align: justify;">Ketidakpahaman terhadap pesan si narator tidak menghentikanku dari menyukai film ini dan menontonnya berkali-kali. Namun, aku baru menyadari arti sesungguhnya dari prolog tersebut setelah aku menemukan dia, <i>Summer-ku</i>. </p><p style="text-align: justify;"><i>Haha, ironis.</i> Aku tersenyum getir sambil memandang langit Jakarta yang masih berwarna jingga. Matahari sore ini terbenam dengan lambat dan aku bersyukur karenanya. Izinkan aku mengenang dia sedikit lebih lama.</p><p style="text-align: justify;">Kutambahkan satu lagu lagi dalam <i>playlist</i>-ku: Jannabi - “For Lovers Who Hesitates”</p><p></p><div style="text-align: justify;"><i>“Then when the night comes</i></div><i><div style="text-align: justify;"><i>I carve the secret between you and me</i></div><div style="text-align: justify;"><i>After putting a bookmark on the night to recall</i></div><div style="text-align: justify;"><i>I open it without anyone knowing”</i></div></i><p></p><p style="text-align: justify;">Ingat bagaimana plot “500 Days of Summer” melompat-lompat secara acak selama rentang 500 hari? Belakangan aku baru sadar, sebenarnya babak pertama film ini dipenuhi dengan kenangan-kenangan indah yang Tom miliki tentang Summer. Aku pun demikian, begitu mengagumi sosoknya yang baik, menawan, pintar, berdedikasi, taat agama, dan sebutkan sifat-sifat mantu idaman lainnya, sepertinya aku akan selalu punya argumen untuk membenarkannya.</p><p style="text-align: justify;">Namun, betapa bodohnya manusia, mudah terjebak dalam pemikirannya sendiri. Tanpa ia sadari, Tom sebenarnya mengabaikan hal-hal yang tidak ia sukai tentang Summer. Rasa cintanya terhadap Summer sebenarnya dibangun atas fantasinya terhadap sosok “<i>the one</i>”, alih-alih sosok Summer itu sendiri. </p><p style="text-align: justify;">Aku lebih buruk. Karena malu dan berdalih “takut <i>kebablasan</i>”, aku justru menarik diri darinya, menghindari interaksi kecuali untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab. Aku gagal untuk bahkan sekadar memposisikan diri sebagai teman. Imbasnya, tak hanya interaksi kami terputus setelah berpisah, tetapi juga pada akhirnya aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya. Yang aku kagumi bukan dia, tetapi sosok yang kubangun dari imajinasiku terhadapnya.</p><p style="text-align: justify;">Sudahlah tepat patah hati ini. Aku pun tidak akan sudi membiarkanku dicintai dengan cara seperti itu. Aku terlalu fokus pada pertanyaan, “Apakah ia menyukaiku?” dan lupa untuk mempertimbangkan: “Sosok seperti apa yang ia sukai?” Ternyata aku tidak pernah benar-benar menempatkannya sebagai subyek, sosok yang hidup, memiliki perasaan, dan punya pilihan. Mengapa tidak pernah terbayangkan, bahwa ia juga mungkin sepertiku, sedang memupuk rasa untuk seseorang entah itu siapa, yang ia yakini bisa melengkapi kehidupannya.</p><p style="text-align: justify;">Aku menangis lagi. Kurasa ini baru pertama kalinya aku benar-benar berusaha untuk memahami dia. <i>What a bad lover.</i> Sambil menghapus air mata, kuberikan hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya, ku panjatkan sebuah doa: <i>Semoga kau sukses dengan perjuangan cintamu di sana.</i></p><p></p><div style="text-align: justify;"><i>“If the day comes again someday</i></div><i><div style="text-align: justify;"><i>Let's not turn around hastily</i></div><div style="text-align: justify;"><i>Let's step backward, the way we faced each other</i></div><div style="text-align: justify;"><i>And look at each other's saying goodbye”</i></div></i><p></p><p style="text-align: justify;">Langit mulai gelap. Aku turun dari <i>busway</i>, berbegegas keluar dari halte untuk menaiki angkot merah di seberang jalan yang akan membawaku pulang. Di dalam angkot, aku mengatur <i>playlist</i>-ku yang hanya berisi dua lagu itu dalam mode <i>repeat</i>. </p><p style="text-align: justify;">Sejak pertama kali aku mendengarnya, aku sudah tahu bahwa kedua lagu itu akan menjadi lagu kebangsaanku kelak bila dilanda patah hati. Aku tidak peduli dengan keramaian jalanan yang macet, atau <i>earphone</i>-ku yang murahan dan bersuara aneh. Kubiarkan saja dua lagu itu mengalun berkali-kali hingga aku bosan mendengarnya, berharap aku juga akhirnya bosan dengan perasaan ini. Meski rasanya mustahil.</p><p style="text-align: justify;">Tom pun butuh waktu lama untuk bisa berdamai dengan perasaannya kepada Summer. Jadi, untuk sekarang, biarkan aku bersedih. Namun, aku tidak menyesal. Aku mungkin belum mencintai dengan baik, tetapi aku belajar banyak. Seperti Tom yang akhirnya tergerak untuk mengejar impiannya lagi, kuharap aku bisa menemukan kembali hal yang berharga dalam diriku. Barangkali, setelah aku paham cara mencintai diriku sendiri, aku akan mampu untuk mencintai orang lain dengan lebih baik lagi.</p><p></p><div style="text-align: justify;"><i>“I know the bloomed and fallen heart</i></div><i><div style="text-align: justify;"><i>And the returned season too</i></div><div style="text-align: justify;"><i>I'll be in full bloom for a while and then fall</i></div><div style="text-align: justify;"><i>Once again forever”</i></div></i><p></p><p style="text-align: justify;"><i><br /></i></p><p style="text-align: center;"><iframe allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/GdoNGNe5CSg" title="YouTube video player" width="560"></iframe></p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-59554701282288719892022-06-17T07:44:00.010+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00Summer<p style="text-align: justify;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://i.pinimg.com/564x/21/ab/49/21ab49f2f9edcc8edd411584f8f25bd9.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="422" data-original-width="563" height="422" src="https://i.pinimg.com/564x/21/ab/49/21ab49f2f9edcc8edd411584f8f25bd9.jpg" width="563" /></a></div><p style="text-align: justify;"><span style="text-align: left;"><i><br />Busway </i></span><span style="text-align: left;">yang kutumpangi melaju di atas jalan layang melintasi kota Jakarta, menuju ke arah barat tempat matahari sedang bersiap menjemput malam. Biasanya aku benci lewat jalan layang ini karena pagar pembatasnya yang norak dicat hijau dan kuning. Namun, hari ini aku tidak keberatan karena distraksi itu tidak ada apa-apanya dibanding pemandangan langit Jakarta yang perlahan menjadi jingga.</span></p><p></p><p style="text-align: justify;">Ponselku memutar lagu “Summer” dari band Jannabi, liriknya menganalogikan cinta dengan musim panas. Ada apa dengan cinta dan musim panas? Banyak film dan drama romansa berlatar di musim panas. Salah satu film favoritku, “500 Days of Summer” bahkan menamai love interest tokoh utama dengan kata "<i>summer</i>".</p><p style="text-align: justify;"><i>“Sebenarnya, kamu bukan orang pertama yang tanya ke aku soal ini,”</i> kata-kata Melly tiba-tiba terngiang lagi di kepalaku. </p><p style="text-align: justify;">Pagi ini aku berkunjung ke rumahnya di Kampung Rambutan untuk sekadar bertemu teman baik setelah setahun terpisah karena pandemi. Juga untuk menanyakan <i>Summer-ku</i>, seseorang yang sudah kusukai sejak lama dan kini bekerja bersama Melly. Seiring usia yang semakin bertambah, aku perlu kepastian tentang rasa ini. <i>Should I end it here, or is it still worth continuing?</i></p><p style="text-align: justify;"><i>“Setahuku dia…”</i></p><p style="text-align: justify;">Menanyakan statusnya secara langsung adalah hal terakhir yang terlintas di benakku. Pertama, karena aku sendiri tidak yakin apakah aku siap untuk menjalin hubungan bila hati kami bersambut. Kedua, tentunya karena takut ditolak. Aku yang biasa-biasa saja ini tidak pantas bila disandingkan dengannya yang menawan dan berprestasi. Diri ini tidak ada apa-apanya dibanding perempuan-perempuan lain yang juga menyukainya. Aku terus berusaha menghancurkan impianku sendiri, berkali-kali membayangkan hari ia mengumumkan pernikahan dengan wanita lain. Aku juga kembali mengingatkan diriku sendiri bagaimana dua tahun ini telah berlalu tanpa ada interaksi sama sekali di antara kami.</p><p style="text-align: justify;">Akan tetapi, meski sangat tidak percaya diri, harapanku untuknya tidak pernah mati. Tidak ketika aku masih ingat saat-saat pandangan kami bertemu, atau ekspresi wajahnya yang canggung ketika menyapaku, atau pesan singkat darinya yang tiba-tiba menanyakan keberadaanku, atau perbincangan terakhir kami tentang rencana masa depan masing-masing yang panjang.</p><p style="text-align: justify;">Apakah aku masih memiliki peluang?</p><p style="text-align: justify;">“Setahuku, nih ya,” kata Melly perlahan. Ia akhirnya menjadi orang yang kupercaya untuk menjawab rasa penasaran ini. Bisa kurasakan ia berhati-hati memilih setiap kata yang hendak diucapkannya.</p><p style="text-align: justify;"><i>It’s okay, Mel. Just say it. I need to know…</i></p><p style="text-align: justify;">“dia lagi suka sama temen SMA-nya dulu.“</p><p style="text-align: justify;">“Oh, gitu…” kata-kata itu langsung keluar dari mulutku, tetapi kepalaku terasa kosong. </p><p style="text-align: justify;">“Iya… Jadi, saranku kamu segera <i>move on </i>aja, sih,” lanjut Melly sambil menggendong anaknya yang baru berusia enam bulan. Sebagai seseorang sudah menikah dan mengalami jatuh bangun sebelum akhirnya bertemu suaminya, Melly pasti lebih bisa menilai apakah perjuangan temannya yang lajang ini layak untuk dilanjutkan. Ada baiknya aku mengikuti sarannya.</p><p style="text-align: justify;">“Eh, jangan sedih…” kata Mel dengan wajah agak khawatir ketika aku hendak berpamitan. <i>Apakah sedari tadi aku banyak diam?</i></p><p style="text-align: justify;">“Ih, enggak kok, santai aja. Lagian aku udah sering ngebayangin ditolak, hehe. <i>I’m fine</i>,” jawabku sembari menarik senyuman untuk menenangkan Mel. Aku pun undur diri.</p><p style="text-align: justify;">Selepas dari rumah Melly, aku masih sempat bertemu dengan beberapa teman kuliahku di sebuah <i>cafe </i>. Kami berdiskusi seru tentang banyak hal, dari buku hingga transportasi publik Jakarta yang menyebalkan. Setelah satu setengah jam, teman-temanku pergi lebih dulu dan aku tinggal di <i>cafe </i>lebih lama untuk melanjutkan novel yang sedang kubaca. Aku bangkit pukul setengah lima dan berjalan menuju halte <i>busway </i>terdekat, menyusuri jalan-jalan kampung, menyentuh daun-daun tanaman yang menjuntai melampaui pagar, sesekali mengambil foto bunga dengan berbagai warna, seperti yang biasa kulakukan.</p><p style="text-align: justify;">Di dalam <i>busway</i>, aku mencoba untuk membaca lagi. Namun, begitu bus menaiki jalan layang, perhatianku dicuri pemandangan langit senja Jakarta yang kuceritakan tadi. Kuperhatikan deretan gedung dan bangunan yang mulai terlihat gelap seiring bayangan menyelimutinya. Seperti bus ini, ratusan kendaraan bergerak beriringan ke arah barat, membawa orang-orang yang hendak menutup harinya. Lagu “Summer” milik Jannabi mengalun dari <i>earphone</i>-ku.</p><p style="text-align: justify;"><i style="text-align: left;">“Back then…”</i><span style="text-align: left;"> </span></p><p style="text-align: justify;">—kira-kira begitu bait pertama lagu tersebut bila diterjemahkan ke bahasa Inggris.</p><p style="text-align: justify;"></p><div style="text-align: justify;"><i style="text-align: left;">“What must have I been thinking</i></div><i style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><i>To be able to smile</i></div></i><i style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><i>After giving you my everything”</i></div></i><p></p><p style="text-align: justify;">Kurasakan pandanganku mulai buram. Kepalaku selayaknya bioskop yang memutar seluruh kenangan yang kumiliki dengannya.</p><p style="text-align: justify;"></p><div style="text-align: justify;"><i style="text-align: left;">“What must have you been thinking</i></div><i style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><i>To be able to turn your back on me</i></div></i><i style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><i>After taking it all”</i></div></i><p></p><p style="text-align: justify;">Aku menangisi masa mudaku yang kuhabiskan untuknya. Aku menangisi diriku yang merasa rendah karena dirinya.</p><p style="text-align: justify;"></p><div style="text-align: justify;"><i style="text-align: left;">“The hot summer night has gone</i></div><i style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><i>And what's left is no good to see”</i></div></i><p></p><p style="text-align: justify;"><span style="text-align: left;">Musim panasku telah berakhir.</span></p><p style="text-align: justify;"><br /></p>
<div style="text-align: center;"><iframe allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/f5wCZ0-3Eos" title="YouTube video player" width="560"></iframe></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: right;"><i>bersambung ke "<a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/goodbye-summer.html">Goodbye, Summer</a>"</i></div>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-34561584195440068082022-06-15T23:57:00.003+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00Yang Terjadi Setelah Menulis Setiap Hari Selama 15 Hari - Refleksi #30DWC - Hari 15/30<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjW887YiTkBybJvIa53UzzzjDQcz2aU1fPfFM1PNPONwlcGSFO67KMFYQaBFz7O3grSfmk7V8FDPW20kZ5DbXQpn_3Zc_WM-HsZY8kH5nT37D8v3E_aKF1_sYFU8E6BL_2PMUoYmZZ9eV3QRL15-T_cWBInW6xt7h4gHy5MI0RFYhp2XVfMSFjIxnpIiQ/s4000/20220616_011804.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="2250" data-original-width="4000" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjW887YiTkBybJvIa53UzzzjDQcz2aU1fPfFM1PNPONwlcGSFO67KMFYQaBFz7O3grSfmk7V8FDPW20kZ5DbXQpn_3Zc_WM-HsZY8kH5nT37D8v3E_aKF1_sYFU8E6BL_2PMUoYmZZ9eV3QRL15-T_cWBInW6xt7h4gHy5MI0RFYhp2XVfMSFjIxnpIiQ/w640-h360/20220616_011804.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Work station saya di kantor</td></tr></tbody></table><p>Semua ini gara-gara <a href="https://www.instagram.com/fadhilanurlatifah/">Ipeh</a>.</p><p>Ya, dia yang ngajak saya ikutan sebuah <i><a href="https://www.instagram.com/pejuang30dwc/">writing challenge</a></i>, menulis minimal 200 kata per hari dan di-<i>publish </i>terbuka di blog, medsos, atau <i>platform </i>publik lainnya. Tadinya saya tidak yakin, tapi melihat programnya yang dibarengi kelas bahasa/menulis, mentoring, dan diskusi, saya akhirnya setuju ikut. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok kontrol berisikan 8 hingga 9 orang. Ipeh di Squad 1, sementara saya di Squad 2.</p><p>Awalnya saya agak pesimis juga bisa konsisten selama 30 hari karena saya bahkan masih kewalahan dengan kesibukan di kantor. Situasi saya waktu itu sering pulang malam, kurang istirahat, tidak sempat bersih-bersih kamar, apalagi olahraga. Waktu itu saya juga sudah dijadwalkan untuk <a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/dari-penerbitan-ke-studio-arsitektur.html"><i>training </i>di divisi sebelah</a>, mengorbankan salah satu waktu libur saya. Menambah satu lagi tanggung jawab setiap harinya membuat saya khawatir.</p><p>Benar saja, di hari Jumat, tanggal 3 Juni 2022 dan bertepatan dengan hari ketiga <i>challenge</i>, saya tepar, izin tidak masuk karena baru terbangun pukul 1 siang. Kemarinnya saya mulai <i>training </i>di divisi sebelah dan akhirnya lembur untuk menyelesaikan pekerjaan <i>training </i>dan tulisan <i>challenge</i>. Saya kira performa yang terseok-seok ini hanya muncul di awal masa challenge saja. Ternyata malah keterusan jadi sebuah pola hidup: bangun siang, kerja, menulis beberapa jam sebelum tengah malam, lanjut kerja, lalu baru tidur. Begitu terus siklusnya. <i>Alhamdulillah</i>, Pak Bos tidak masalah soal masuk siang, asal durasi kerja minimum terpenuhi (dan saya tinggal di kantor sehingga tidak ada masalah mobilisasi tiap harinya). </p><p>Pola hidup yang sangat buruk sebenarnya. Namun, lima belas hari berlalu sudah. <i>Who knows how I can fix this before the end of the challenge</i>.</p><p>Meski begitu, saya cukup bersemangat mengerjakan <i>challenge </i>ini. Alhamdulillah, saya sudah terbiasa menulis sejak kecil (walau dulu tulisannya tidak jelas maunya apa) sehingga 200 kata per hari sebenarnya target yang cukup rasional untuk saya. Malah saya justru sulit untuk menulis pendek karena harus memotong berbagai argumen yang saya miliki terhadap suatu topik (dan ini sebenarnya jadi masalah juga karena artinya saya butuh waktu lebih lama untuk menulis). Soal ide, saya punya banyak ide, mungkin malah terlalu banyak. Masalahnya selama ini adalah saya suka menunda-nunda karena tahu saya butuh banyak waktu untuk menulis sehingga selalu mencari-cari momen yang tepat, mencari waktu luang, libur, dst. Pada akhirnya banyak ide saya hanya jadi sekadar ide karena saya tidak pernah belajar untuk menciptakan momentum itu sendiri. Harapan saya dengan mengikuti <i>challenge </i>ini, saya bisa jadi lebih disiplin menuangkan ide saya ke dalam sebuah tulisan walau sedang tidak <i>mood </i>sekalipun.</p><p><i>Alhamdulillah</i>, mungkin karena banyak teman dan ada sistem penilaian, saya beneran bisa menulis setiap hari, memaksakan otak saya bekerja dan tubuh saya bergerak, <i>tackling every topic</i> yang beberapa bahkan sudah saya endapkan setahun lebih. Ternyata, saya hanya butuh 1 sampai 4 jam untuk menghasilkan satu tulisan utuh sepanjang 250-1000 kata. Menulis menjelang waktu pengumpulan sebenarnya membantu saya untuk tidak berlama-lama dan fokus pada satu gagasan saja. Saya pun masih bisa menjalankan tugas saya di kantor dan tidur cukup.</p><p>Nah, kendalanya, tulisan yang saya tulis setiap hari sejauh ini baru melalui tahap penulisan yang pertama, yaitu menulis bebas. <i>Well</i>, tidak bebas-bebas banget sih, saya selalu punya kerangka besar yang membantu saya menulis tiap paragrafnya, tetapi tulisan-tulisan tersebut tidak pernah benar-benar disunting. Saya juga tidak punya cukup waktu untuk meriset sehingga topik-topik yang saya tulis kebanyakan berdasarkan pada pengalaman atau observasi pribadi. Akan sulit bagi saya untuk menulis tentang arsitektur brutalisme di Ukraina karena harus membaca dan menonton berbagai referensi terlebih dahulu sebelum bahkan menuliskan satu kalimat saja.</p><p>Nah, karena tidak melalui proses riset, mulai terbentuk juga pola pikir tertentu pada proses menulis saya, terutama saat menulis ulasan drama/film. Karena waktu terbatas, otak saya semacam membuat langkah-langkah atau struktur tulisan yang kemudian saya ulangi lagi di tulisan-tulisan saya berikutnya. Misal, saya mulai dari awal ketertarikan terhadap karya tersebut, <i>setting expectation,</i> lalu masuk ke premis cerita, pesan-pesan moral, teknik penceritaan, performa akting, dan seterusnya. Sebenarnya pola atau alur berpikir seperti ini tidak selalu buruk, tetapi saya takut jadi terbiasa dan tidak tergerak untuk berpikir kritis di luar pendapat saya sendiri.</p><p>Apalagi, saya bekerja di bidang penerbitan/literasi. Dari pagi sampai sore (atau dalam kasus saya, siang sampai malam) otak saya sudah diperas untuk membaca, menganalisis, dan menulis. Kadang di malam hari saya sudah tidak kuat untuk mengeksplorasi topik-topik saya kembali, dan akhirnya saya tulis seadanya saja :”)))</p><p><i>Well</i>, sebenarnya sejak awal saya sudah punya solusi untuk persoalan ini. Solusinya ada pada <i>mindset</i>, yakni beranggapan bahwa saya memang tidak menulis untuk menghasilkan tulisan final, tetapi sekadar mengeluarkan ide-ide yang saya miliki terlebih dahulu. Pemilihan blog dibanding <i>platform </i>lain untuk mempublikasikan tulisan saya selama <i>challenge </i>berlangsung sebenarnya dilandasi <i>mindset </i>ini pula. Biarlah blog yang lebih personal dan lebih sedikit <i>view</i>-nya ini kita jadikan ruang <i>brainstorming </i>untuk ide-ide mentah. Mari kita tabung sebanyak-banyaknya tulisan, kita endapkan, lalu kita ramu lagi dengan berbagai bumbu baru sebelum kita sajikan mereka pada khalayak yang lebih luas. (Kebetulan saya lebih aktif berinteraksi di <a href="https://www.instagram.com/hanifahsausann/">Instagram</a>)</p><p>Lima belas hari telah berlalu dan saya cukup senang melihat <i>log</i> blog saya yang tidak pernah kosong. Saya juga mendapat berbagai <i>feedback </i>dari sesama pejuang <i>challenge </i>yang sangat membangun dan menambah semangat menulis. Semoga saya bisa tetap <i>istiqomah </i>selama lima belas hari sisanya. Aamiin.</p><p>Terima kasih kepada Ipeh yang telah mengajak saya.<br />Ayo, Peh! Kita bisa!</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-89898819758026614642022-06-14T23:58:00.004+07:002022-09-02T08:18:45.084+07:00[FILM REVIEW] - Fantastic Beasts (3): The Secret of Dumbledore - Sesuai Ekspektasi (Ekspektasi yang Mana?)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://m.media-amazon.com/images/M/MV5BZGQ1NjQyNDMtNzFlZS00ZGIzLTliMWUtNGJkMGMzNTBjNDg0XkEyXkFqcGdeQXVyMTE1NDI5MDQx._V1_.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="540" height="800" src="https://m.media-amazon.com/images/M/MV5BZGQ1NjQyNDMtNzFlZS00ZGIzLTliMWUtNGJkMGMzNTBjNDg0XkEyXkFqcGdeQXVyMTE1NDI5MDQx._V1_.jpg" width="540" /></a></div><p style="text-align: justify;">Di akhir pekan itu kami nonton berempat, aku bersama teman-teman kantorku. Tujuan utama kami sebenarnya main ke proyek dulu, baru kemudian ke bioskop. Lokasi yang jauh jadi kesempatan untuk bercerita di sepanjang perjalanan tentang apa yang akan kami tonton waktu itu, Fantastic Beasts 3. Kebetulan mereka belum pada nonton sekuel pendahulunya, jadilah saya bertugas sebagai perangkum plot. (Kebetulan pula saya satu-satunya penggemar Harry Potter di sini.)</p><p style="text-align: justify;">Saya tarik kembali lagi ingatan menonton Fantastic Beasts 1, pengalaman yang sangat baik. Tidak sedramatis Harry Potter yang merupakan pusat universe dari Wizarding World, tetapi berhasil memperlihatkan dunia yang berbeda dengan Amerika yang diliputi konflik antara dunia muggle dan dunia penyihir sebagai latarnya, kemudian dilengkapi dengan petualangan yang lugu dan penuh kelembutan dari karakter utama kita, Newt Scamander dan binatang-binatang magisnya.</p><p style="text-align: justify;">Fantastic Beasts 2 cukup menarik pada bagian relasi dengan Albus Dumbledore, Hogwarts, dan fakta-fakta yang telah diperkenalkan lewat seri Harry Potter. Di sini juga karakter Grindelwald yang kejam dan visi-visinya untuk dunia berhasil dibentuk. Namun, sisa plotnya, terutama tentang karakter-karakter baru lainnya kurang melekat di kepala saya, apalagi misteri yang meliputinya dibuat terlalu kompleks dan terkesan mengada-ada. Di sini Newt Scamander yang sudah berhasil memikat hati penonton, mulai berkurang porsinya, begitu pula dengan hewan-hewan magisnya—hal yang aneh mengingat judul utama film ini sendiri merujuk pada hewan-hewan tersebut.</p><p style="text-align: justify;">Saya jujur-jujuran dengan teman-teman saya, “Sebenarnya ekspektasiku untuk film ketiga ini sangat rendah.” J.K. Rowling yang penulis Harry Potter duduk di kursi penulis naskah untuk seri baru ini dan performanya cukup baik di film pertama. Namun, treatment naskah terlihat memburuk di instalmen kedua. Terlihat bagaimana konflik yang dipersiapkan sebenarnya butuh lebih banyak durasi. Sepertinya Rowling perlu lebih banyak waktu untuk meramu plot yang sesuai dengan format film, media barunya setelah puluhan tahun menulis untuk format novel.</p><p style="text-align: justify;">Selain itu, pengikut Harry Potter pasti sudah tahu bagaimana J.K. Rowling mengacaukan universe yang ia buat sendiri dengan menyebutkan fakta-fakta baru yang tidak masuk akal terkait tokoh-tokohnya di Harry Potter (yang bahkan sudah lama dirilis) untuk membuatnya lebih relevan dengan isu zaman sekarang, seperti rasisme, LGBT, dan sebagainya. Saya memiliki kekhawatiran, franchise Fantastic Beasts ini akan berakhir mengenaskan apabila Rowling tidak bisa mengatur ambisinya tersebut, alih-alih fokus pada jalan cerita.</p><p style="text-align: justify;">Benar saja, ekspektasi saya terjawab dengan film sepanjang 2,5 jam yang membuat saya agak menyesal mengeluarkan uang di akhir pekan untuk menontonnya. Cerita berkembang tanpa arah. Kita semua paham bahwa Albus, Newt dan yang lainnya harus menggagalkan rencana Grindelwald, apa pun itu. Sayangnya penjelasan hanya berhenti di situ. Kita bahkan tidak tahu apa yang menjadi tujuan Grindelwald dalam film ini, apalagi tujuan Albus yang meminta timnya untuk mengelabui musuh dengan berbagai rencana tanpa memberikan alasan. Sebenarnya hal ini bisa menjadi senjata yang kuat apabila penulis cukup cermat bermain kartu. Akan tetapi, banyak peristiwa muncul secara tiba-tiba tanpa penjelasan konteks yang cukup sehingga penonton tersesat dalam plot. </p><p style="text-align: justify;">Hal itu belum ditambah dengan absennya tokoh-tokoh penting dari instalmen sebelumnya seperti Tina Goldstein dan Nagini. Credence yang sebelumnya merupakan tokoh kunci, tiba-tiba turun drastis derajatnya di film ini, langsung selesai perannya di babak-babak awal lalu dibuang dan masuk sub-plot lain yang underwhelming, lagi-lagi karena tidak didukung build-up konteks yang kuat. Kehadiran Yusuf Kama di sini tidak lebih baik daripada kemunculannya di seri kedua yang seperti dibuat-buat, bahkan lebih buruk, tidak ada pun tidak apa-apa.</p><p style="text-align: justify;">Satu hal yang paling disayangkan dari film ketiga ini adalah bagaimana ia tidak ramah pada penonton yang bukan penikmat Harry Potter. Banyak referensi-referensi yang akan membuat orang awam kebingungan. Bagi penikmat Harry Potter pun, ada beberapa trik sihir baru yang dibiarkan berlalu tanpa penjelasan, mengabaikan rasa penasaran penonton. Padahal mengetahui bagaimana sihir bekerja selama ini menjadi keseruan seri Harry Potter, dan hal tersebut dijembatani lewat tokoh-tokohnya yang juga baru belajar sihir. Di Fantastic Beasts sebenarnya kita punya Jacob Kowalski yang merupakan seorang muggle, tetapi sayangnya perannya pada film ketiga ini disia-siakan.</p><p style="text-align: justify;">Oh, jangan tanyakan soal Newt, jelas signifikansi perannya semakin tersisih di sini, upayanya menyelamatkan situasi dengan hewan-hewannya sudah seperti filler saja. Fokus film sudah benar-benar beralih pada Dumbledore dan Grindelwald yang akhirnya secara resmi ditampilkan sebagai pasangan gay yang sedang bermusuhan. Tegangan antara keduanya sebenarnya sudah terbangun dengan cukup baik, tetapi lagi-lagi diakhiri dengan penyelesaian yang mengecewakan. Beberapa kalangan juga mempermasalahkan aktor Mads Mikkelsen yang menggantikan posisi Johnny Depp sebagai Grindelwald dalam film ini. Namun, dari naskahnya sendiri, saya rasa tokoh Grindelwald tidak digambarkan seberpengaruh itu. Strateginya untuk menguasai dunia kali ini juga gagal melampaui kengerian yang tercipta di film sebelumnya.</p><p style="text-align: justify;">Ekspektasi saya yang rendah terhadap Fanstastic Beasts 3 pada akhirnya bertemu dengan kualitas naskah yang demikian adanya. Hal ini sangat disayangkan, mengingat Steve Kloves sang produser yang sebelumnya menulis adaptasi naskah untuk seluruh film Harry Potter bahkan sudah turun tangan juga dalam penulisan film ini. Pada titik ini, ekspektasi saya untuk film selanjutnya sudah tak tersisa. </p><p style="text-align: justify;">Apabila Anda belum menonton film ini, ada baiknya tetaplah demikian. Gunakanlah uang dan kuota data Anda untuk menonton film lainnya. Kecuali telah terbukti film keempatnya layak untuk ditonton. Walau saya sendiri tidak yakin akan hal itu.</p>
<div style="text-align: center;"><iframe allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/0SCM4fsSSPM" title="YouTube video player" width="560"></iframe></div>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-73096673398951814632022-06-13T23:55:00.004+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00Brown-Bag: Di Antara Inspirasi dan Penyesalan Diri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://i.pinimg.com/564x/32/5e/bd/325ebdf7166ba04069c653a012baced4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="577" data-original-width="564" height="577" src="https://i.pinimg.com/564x/32/5e/bd/325ebdf7166ba04069c653a012baced4.jpg" width="564" /></a></div><p style="text-align: justify;">Malam ini kantorku mengadakan Brown-Bag. Ini istilah untuk acara presentasi portofolio pegawai-pegawai baru yang sudah lulus <i>probation</i>. Mengapa namanya Brown-Bag? Tidak ada yang tahu. Suka-suka Pak Bos. (Soal kantorku dan bagaimana aku mendarat di sini bisa dibaca di <a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/dari-penerbitan-ke-studio-arsitektur.html">post ini</a>).</p><p style="text-align: justify;">Sofi dan Melisa presentasi malam ini, keduanya sudah bekerja di studio kurang lebih 6 bulan lamanya. Mereka menyiapkan <i>file </i>portofolio, Riyan menyiapkan proyektor, sementara aku dan kawan-kawan dari divisi penerbitan menyiapkan kamera dan mikrofon untuk dokumentasi. Anak-anak lain ada yang mengobrol, sebagian menatap layar HP masing-masing. Hanya Pak Bos yang belum turun.</p><p style="text-align: justify;">Brown-Bag kadang jadi acara yang paling dihindari: oleh presenter karena gugup harus menunjukkan portofolionya kepada seisi kantor; dan oleh semua orang karena biasanya selalu ada pekerjaan yang lebih penting untuk diselesaikan. Namun, aku diam-diam selalu ingin ikut, sebagai presenter.</p><p style="text-align: justify;">Ya, aku belum pernah maju Brown-Bag. Ada semacam peraturan tidak tertulis bahwa acara ini untuk kawan-kawan studio saja. <i>Well</i>, Nirma dari divisiku menjadi anomali setelah ia diundang presentasi beberapa bulan lalu. Aku cukup senang dengan sesi Nirma waktu itu karena menghadirkan warna berbeda pada acara Brown-Bag yang biasanya sangat didominasi hal-hal arsitektural. Waktu itu aku sempat ditunjuk untuk presentasi di kesempatan berikutnya. Namun, seperti biasanya, Pak Bos lupa. Brown-Bag kali ini pun barangkali luput kalau tidak ada yang mengingatkan. Makanya Sofi dan Melisa yang sudah 6 bulan di sini pun baru bisa presentasi sekarang.</p><p style="text-align: justify;">Brown-Bag, meski selalu dihindari, sebenarnya selalu berakhir menjadi momen yang menyenangkan dan reflektif. Acara ini jadi kesempatan kami untuk berkenalan dengan si presenter, di luar persona yang ia tunjukkan sehari-hari di kantor. Seringkali aku terkaget-kaget menemukan selera arsitektur, keterampilan desain, dan pemikiran teman-teman studio yang tertuang dalam portofolionya. Namun, bahkan sesama anak studio pun juga suka kaget melihat sisi baru teman-temannya. Kami jadi belajar tentang satu sama lain, saling menginspirasi.</p><p style="text-align: justify;">Seperti bagaimana Melisa malam ini. Anak ini sebenarnya tidak termasuk dalam lingkaran pertamanan utama saya di kantor. Ekspresinya cenderung meledak-ledak sehingga saya yang introvert ini tidak selalu kuat menghadapinya. Namun, di hadapan kami malam ini ia berbicara dengan lebih tenang menjelaskan satu per satu proyek arsitektur yang pernah ia kerjakan. Tidak semuanya ia tampilkan, hanya proyek yang membuatnya senang saja, katanya. Nyatanya proyek-proyek tersebut tak hanya membuat dirinya senang, tetapi kami yang melihatnya pun demikian.</p><p style="text-align: justify;">Gaya visual Melisa amat indah. Komposisi bentuk, warna, dan pengemasannya sangat lembut, cerah, dan artistik. Namun, yang paling menyentuh sebenarnya adalah bagaimana ia mengekspresikan berbagai emosi yang dirasakannya dalam bentuk desain. Tidak hanya dari nuansa, tetapi fungsi dari bangunan-bangunannya sendiri juga merespons atau berusaha menghidupkan emosi tertentu. </p><p style="text-align: justify;">Melihat karya-karyanya membuat saya kembali ke masa awal mengenal arsitektur yang menyenangkan dan sederhana. Jangan salah paham, dari segi aspek perancangan, karya Melisa jelas jauh dari kata dangkal, tetapi ia mampu membawakannya dengan mudah. Lewat bahasa yang bisa dipahami manusia jenis mana pun, bahasa hati.</p><p style="text-align: justify;">Melisa terlihat sangat menikmati setiap karyanya, setiap garis menggambarkan dirinya. Membuatku bertanya-tanya, ke mana saja selama ini? Mengapa bukan arsitektur yang seperti ini yang selama ini aku jalani?</p><p style="text-align: justify;">Dalam sesi diskusi, kusempatkan untuk berkomentar. “Saya merasa tidak punya banyak memori indah saat mendesain. Melihat karya Melisa membuat saya membayangkan, andai selama ini saya berarsitektur dengan cara Melisa, sekarang saya ada di mana?” Tak kusangka, kedua mataku berair saat mengucapkannya.</p><p style="text-align: justify;">Ya, ada rasa sesal yang tiba-tiba muncul dalam hati ini. Selama ini aku selalu percaya dengan jalan yang kupilih, termasuk memilih jalur literasi arsitektur. Namun, malam ini aku diingatkan kembali pada alasan pertamaku mengapa ingin menjadi arsitek. Lalu aku dihadapkan dengan seorang kawan muda yang telah dan sedang menjalani impian itu. <i>Well</i>, pada akhirnya Pak Bos bilang Melisa itu memang prodigy. Namun, pertanyaan itu terus menggantung di benakku cukup lama, <i>“Mengapa aku tidak bisa? Andai waktu kuliah dulu aku lebih rajin, andai dulu aku mau membuka diri…"</i></p><p style="text-align: justify;">Brown-Bag sudah selesai. Riyan ngobrol dengan Pak Bos tentang Brown-Bag selanjutnya. Namaku disebut-disebut.</p><p style="text-align: justify;">Oh, kini aku tak lagi yakin apakah aku masih mau maju untuk presentasi.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-61979328492324864402022-06-12T23:48:00.002+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00Refleksi Keuanganku (2022 ver.)<p style="text-align: justify;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://cdn.dribbble.com/users/163342/screenshots/7174609/media/6dd9e4e0e6d5cad44d30d07b627064e2.jpg?compress=1&resize=768x576&vertical=top" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="768" height="576" src="https://cdn.dribbble.com/users/163342/screenshots/7174609/media/6dd9e4e0e6d5cad44d30d07b627064e2.jpg?compress=1&resize=768x576&vertical=top" width="768" /></a></div><i>Yang saya tulis di bawah ini merupakan refleksi singkat keuangan saya selama ini dan harapan untuk kondisi keuangan lima tahun mendatang. Ditulis dalam rangka giveaway akun IG <a href="https://www.instagram.com/deramelia/">@deramelia</a>, seorang Islamic Financial Planner. Namun, versi yang saya tulis di kolom komentar akun tersebut saya buat lebih singkat. Bismillah, semoga dapat kelas gratis ^^</i><p></p><p style="text-align: justify;">—-</p><p style="text-align: justify;">Perkenalkan, saya Ufi dari Magelang. Alhamdulillah, berkat algoritma instagram, hari ini saya dipertemukan dengan akun ini dan langsung follow karena senang menemukan platform edukasi untuk pengelolaan finansial berlandaskan syariat islam. Tidak menyangka malamnya langsung terbuka kesempatan giveaway. </p><p style="text-align: justify;">Usia saya 26 tahun, masih lajang, dan sekarang bekerja sebagai karyawan swasta. Saya bukan dari keluarga berada, tetapi alhamdulillah bisa hidup cukup sejak kecil tanpa tanggungan hutang. Sekarang saya sudah mulai memiliki tabungan, tetapi sifatnya masih pasif karena selama ini saya masih ragu untuk belajar soal keuangan. Saya ingin belajar untuk bisa mengembangkan dan memanfaatkan harta yang saya miliki dengan cara-cara yang halal. Sebagai seorang wanita yang berharap nantinya akan berkeluarga, saya juga ingin belajar bagaimana mengelola keuangan keluarga, mempersiapkan dana hari tua, dan dana pendidikan anak. </p><p style="text-align: justify;">Sebenarnya sulit bagi saya yang tidak pernah belajar keuangan ini untuk mencanangkan target 5 tahun ke depan. Namun, kalau boleh berandai-andai, di umur 31 tahun nanti, seperti sekarang, saya ingin bisa hidup cukup tanpa hutang, kemudian memiliki dana untuk merawat orang tua dan mendukung adik, memiliki sumber pendapat sekunder yang stabil, memiliki beberapa aset seperti tanah, sudah menabung atau menyicil pembangunan rumah, dan bisa bersedekah untuk lebih banyak orang.</p><p style="text-align: justify;">Dua hadiah yang ditawarkan sama-sama baik. Namun, saya meyakini bahwa barang bisa dijual dan dibeli kembali, tetapi ilmu dan pengalaman tidak bisa ditukar dengan apa pun dan kebermanfaatannya bisa bertahan hingga lintas generasi. Oleh karena itu, bila saya terpilih untuk memenangkan giveaway ini, saya ingin bisa bergabung dengan teman-teman lain untuk belajar bersama dalam Kelas Kelola Keuangan Secara Syar’i di akhir Juni nanti.</p><p style="text-align: justify;">Terima kasih telah membaca cerita saya. Semoga bisa segera berjumpa di kelas~ :)</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-70562187670990501022022-06-11T23:48:00.002+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00[DRAMA REVIEW] Monstrous (2022) - Drama Zombie Berkedok Genre Mistis<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://asianwiki.com/images/c/cf/Monstrous_Korean_Drama-P1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="640" height="800" src="https://asianwiki.com/images/c/cf/Monstrous_Korean_Drama-P1.jpg" width="640" /></a></div><p style="text-align: justify;">Di tengah kebosanan akibat semua drama <i>on-going</i> favorit sudah habis ditonton, akhirnya saya mencoba-coba nonton drama lain yang sebenarnya tidak cukup membuat saya tertarik, salah satunya “Monstrous” yang diproduksi <i>streaming service</i> Korea, TVING. </p><p style="text-align: justify;">Sebenarnya drama ini cukup menjanjikan karena jajaran aktornya yang berkualitas, seperti Koo Gyo-Hwan yang mencuri perhatian lewat karakter tentara nyentriknya di D.P. (Netflix, 2021), lalu Shin Hyun-Bin yang sebelumnya membintangi Hospital Playlist (Netflix, 2020-2021), juga Kwang Dong-Yeon dan Nam Da-Reum, dua aktor muda yang wajahnya sudah lama mewarnai layar kaca sejak mereka masih bocah. Oiya, ada juga Pak Ho-San yang memikat saya sejak Prison Playbook (tvN, 2017).</p><p style="text-align: justify;">Namun, tema mistislah yang membuat saya agak jengah dengan drama ini karena memang bukan selera saya. Ceritanya berpusat pada sebuah patung Budha yang terkutuk. Kedua matanya ditutup dengan kain bermantra karena siapa pun yang melihatnya akan berhalusinasi tentang memori terburuknya. Patung yang sudah lama disegel dan dikubur ini akhirnya ditemukan kembali. Karena tidak tahu perihal asal-usulnya, pemerintah setempat justru memerintahkan untuk membuka segelnya dan berencana memamerkannya sebagai objek wisata. Keanehan mulai muncul pada setiap orang yang sempat melihat mata patung itu. Tak lama kemudian, turunlah hujan berair hitam di Distrik Jinyang yang menjadi <i>setting </i>drama ini. Semakin banyaknya orang yang bersikap tak wajar membuat pemerintah nasional menduga telah terjadi penyebaran virus tak dikenal karena hujan tersebut sehingga Distrik Jinyang pun ditutup.</p><p style="text-align: justify;">Jung Ki-Hoon (Koo Gyo-Hwan) yang merupakan seorang arkeolog melihat bahwa fenomena ini berkaitan dengan ditemukannya patung tersebut. Ia pun menyusup ke Jinyang untuk menyelamatkan mantan istrinya, Lee Soo-Jin (Shin Hyun-Bin) yang menyepi di sana setelah kematian anak semata wayang mereka. Keduanya, dibantu seorang polwan dan sekelompok biksu akhirnya bekerja sama untuk menghentikan kekacauan tersebut.</p><p style="text-align: justify;">Terus terang, saya menonton tanpa mencari tahu terlebih dahulu soal drama ini (sekadar mengecek trailernya) sehingga saya kaget ketika panjang tiap episodenya hanya 40 menit, ceritanya berjalan dengan sangat cepat, dan akhirnya selesai setelah 6 episode (padahal panjang drama pada umumnya 16 episode dengan durasi 1 jam tiap episode). Mungkin saya bias, tetapi saya rasa latar belakang cerita yang disiapkan terlalu besar untuk dieksekusi dalam format ini karena akhirnya terasa nanggung dan banyak potensi nampak belum disentuh, khususnya pada tokoh-tokoh pendukung.</p><p style="text-align: justify;">Dari segi konteks, sebenarnya banyak isu menarik yang diangkat, seperti kepala daerah yang tidak kompeten dan tren peralihan desa-desa pertanian menjadi desa wisata. Namun, itu semua akhirnya dengan gampangnya diselesaikan dalam sebuah <i>zombie apocalypse</i>. <i>LMAO</i>. Jujur, awalnya saya agak optimis fenomena mistis yang ditampilkan akan lebih menarik dan berbeda, misalnya seperti dalam The School Nurse Files (Netflix, 2020). Namun, ketika semua orang yang kesurupan mulai bunuh-bunuhan, saya langsung tepok jidat. <i>Aduh, capek, deh.</i> (Mohon maaf, kepada para penikmat tema zombie, saya memang suka genre ini, <i>but, come one~</i>)</p><p style="text-align: justify;">Penyelesaian drama ini juga terasa antiklimaks dan <i>phase</i>-nya seperti diseret-seret sehingga ketegangannya hilang. Beberapa karakter seperti Lee Soo-Jin yang juga seorang arkeolog dan para biksu juga kurang mendapatkan ruang yang cukup untuk berkembang dan beraksi.</p><p style="text-align: justify;">Meski ada indikasi drama ini akan berlanjut di musim kedua, hal tersebut tidak bisa menjustifikasi kekurangan-kekurangan yang ada dalam naskah ini. Hal tersebut sangat disayangkan melihat tata produksi, performa aktor, dan penyutradaraan yang sebenarnya cukup menjanjikan.</p><p style="text-align: justify;"><b>67</b>/100</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-26805483846693930092022-06-10T23:50:00.007+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00Letter to N-Sensei <table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid2codg3_phEmL7zwRTVZa_9gBaFAwSav0aBq_RGNcJplB6LKDM05gAfc2II7tZILL6oVwxpdNb8IyNX8Hy3QyauOfKzaYC0qVdKxqJu8ed1agF565DOOFU7Tzcly9sL5k7r0WRdg_NR_z2gAQO5qLTqUzGMc6U6rQgkahzR6TOhxeJBQ7JXiMZn9GEg/s4160/IMG_20190125_142653.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="4160" data-original-width="2340" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid2codg3_phEmL7zwRTVZa_9gBaFAwSav0aBq_RGNcJplB6LKDM05gAfc2II7tZILL6oVwxpdNb8IyNX8Hy3QyauOfKzaYC0qVdKxqJu8ed1agF565DOOFU7Tzcly9sL5k7r0WRdg_NR_z2gAQO5qLTqUzGMc6U6rQgkahzR6TOhxeJBQ7JXiMZn9GEg/w360-h640/IMG_20190125_142653.jpg" width="360" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kyushu University, Ito Campus, Fukuoka<br />in a cold winter, tho no snow, January 2019<br /></td></tr></tbody></table></td></tr></tbody></table><p style="text-align: justify;">Dear Nonaka-sensei,</p><p style="text-align: justify;">I hope that you, your family, and the JTW team are safe and sound.</p><p style="text-align: justify;">I'm sorry that I couldn't reply to your last email, and that it took almost 2 years for me to do it now. I've always wanted to write to you but I just couldn't, even after you sent your greeting through my juniors in JTW. I think it's similar to the way it was with you after giving birth to your daughter, the difference is that for me I got a new job.</p><p style="text-align: justify;">I am forever grateful that you updated us on your daughter, and so is Hanna & Tri. I hope she’s well. You haven’t told us about her name. Does she have an English family name then? Just realized I haven’t learned about your husband’s name either. I assume she can walk quite freely now? And starting to talk I guess? (My boss has a baby boy who just turned 2 today, that’s how I guess). How is she adapting to the pandemic? Pandemic babies tend to be shy here, but one of my friends’ kids managed to overcome it after last Ied Al Fitr last month where he met a lot of people.</p><p></p><div style="text-align: justify;">How about you, Sensei? How do you do? How is parenting x lecturing? Hehehe</div><div style="text-align: justify;">I think I’ve come to an age where I’m so curious about how moms balance their families with their careers. Moreover that I’m now considering being a lecturer myself (surprise!). Is there any way your teaching style/preference is affecting your parenting method?</div><p></p><p style="text-align: justify;">Do you teach outside the JTW program too now? What are you up to in teaching these days? How’s the JTW program adjusting to the pandemic? How are the students? How did my juniors do? What were their interests? Any similarities with mine?</p><p style="text-align: justify;">Btw, just took I break from writing this email to read back on our previous correspondence. I can feel the difference in the way I write emails compared to now. I don’t know if you can tell. A lot has changed in real life too for sure. </p><p style="text-align: justify;">So, I got accepted into the architecture publishing company I told you about before. It was after my application was neglected for like 3 months and I almost took an internship in local online media (which has nothing to do with architecture lmao). I finally moved to Tangerang (next to Jakarta) to start my new job here on December 14th, 2020 (still remember the date, such a new life chapter). </p><p style="text-align: justify;">1.5 year has passed since then—which is longer than what I planned, coz my Mom got very sick before I applied for the job and it was hard for me to leave her, so I planned to work there for 1 year and then go back to my hometown to accompany her. But then she got better (not her health condition tho, it’s still the same or maybe worse, but her mindset and attitude in life have improved so much), and I learned so much here even in just a year, so it was kinda unfortunate to just leave for perhaps something totally different (coz I still want to write but we have no architecture publishing in my hometown and nearby).</p><p style="text-align: justify;">I’m probably still gonna be here at least until the end of 2022. Our company is very small (it’s currently just the 4 of us) and has no particular career path. So, I need to plan what I want to do next in life. One of the options is to be a lecturer, a lof people told me to (my boss, my college supervisor, friends, colleague, etc), and hopefully, I can move closer to my parents after becoming one. But in order to do that, I need to study again and perhaps obtain real design experience to teach my future students better. So apart from my main job, I am now using one of my day-offs to train in My Boss’ architecture studio (which is his main business). It’s been 2 weeks, and it was such a big challenge for me. I’m glad that everything is going pretty well so far.</p><p style="text-align: justify;">Hanna and Tri are doing fine. Tri is still in the same company. While Hanna has resigned from her work and has been accepted into a university in Australia for graduate studies, I heard she’s still looking for a scholarship. Otherwise, she would have let go of the program and try again next time. She’s enjoying a lot of cooking and baking now in Jogja. I met Arsya last year after she graduated. It’s been so long ever since, so I’m wondering about her too now.</p><p style="text-align: justify;">Though a lot has changed, I do still write long emails, hehe. And I left so many questions! Lol. You don’t have to answer them all. Any update is fine ^^</p><p style="text-align: justify;">Is your address still the same? I really need to send your flash disk back and perhaps some Indonesian stuff :p</p><p style="text-align: justify;">Looking forward to hearing from you~</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p></p><div style="text-align: justify;">Lots of love,</div><div style="text-align: justify;">Ufi</div><p></p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-55822754059576437152022-06-09T23:51:00.002+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00[DRAMA REVIEW] Thirty Nine (2022) - Tentang Merayakan Kematian<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://asianwiki.com/images/3/33/Thirty_Nine_Korean_Drama-p1.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="560" height="800" src="https://asianwiki.com/images/3/33/Thirty_Nine_Korean_Drama-p1.jpg" width="560" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Thirty Nine <서른, 아홉> (JTBC, 2022)</td></tr></tbody></table><p style="text-align: justify;">Begitu melihat aktris Jeon Mi-do di poster drama ini, tanpa ragu saya langsung mengecek trailernya yang waktu itu baru rilis. Drama ini menjadi produksi pertama Jeon Mi-do setelah drama “Hospital Playlist” yang mengenalkannya ke layar kaca, dan saya cukup excited untuk melihatnya mencoba peran baru bersama sutradara lain. Begitu melihat trailernya, saya langsung tertarik karena menceritakan kisah persahabatan tiga wanita lajang di usia 39 tahun—fokus jenjang usia yang jarang saya lihat dikemas dengan nuansa youthful seperti drama ini (biasanya sarat isu perkawinan, perselingkuhan, dan sejenisnya).</p><p style="text-align: justify;">Saat akhirnya drama ini tayang, ternyata ceritanya lebih menyedihkan daripada yang digambarkan dalam trailer. Sejak episode pertama, kita sudah diberi tahu bahwa salah satu tokoh utama kita akan meninggal. Tanpa babibu, di episode kedua langsung diungkapkan siapa tokoh tersebut. Namun, justru hal ini yang membuat saya terus tertarik untuk menonton hingga akhir karena artinya tim produksi cukup percaya diri dengan story-telling yang mereka susun untuk menceritakan proses menuju ending tersebut.</p><p style="text-align: justify;">Dugaan tersebut terbukti. Setiap episode terajut dengan sangat rapi dan mendalam, membawa kita menyelami setiap lapis emosi yang dihadirkan pada setiap fase yang dialami tokoh-tokoh kita: sejak muncul kabar salah satu dari mereka mengidap kanker stadium akhir, penolakan setiap tokoh terhadap berita tersebut, masa penerimaan, bagaimana mereka “mempersiapkan kematian” tokoh tersebut, hingga akhirnya mereka melepas kepergiannya. Skenario sakit kanker stadium akhir ini sebenarnya plot klise yang sudah sangat banyak kita lihat di film maupun drama Korea, tetapi drama ini berhasil memperlihatkan sisi yang lebih humanis dan realistis, juga diwarnai eksplorasi cara-cara baru dalam menghadapi—atau lebih tepatnya merayakan sebuah kematian: bagaimana mengusahakan kebahagiaan dalam setiap momen hidup, mensyukuri apa yang kita miliki, lalu mengenang orang yang pergi dengan sebaik-baiknya dan mencoba yang terbaik dalam hidup kita sendiri. Jujur, saya pribadi tidak bisa tidak menangis di tiap episodenya.</p><p style="text-align: justify;">Drama ini juga dilengkapi beberapa sub-plot dari tokoh lainnya, seperti berhenti dari pekerjaan yang selama ini menghidupi diri, mencoba hal-hal baru, menemukan cinta, dan sebagainya. Yang paling membekas bagi saya barangkali tema anak yatim piatu yang tumbuh dewasa, bagaimana tidak semuanya bertemu dengan keluarga angkat yang dapat memberikan kasih sayang secara tulus, bagaimana setelah mendapat curahan cinta dari keluarga baru pun masih ada kekosongan dalam diri yang membuat mereka ragu untuk mengambil langkah dalam hidup, atau merasa tidak pantas untuk mencintai orang lain. Saya sendiri belum pernah memiliki teman yang merupakan seorang yatim piatu (setidaknya yang saya tahu). Setelah menonton drama ini saya berharap bisa memperlakukan mereka dengan baik apabila diberi kesempatan bertemu.</p><p style="text-align: justify;">Plot lain yang terasa sangat relatable bagi saya adalah bagaimana dalam persahabatan tiga orang, terkadang ada satu orang yang terasingkan, terkadang tidak diikutsertakan dalam perbincangan, selalu terakhir dalam mengetahui suatu berita. Saya sendiri pernah berada dalam posisi tersebut yang membuat saya berandai-andai apakah ada yang kurang dalam diri saya sebagai seorang teman. Dari drama ini saya belajar bahwa belum tentu teman-teman kita sengaja berbuat demikian dan tentu semuanya bisa dicari jalan keluarnya apabila kita mau untuk mendiskusikannya bersama.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">THE TEAM</p><p style="text-align: justify;">Jeon Mi-do di sini menurut saya sangat sukses memerankan tokoh Jeong Chan-Young, seorang guru akting dengan karakter tangguh, ceria, dan paling selow di antara ketiga tokoh utama, berbeda dari karakter Chae Song-Hwa di Hospital Playlist yang upright dan agak kaku. Truly never disappoints.</p><p style="text-align: justify;">Drama ini menjadi produksi pertama dengan Son Ye-Jin sebagai cast-nya yang berhasil saya tonton sampai habis. Sebelumnya saya berhenti di tengah saat menonton performanya di Crash Landing on You karena ceritanya terlalu romantis untuk selera saya. Namun, di sini saya bisa bersimpati sepenuhnya pada tokoh Cha Mi-Jo yang diperankannya. Drama ini menjadi penutup karir yang indah bagi Son Ye-Jin sebelum tak lama kemudian menikah dengan Hyun Bin, lawan mainnya di Crash Landing on You.</p><p style="text-align: justify;">Senang sekali saya bisa melihat Yeon Woojin di sini memerankan Kim Seon-Woo yang dipasangkan dengan Cha Mi-Jo. Penampilannya sebagai seorang introvert di My Shy Boss sangat memukau. Dengan ditayangkannya drama ini di Netflix, saya berharap ia akan mendapatkan pengakuan publik yang pantas ia terima atas performanya.</p><p style="text-align: justify;">Beberapa aktor lain yang saya temui kembali melalui drama ini antara lain, Kang Ae-Shim (1963), Lee Ji-Hyun (1972), dan Kang Mal-Geum (1979). Mereka bertiga sama-sama belum lama memulai karir akting di film dan layar kaca, tetapi konsisten dalam menyusun portofolio dan performanya selalu mencuri perhatian. Seperti Lee Ji-Hyun yang belum lama ini muncul juga di Green Mothers’ Club memerankan guru SD, di sini mendapat peran penting sebagai ibu Jeong Chan-Young; Kang Mal-Geum yang sebelumnya memerankan selir kerajaan yang berwibawa di drama The Red Sleeve, di sini dengan sukses memerankan kakak Cha Mi-Jo yang sangat ceria dan usil; terakhir Kang Ae-Shim yang pertama kali saya temui lewat Be Melodramatic dan setelah itu sering mengambil peran-peran kecil dalam berbagai drama, tetapi beliau punya selera bagus dalam memilih naskah sehingga kehadirannya menjadi salah satu indikasi tingginya kualitas suatu drama, seperti di drama ini ia memerankan kepala panti asuhan.</p><p style="text-align: justify;">New face dalam drama ini yang paling mencuri perhatian saya adalah Lee Mu-Saeng yang memerankan Kim Jin-Seok. Karakternya sangat karismatik dan aktingnya saat mengetahui wanita yang dicintainya tak lama lagi akan meninggal sangat menyayat hati. Sedikit berbeda dari tiga aktor yang saya sebut sebelum ini, Lee Mu-Saeng (1980) sebenarnya sudah agak lama memulai karir di layar kaca, tetapi baru akhir-akhir ini mendapatkan peran-peran yang signifikan posisinya. Saya berharap yang terbaik untuk karirnya ke depan.</p><p style="text-align: justify;">Hal yang paling membuat saya kehilangan kata-kata saat meriset soal drama ini untuk diulas adalah bahwa Yoo Young-A yang menulis drama ini merupakan penulis naskah film adaptasi Kim Jin-Young: Born 1982 yang cukup fenomenal saat dirilis tahun 2019 lalu. Melihat filmografinya, terlihat perhatian beliau terhadap perempuan yang juga diimbangi dengan sudut pandang laki-laki (sesuatu yang dengan cermat ia tambahkan dalam naskah adaptasi Kim Jin-Young: Born 1982). Terlihat juga ketertarikannya terhadap plot sakit kanker stadium akhir dari naskahnya untuk My Annoying Brother (2016), hehehehe.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-32851050371764168982022-06-08T23:39:00.001+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00[MOVIE REVIEW] Tazza: One Eyed Jack (2019)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://asianwiki.com/images/c/c5/Tazza-One_Eyed_Jack-mp01.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="558" height="800" src="https://asianwiki.com/images/c/c5/Tazza-One_Eyed_Jack-mp01.jpg" width="558" /></a></div><br /><p style="text-align: justify;">Saya sudah lama tertarik dengan film ini karena tokoh utamanya diperankan oleh Pak Jungmin, salah satu aktor kesukaan saya yang sedang naik daun saat film ini dirilis. Namun, nampaknya niat tersebut selama ini urung lantaran tema dan genrenya yang bukan selera saya. Film ini merupakan sekuel ketiga dalam instalmen Tazza yang diadaptasi dari komik dengan judul sama yang mengambil inspirasi dari para penjudi profesional di Korea (disebut tazza/tajja). Cerita “Tazza: One Eyed Jack” sendiri fokus pada Do Il-Chul, anak dari tazza legendaris Jjak-kwi yang diajak bergabung dengan sekelompok penipu untuk menjatuhkan seorang pembisnis lewat judi poker. Dalam prosesnya, Il-Chul dipertemukan dengan Ma-Gwi, seorang tazza legendaris yang diduga bertanggung jawab atas kematian ayahnya.</p><p style="text-align: justify;">Yang membuat saya akhirnya menonton film ini adalah terlibatnya Lee Kwangsoo, aktor yang belum lama ini dramanya saya bahas. Di sini ia memerankan Kkachi, anggota kelompok penipu yang pandai mengocok kartu, bahkan mengaturnya dalam urutan tertentu untuk menjatuhkan lawan. Ia juga digambarkan sangat percaya diri, berpenampilan menarik, dan menyukai wanita. Wow, sungguh tipe karakter yang jarang kita temukan dalam daftar filmografi Lee Kwangsoo yang sering memerankan karakter clumsy. Setelah menonton film ini, saya terkaget-kaget dengan betapa baiknya Kwangsoo memerankan Kkachi, sampai membuat saya pangling karena pembawaannya yang sangat berbeda dari biasanya. Siapa pun yang menonton film ini tidak mungkin tidak mengakui kapabilitas Lee Kwangsoo sebagai aktor.</p><p style="text-align: justify;">Lalu bagaimana dengan film ini sendiri?</p><p style="text-align: justify;">Hmm, barangkali karena tidak paham soal permainan poker, “Tazza: One Eyed Jack” tidak terasa begitu menarik bagi saya. Banyak istilah poker yang tidak saya pahami sehingga mengurangii signifikansi trik penipuan yang digunakan. Dari segi plot, rasanya seperti diseret-seret, apalagi yang berkaitan dengan perkembangan karakter tokoh utama dan juga kematian salah satu tokoh penting. Barangkali karena banyak terjadi pemangkasan cerita dari komik aslinya yang sepanjang 13 volume. Namun, saya cukup puas dengan bagaimana plotnya berakhir karena memberikan jawaban dari permasalahan tiap karakter utama kita.</p><p style="text-align: justify;">Dalam hal presentasi, saya cukup tertarik dengan teknik pengambilan gambar zooming yang dikombinasikan dengan pergerakan kamera tilting (vertikal) atau panning (horizontal), terutama dalam adegan-adegan pengungkapan trik penipuan yang memperkuat plot twist dan kesan nakal dari trik tersebut.</p><p style="text-align: justify;">Meski bagi saya kurang menarik, film ini memiliki popularitas yang cukup tinggi di negara asalnya, seperti sekuel pendahulunya. Hal ini bagi saya cukup ironis karena di Korea Selatan sendiri perjudian merupakan hal ilegal dan termasuk tindakan kriminal. Public figure mana pun yang terjerat kasus perjudian karirnya langsung terjun bebas. Barangkali film ini menjadi kritik bagi tingkat kesejahteraan yang tidak merata di Korea sehingga banyak orang diam-diam mencoba keberuntungan dengan berjudi dan mendapatkan uang secara instan.</p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-63260296119165755092022-06-07T23:18:00.006+07:002022-09-02T08:18:45.083+07:00Pengakuan Kalah Kader Polisi Bahasa kepada Tukang Parkir Bahasa - Refleksi dan Ulasan Buku “Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira” (2019) <p style="text-align: justify;"><i>Bismillaahirrahmaanirrahiim~</i></p><p style="text-align: justify;">Sebagai seorang kader polisi bahasa, saya selalu punya dorongan untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa agar sesuai dengan KBBI dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia – dulu EYD). Persoalan tata bahasa, penggunaan kata baku, huruf kapital, titik-koma, hingga yang paling klasik seperti penggunaan “di” yang disambung dan dipisah sering membuat diri ini <i>gatel pengen ngelekke</i> (ingin menegur). </p><p style="text-align: justify;">Beberapa dari kalian yang membaca ini mungkin sudah pernah tertangkap basah membuat kesalahan berbahasa di medsos dan saya DM langsung, tetapi sebenarnya tidak semua hasrat untuk mengoreksi langsung tersalurkan. Beberapa tahun terakhir ini saya tersadar bahwa diri ini tak lebih dari sekadar rakyat jelata (T^T) alias masih kurang ilmu dan banyak salah. Akhirnya, saya lebih banyak diam. Parahnya, saya sendiri malah jadi ikutan takut menulis untuk diri sendiri. <i>Gaswat</i>. </p><p style="text-align: justify;">Dengan niat mengembalikan kepercayaan diri dan menaikkan kasta, saya pun berikhtiar untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan teoritis saya terkait ejaan dan tata bahasa. Salah satunya lewat buku yang akan kita ulas ini, “Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira” karangan Iqbal Aji Daryono.</p><p style="text-align: justify;">Yang saya tidak tahu adalah keputusan untuk menjawab masalah saya dengan buku ini merupakan sebuah kesalahan sejak dalam niatan.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://mojokstore.com/wp-content/uploads/2019/08/Berbahasa-Indonesia-dengan-Logis-dan-Gembira.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="539" height="800" src="https://mojokstore.com/wp-content/uploads/2019/08/Berbahasa-Indonesia-dengan-Logis-dan-Gembira.jpg" width="539" /></a></div><p></p><div style="text-align: center;">Judul: Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira</div><div style="text-align: center;">Penulis: Iqbal Aji Darsono</div><div style="text-align: center;">Tahun Terbit: 2019</div><div style="text-align: center;">Penerbit: Diva Press</div><div style="text-align: center;">Jumlah halaman: 296 halaman</div><p></p><p style="text-align: justify;">Mas Iqbal (si penulis yang belakangan baru saya ketahui adalah esais jenaka yang cukup kondang) dalam sebuah artikel di Mojok menjelaskan mengenai keberadaan polisi bahasa dan dua tukang rese bahasa lainnya: hansip bahasa dan tukang parkir bahasa. Jika polisi bahasa menegakkan bahasa agar sesuai “rezim” Badan Bahasa, hansip bahasa menjadi penengah antara standar bahasa aparat dengan bahasa masyarakat, sedangkan tukang parkir bahasa berada di ujung lain dari keberpihakan ini. Mas Iqbal sendiri menggolongkan dirinya di kategori terakhir.</p><p style="text-align: justify;">Waduh. Kader polisi bahasa kok ketemu sama tukang parkir bahasa? <i>Yo berantem to yo, Say.</i></p><p style="text-align: justify;">Eh, eh, saya gak berantem jambak-jambakan sama Mas Iqbal atau malah <i>tweet war lho ya</i>. Yang berantem adalah pikiran saya dengan buku beliau ini. </p><p style="text-align: justify;">Niat hati belajar teori tata bahasa dan ejaan, dapatnya malah studi kasus permasalahan berbahasa sehari-hari. Topiknya pun disusun secara acak tanpa kategorisasi. Padahal, struktur yang lebih rapi tampaknya bisa membantu saya memahami poin-poin gagasan Mas Iqbal yang amat beragam dengan lebih baik. Buku ini juga masih mengandung kesalahan-kesalahan ketik dan ejaan lantaran memang tidak disunting oleh editor. “Supaya tidak mengurangi keaslian gaya penulisan penulisnya”, begitu kata Mas Iqbal.</p><p style="text-align: justify;">Pokoknya ia jelas-jelas bukan buku yang saya cari, lah. </p><p style="text-align: justify;">Ya, sebenarnya buku ini tidak 100% mengecewakan, sih. Malah banyak juga hal baru yang saya pelajari. Akan tetapi, saya tetap tidak bisa tidak merasa <i>mangkel </i>dan bingung dengan ketidakseriusan yang terpancar darinya. Bahkan, saya sempat berpendapat bahwa saya tidak paham apa signifikansi keberadaan buku ini bila dibandingkan dengan buku-buku yang setema (<i>sok-sokan banget, padahal baca buku kebahasaan yang lain saja belum pernah</i>).</p><p style="text-align: justify;">Yang lebih membuat <i>mangkel </i>adalah saya kemudian sadar bahwa sebenarnya <i>kemangkelan </i>ini bisa dihindari andaikan saya mau repot-repot membaca sinopsis yang ditulis dengan cukup gamblang di sampul belakang buku ini sebelum terburu-buru membawanya ke meja kasir Togamas, atau setidaknya sebelum saya membuka halaman pertamanya. Harga diri saya sebagai kader polisi bahasa jatuh lantaran malu, malu atas rasa kesal yang sebenarnya saya buat-buat sendiri (T^T).</p><p style="text-align: justify;">Apalagi setelah itu saya baru <i>ngeh </i>bahwa tidak seperti memilih calon suami, buku ini memang tidak boleh diseriusin. Mas Iqbal sendiri berharap bukunya tidak disejajarkan dengan buku-buku bahasa serius macam kamus dan kawan-kawannya di toko buku. Bahkan Pak Edi, pemilik Diva Press yang menerbitkan buku ini berkata dengan mulutnya sendiri, “Buku ini <i>tu </i>gak penting!”</p><p style="text-align: justify;"><i>Asem</i>.</p><p style="text-align: justify;">Di titik ini saya cuma bisa cengengesan <i>gak </i>jelas. Mencari keseriusan dalam buku yang sejak awal dibuat untuk tidak diseriusin ini seperti mencoba membeli semen di toko roti, <i>yo ra mungkin ketemu!</i></p><p style="text-align: justify;">Nah, seperti halnya tukang parkir yang tidak keliatan saat kita masuk toko dan baru nongol saat kita mau <i>cabut</i>, ketika saya mulai bisa menerima “kekalahan” tersebut, saya pun juga mulai melihat dengan lebih jernih hal-hal penting dalam buku ini yang tadinya terbayangi oleh kekesalan saya.</p><p style="text-align: justify;">Hakikat bahasa adalah kesepakatan komunikasi dalam sebuah komunitas yang terbatas oleh wilayah dan waktu tertentu. Menurut Mas Iqbal, selama suatu kata atau ungkapan dipahami maknanya oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi, maka ia dianggap benar. Hal ini berbeda dengan persoalan baku dan tidak baku. Oleh karena itu, slogan Badan Bahasa yang berbunyi “Berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” menjadi kurang tepat ketika ia hanya difokuskan pada ejaan dan kebakuan bahasa.</p><p style="text-align: justify;">Namun, sebelum beranjak ke persoalan kaidah, Mas Iqbal menyarankan pembaca untuk lebih memperhatikan logika dalam berbahasa. Saran ini didasarkan pada banyaknya kegagalan nalar berbahasa yang beliau temukan di sekelilingnya. Sebagai contoh, dalam model kalimat yang sering kita dengar, “Guru mengajarkan kita sopan santun,” kita bisa dengan yakin menjawab “guru” ketika ditanya siapa yang mengajar. Namun, ketika ditanya “siapa yang <b>diajari</b>?” dan “apa yang <b>diajarkan</b>?”, kita mulai melihat kerancuan dalam kalimat tersebut.</p><p style="text-align: justify;">Contoh di atas dan banyak contoh logika berbahasa lain yang dipaparkan Mas Iqbal dalam buku ini <i>diam-diam</i> berhasil membuat saya lebih aware terhadap hal tersebut, terbukti dari banyaknya kerancuan makna yang saya temukan ketika sedang menyunting naskah yang saya tulis sebelum membaca buku ini. </p><p style="text-align: justify;"><i>Haduuuh</i>, begini ini, sok-sokan ingin jadi polisi bahasa? Well, menurut Mas Iqbal, kekurangan seperti ini memang biasa ditemukan pada kalangan polisi bahasa lantaran mereka lebih fokus pada kebakuan kata dan ketepatan ejaan, sementara keterampilan menempatkan kata dalam konteks kalimat tidak cukup terasah.</p><p style="text-align: justify;">Buku ini juga menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam berbahasa. Kembali kepada hakikat bahasa berupa kesepakatan komunikasi, berbahasa sesuai konteks situasi menjadi sangat penting. Seseorang perlu memperhatikan di mana ia berada dan siapa yang berada di sekelilingnya agar mampu menjalin komunikasi dalam level yang setara. Pemilihan topik atau penggunaan kata yang tidak dipahami audiens justru akan menimbulkan kegagalan komunikasi di antara keduanya.</p><p style="text-align: justify;">Poin ini menjadi pengingat bagi saya yang sejak pulang dari program pertukaran pelajar jadi lebih sering menggunakan bahasa Inggris atau mencampurnya dengan bahasa Indonesia. Dalam perspektif saya, ada hal-hal yang lebih mudah dijelaskan menggunakan Bahasa Inggris. Lidah ini juga sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut selama hampir setahun lamanya. Fenomena komunikasi ala anak Jaksel ini pun muncul secara natural tanpa ada niatan menyombongkan diri atau yang lainnya. Ketika saya mulai sering berkomunikasi secara tekstual lewat Instastory, saya tersadar bahwa meskipun saya mendapat banyak teman asing baru, saya mengesampingkan fakta bahwa <i>viewers </i>saya lebih banyak yang berbahasa Indonesia daripada yang berbahasa Inggris. Konten yang sebenarnya bisa dinikmati banyak orang akhirnya hanya jadi angin lalu lantaran audiens sudah lebih dulu merasa berjarak dengannya.</p><p style="text-align: justify;">Poin terakhir yang tidak kalah penting dari buku ini adalah berbahasa Indonesia dengan gembira. Maksudnya, dalam perannya sebagai media komunikasi, bahasa juga merupakan media untuk mengekspresikan rasa. Mas Iqbal ingin mengajak pembacanya untuk menikmati keindahan berbahasa dengan majas, gurauan, dan ekspresi-ekspresi lain yang membuatnya lebih menyenangkan. Hal tersebut beliau contohkan langsung lewat tulisan-tulisannya di buku ini yang sukses membuat saya cengengesan sendiri. Saya lupa bahwa tulisan tidak hanya memberikan informasi yang bermanfaat, tetapi juga bisa membuat orang lain bahagia.</p><p style="text-align: justify;">Saya tidak menyangka sih, bakal butuh waktu lima bulan sejak selesai membaca buku ini untuk akhirnya mampu mengakui kekurangan diri, berdamai dengan hal itu, dan mulai menerima pelajaran-pelajaran penting di dalamnya.</p><p style="text-align: justify;">Membaca buku ini seperti merasa kesal ketika harus membayar tukang parkir yang tadinya tidak kelihatan, tetapi ternyata beliau telah menyelamatkan kunci motor yang masih menggantung di stop kontak. Kalau saya tidak bertemu buku ini sebelum saya belajar lebih lanjut mengenai kaidah berbahasa yang baku, mungkin saya akan kehilangan esensi-esensi penting dalam berkomunikasi dan akhirnya menjadi polisi bahasa yang sombong dan egois.</p><p style="text-align: justify;">Tiap orang memiliki perspektifnya masing-masing. Ada hal-hal yang hanya diketahui seorang polisi bahasa, tetapi ada juga hal-hal yang hanya diketahui seorang tukang parkir bahasa, begitu pun hansip bahasa. Perbedaan perspektif dan peran ada bukan untuk saling adu atau saling merendahkan, melainkan untuk saling melengkapi.</p><p style="text-align: justify;"><i>uWuuuuuu, berpelukaaaaan~ </i></p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-51016674967047759592022-06-06T23:37:00.007+07:002022-09-02T08:18:45.082+07:00[DRAMA REVIEW] Green Mothers' Club (2022) - SKY Castle Versi Humble<div style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgMEhiBhx0J7VOBBI_xkcUZXij0fA5i30QjuvM5Q7pEAzbTeS3Sq4Lr9VCTlehx4q6GRPJNAL2LYu1Ou9ehEFhiOtykYVSBgrU51GddWTxfB0pY1nrwI3M30XQaIcgpaLlLhOGxBiAwC0aE5QFCwd0BwpJcrTab1_EH2O3XJTYJa_oaX_GxCXKe_ozyA/s1074/a7e5998b40233ceb243d743e3109d17a961a19ed578f12b63edd63ef6902a5bbd558d6943d3a2d30ea6f3fef661a525a2ac91d5038a4b886539618ad873f2c4654e2240de2556d1ff891b91127de2f97f49812e7637f1a08f33f333c5c3f094f4932fb0111daa84eee765e20a4.jpg" imageanchor="1"><img border="0" data-original-height="1074" data-original-width="750" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgMEhiBhx0J7VOBBI_xkcUZXij0fA5i30QjuvM5Q7pEAzbTeS3Sq4Lr9VCTlehx4q6GRPJNAL2LYu1Ou9ehEFhiOtykYVSBgrU51GddWTxfB0pY1nrwI3M30XQaIcgpaLlLhOGxBiAwC0aE5QFCwd0BwpJcrTab1_EH2O3XJTYJa_oaX_GxCXKe_ozyA/w446-h640/a7e5998b40233ceb243d743e3109d17a961a19ed578f12b63edd63ef6902a5bbd558d6943d3a2d30ea6f3fef661a525a2ac91d5038a4b886539618ad873f2c4654e2240de2556d1ff891b91127de2f97f49812e7637f1a08f33f333c5c3f094f4932fb0111daa84eee765e20a4.jpg" width="446" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">“Green Mothers’ Club”, judul dari drama ini diambil dari kata 녹색어머니 (nog-saeg eo-meo-ni: lit. green mothers), sebutan untuk asosiasi ibu-ibu wali siswa yang fungsinya mengatur ketertiban lalu lintas lingkungan sekolah dan memastikan keselamatan siswa yang datang setiap paginya. Saat bertugas, ibu-ibu ini biasanya mengenakan rompi berwarna hijau sehingga kemudian disebut green mothers. Awalnya, saya tertarik menonton drama ini karena istilah tersebut, berharap akan ada kisah yang muncul dari keseharian ibu-ibu mengatur lalu lintas sekolah. Namun, ternyata judul ini hanya gimik karena fokus ceritanya lebih luas dari pada itu. Well, thanks to that I got to watch such a fun and deep story.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Plot drama ini menceritakan bagaimana ibu-ibu ini “mengatur” pendidikan anak-anaknya yang duduk di sekolah dasar, diwarnai dengan konflik personal di antara para orang tua. Familiar dengan premis ini? Ya, saya juga langsung membayangkan drama SKY Castle yang ditayangkan di stasiun TV yang sama, JTBC, tahun 2018 lalu. Selain berbeda dari segi jenjang pendidikan, hal lain yang membedakan drama ini dari SKY Castle dari segi tema adalah kelas ekonomi keluarga yang lebih rendah, kisaran menengah ke atas. Mereka diceritakan tinggal di sebuah komplek apartemen di sebuah kawasan urban. Anak-anaknya bersekolah di sebuah SD negeri yang biasanya dipandang lebih rendah kualitasnya dibanding sekolah swasta.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Nampaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa kompetisi dalam pendidikan di Korea sangat ketat, bahkan sebagian hingga tahap ekstrem. Karena berada dalam kondisi yang tidak seberuntung tokoh-tokoh di SKY Castle yang bergelimang harta, ibu-ibu di Green Mothers Club bekerja lebih keras mendukung pendidikan anaknya dengan bimbel dan berbagai lomba yang bisa meningkatkan kualitas portofolio mereka. Mereka juga dengan setia mengantar jemput anak-anaknya ke setiap agenda yang sudah disusun dengan penuh perhitungan. Ketika suami-suami sibuk bekerja dan tahu beres dengan pendidikan anak-anaknya, para ibu dengan penuh ambisi bergerak seperti manajer mereka.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Pihak sekolah juga tak ketinggalan ikut berlomba-lomba dengan mengajari murid mereka materi satu-dua tahun di atas kelasnya. I know, it’s crazy right? Entah ini karena kebijakan sekolah itu sendiri yang mengupayakan sebanyak mungkin lulusan mereka diterima di SMP favorit agar reputasi terangkat, atau karena dorongan wali murid yang ingin mencicil materi, walau itu berarti melebihi kapasitas kognitif anak-anak mereka, atau merampas waktu bermain dan istirahat mereka. Walau sudah jelas tidak wajar, salah satu tokoh digambarkan rela pindah ke daerah ini agar bisa belajar di sekolah tersebut, sekaligus mengikuti berbagai program tambahan bersama anak-anak lainnya di luar sekolah dengan harapan nantinya bisa kuliah di universitas unggulan, mendapatkan pekerjaan yang berkelas, dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Pergerakan ibu-ibu dalam drama ini digambarkan sangat terorganisir. Mereka rutin bertemu untuk membicarakan perkembangan anak-anaknya, di mana harus bimbel, lomba apa yang perlu diikuti, buku paket mana yang harus dimiliki, bacaan apa yang harus dijadikan referensi, dll. Semua seakan sudah ada standarnya, walau itu semua tidak selalu gamblang disampaikan, melainkan lewat perbincangan sehari-hari yang terbatas dalam kelompok tertentu. Orang luar akan kesulitan untuk bisa masuk dalam komunitas mereka. Tidak hanya anak-anak yang harus beradaptasi, orang tuanya pun juga demikian.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Kesulitan dialami karakter utama kita, Lee Eun-Pyo yang baru saja pindah ke daerah tersebut dan tidak tahu apa-apa tentang bagaimana mengurus pendidikan anak-anaknya karena selama ini sibuk mengajar sebagai dosen. Awalnya ia sulit untuk berbaur karena ingin mendidik kedua putranya dengan biasa-biasa saja. Namun, ketika mencoba mencari teman ke komunitas ibu lain yang menjunjung tinggi kebahagiaan dan tumbuh kembang normal anak, ia justru ikut diajak membuat petisi dan berdemonstrasi untuk melawan arus mainstream. Eun-Pyo pun terjebak dalam dua kubu ekstrem.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Di luar itu, Eun-Pyo harus dipertemukan kembali dengan sahabat lamanya yang ia benci, juga suaminya yang merupakan mantan kekasih Eun-Pyo saat muda. Nantinya ia juga harus menghadapi berbagai skandal yang tumbuh dari rasa iri dengki di antara para ibu karena kesuksesan anak orang lain. Para suami juga akhirnya terlibat ketika masa lalu yang kelam perlahan terbongkar. Masalah menjadi semakin rumit ketika salah satu tokoh kita melakukan pekerjaan ilegal untuk membiayai pendidikan anaknya dan membuatnya terjerat kasus meninggalnya salah satu orang tua.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Saya rasa tidak akan cukup kata saya tuliskan untuk menjelaskan kompleksitas cerita dari Green Mothers Club yang tentunya lebih kaya dari apa yang telah saya jabarkan. Perlu diingat, drama ini tayang di kurun waktu bersamaan dengan dua mega drama lainnya, “My Liberation Notes” (JTBC) dan “Our Blues” (tvN). Standar pasar sudah cukup tinggi, dan fakta bahwa drama ini berhasil membuat saya jatuh hati sejak adegan pembuka hingga episode terakhir membuktikan kepiawaian penulis Shin Yi-Won merajut cerita yang rumit menjadi seru dan mudah dicerna meski ini kali pertamanya menulis untuk format layar kaca. Drama ini juga menjadi karya pertama Ra Ha-Na sebagai sutradara tunggal di kategori minidrama (16 episode). Walau dibuka dengan rating 2,5%, Green Mothers’ Club berhasil ditutup dengan rating 6% yang terbilang cukup tinggi di era sekarang.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Ada satu pertanyaan yang pasti akan muncul dalam benak kita setelah menonton drama ini: apakah benar perjuangan para ibu di Korea seekstrem itu? Meski tidak sedramatis penggambaran dalam cerita, menurut artikel dan jurnal ilmiah yang saya baca, para ibu di Korea memang seserius itu mengatur pendidikan anaknya. Banyak wanita Korea meninggalkan pekerjaan mereka setelah menikah untuk fokus pada pekerjaan rumah dan membesarkan anak. Tidak memiliki penghasilan dan karir yang konkret, akhirnya banyak dari mereka menjadikan kesuksesan anak sebagai kebanggaan dan harga dirinya. Ditambah akses mobilisasi sosial yang rendah, persaingan sejak fase pendidikan menjadi semakin sengit—walau kemudian menghasilkan generasi muda yang lebih memprioritaskan karir daripada pernikahan atau memiliki anak.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Saya rasa Green Mothers’ Club berhasil menangkap fenomena manager moms ini dengan baik, yang kemudian digambarkan dalam kelima karakter utama kita yang sangat berbeda karakter maupun latar belakangnya sehingga terlihat beragam spektrum ibu dalam menghadapi pendidikan anaknya. Pemilihan kalangan ekonomi menengah ke atas menjadikan drama ini lebih humble dan relatable bagi masyarakat Korea, sesuatu yang mungkin belum tercapai melalui SKY Castle.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Selain jadi lebih memahami isu pendidikan di Korea dan betapa krusialnya pendidikan dasar, lewat drama ini saya juga belajar atau lebih tepatnya berefleksi tentang betapa kompleksnya pertemanan para wanita. Nuansanya bisa berubah dari manis menjadi pahit secara tiba-tiba karena sifat alami wanita yang sensitif, atau bahkan keduanya hidup berdampingan untuk waktu yang lama hingga akhirnya pecah dan menodai pertemanan tersebut. Masalah personal antar-ibu bisa sangat mempengaruhi pendidikan dan kualitas sosial anak-anak mereka. Namun, saya juga belajar, meski anak-anak dapat menjadi buruk karena meniru orang tua mereka, hati mereka yang bersih dan tulus bisa merubah hati orang tuanya pula. Demi anak, orang tua bisa menjadi musuh atau teman dari orang tua lain.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Lalu pertanyaannya di sini: bisakah kita menjadi teman dari orang lain untuk diri kita sendiri?</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">Referensi:</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">- Kyunghee Shin, Kyung Eun Jahng & Dongjin Kim (2019) <i>Stories of South Korean mothers’ education fever for their children’s education</i>, Asia Pacific Journal of Education, 39:3, 338-356, DOI: <a href="http://10.1080/02188791.2019.1607720">10.1080/02188791.2019.1607720</a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">- Torres, Amairani (2020) <i>Manager mothers and their impact on Korean society</i>, Talk Talk Korea, diakses pada 6 Juni 2022 dari <a href="https://www.korea.net/TalkTalkKorea/Korean/community/community/CMN0000004547">https://www.korea.net/TalkTalkKorea/Korean/community/community/CMN0000004547</a></div></div>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3964441339279473836.post-83649713592200351982022-06-05T23:25:00.001+07:002022-09-02T08:18:45.084+07:00Dari Penerbitan ke Studio Arsitektur: Menghadapi Ketakutan dalam Bekerja (Pt. 4/4)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6IRH6SoIUFe1wQTNTFMw-gpAVbK6fgxfud4duxRn-mheoolcBWqIJet7TWDKrsIaXMvRDxRj2Sxbrq-f0YebIkyJFca4twpqAfzVjncuclcUx8-664LUsj6FHA5p2EbgHRlzR3sFdvVKxx2DnbADCOlzv6g43ufZUFcOQO8AAD0mHSquo1NjgH9FK7A/s6000/DSC07948.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="4000" data-original-width="6000" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6IRH6SoIUFe1wQTNTFMw-gpAVbK6fgxfud4duxRn-mheoolcBWqIJet7TWDKrsIaXMvRDxRj2Sxbrq-f0YebIkyJFca4twpqAfzVjncuclcUx8-664LUsj6FHA5p2EbgHRlzR3sFdvVKxx2DnbADCOlzv6g43ufZUFcOQO8AAD0mHSquo1NjgH9FK7A/w640-h426/DSC07948.jpg" width="640" /></a></div><p style="text-align: right;"><i><a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/dari-penerbitan-ke-studio-arsitektur.html">Part 1</a></i></p><p style="text-align: right;"><i><a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/dari-penerbitan-ke-studio-arsitektur_3.html">Part 2</a></i></p><p style="text-align: right;"><i><a href="https://blue-think.blogspot.com/2022/06/dari-penerbitan-ke-studio-arsitektur_4.html">Part 3</a></i></p><p>Tentu, sebagai anggota masyarakat saya terhitung masih muda, tetapi di tempat kerja kami saya termasuk golongan tua. Walau saya akrab dengan teman-teman di studio, banyak dari mereka lebih muda dari saya, plus lebih jago urusan mendesain. Jujur, ada rasa minder. Bahkan mentor saya nanti satu angkatan di bawah saya. Saya khawatir akan dicemooh karena tidak paham hal-hal mendasar atau nantinya akan merepotkan mereka karena pekerjaan saya tidak beres. Meski saya tahu mereka anak-anak baik dan tidak akan memperlakukan saya seperti itu, kekhawatiran itu tetap ada.</p><p>Selama sebulan sejak lebaran, saya menenangkan hati yang kadang bergejolak ketika anak-anak studio mulai bertanya pada saya soal wacana <i>training </i>tersebut, apa alasan di baliknya. Beberapa kali saya menceritakan hal yang sama, mungkin sampai sahabat saya di kantor bosan mendengarnya karena dia sering duduk bersama saya saat jam istirahat. Awalnya saya gugup, tetapi dengan mereka tahu satu persatu ternyata malah jadi sedikit meringankan hati saya. Mungkin cerita yang diulang-ulang itu menjadi semacam mantra yang membuat saya lebih yakin dengan diri saya sendiri.</p><p>Di penghujung bulan Mei, saya sudah tidak mungkin menunda lagi. Saya pun menemui mentor saya yang lebih muda itu dan mengutarakan niat serta alasan saya. Dia pun menjelaskan secara singkat bagaimana tim studio biasa bekerja dan jenis pekerjaan yang kemungkinan akan saya pegang nantinya. Di hari Kamis, tanggal 2 Juni itu, saya resmi memulai <i>training </i>di studio. </p><p>Setelah menjalani <i>taining </i>hari pertama, sudah jelas kekhawatiran saya tidak terbukti. Mentor sangat pengertian memberikan tugas yang tidak urgen sehingga saya lebih leluasa mengerjakannya. Soal keterampilan teknis, awalnya saya ragu-ragu bertanya pada rekan di sebelah saya, tetapi akhirnya saya tanyakan juga daripada pekerjaan saya tidak selesai—walau tak langsung dijawab karena dia terlalu sibuk menggoda saya -..- Tentu kecepatan saya lebih lambat dari teman-teman lainnya. Malam itu saya begadang, disambi menulis awal dari cerita ini untuk #30DWC hari kedua. Namun, di waktu begadang itu, dengan hanya empat-lima orang yang tersisa, kami jadi saling bercerita, dan saya pun bercerita tentang ketakutan-ketakutan saya. Walau mereka menanggapi sambil tertawa-tawa, saya bisa merasakan mereka mengerti dan mengakomodasi situasi saya.</p><p>Besoknya saya kesiangan, baru bangun pukul satu siang. Walau tidak terasa di badan, nampaknya <i>training </i>pertama itu banyak menyita pikiran dan energi saya. Akhirnya, hari itu saya izin tidak masuk kerja di penerbitan untuk beristirahat lagi. Pak Bos memaklumi. </p><p>Oh tidak, saya tidak kapok. Saya bersyukur <i>training </i>pertama saya berjalan lebih baik daripada yang saya bayangkan, dan saya akan kembali lagi pekan depan, barangkali dengan ketakutan yang berbeda, tetapi akan kembali saya buktikan pada diri saya sendiri bahwa saya bisa menghadapinya.</p><p>Kapan <i>training </i>ini akan berakhir? Saya belum tahu. Mungkin sampai saya merasa puas, walau saya juga belum tahu berapa ukuran puas itu. Apakah setelah ini semua saya akan menjadi dosen? Entahlah, pengalaman saya selama ini membuktikan kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Namun, saya cukup yakin saya akan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ini.</p><p>Hingga tiba hari saya menjadi lebih berani. <i>One step at a time</i>.</p><p style="text-align: right;"><i>End</i></p><p><i><br /></i></p><p><i>Terima kasih pada pembaca yang telah membaca sampai sini<br /></i><i>Terima kasih Pak Bos dan teman-teman yang sudah sangat suportif.<br /></i><i>앞으로도 잘 부탁드립니다.</i></p>Hanifah Sausan Nhttp://www.blogger.com/profile/16934396275305686323noreply@blogger.com0