Belenggu Kasurku

Juni 28, 2022

Sejak kecil, aku terbiasa menggunakan kasur berbahan kapuk. Ini bukan pilihan pribadi, tetapi lebih karena orang tua kami yang termasuk golongan sepuh dan tidak familiar dengan kasur busa atau spring bed. Kebetulan kasur tidak menjadi prioritas anggaran keluarga kami sehingga sepanjang usiaku, kasur-kasur di rumah baru pernah diganti sekali. Itu pun dengan kasur kapuk lagi yang dijual pedagang kasur asongan yang keliling dari satu komplek pemukiman ke pemukiman lain lalu mengisi kapuk ke dalam selongsong kasur secara langsung di ruang tamu atau halaman rumahmu. Sayangnya, beberapa kasur kualitasnya tidak cukup baik sehingga lekas mengeras dalam hitungan hari setiap kali selesai dijemur.

Ketika kubilang terbiasa menggunakan kasur kapuk, sebenarnya secara tidak langsung aku mengatakan bahwa aku terbiasa tidur pada permukaan yang keras. Terbukti saat kuliah, ketika kesibukan sedang tinggi-tingginya, aku bisa memejamkan mata di lantai kelas dan tertidur pulas barang 15-20 menit. Di kantor pun aku terbiasa tidur dengan kepala di meja kerja kalau rasa kantuk tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ya, aku bisa tidur di mana saja. Namun, bukan berarti aku tidak mendambakan adanya kasur yang empuk. Saat pertama kali ngekos di Jogja untuk kuliah, itu pertama kalinya juga aku menggunakan kasur busa. Well, bukan kasur busa mahal yang tidak akan njeglong sesering apapun kamu memakai atau mendudukinya, tetapi cukup untuk memanjakanku. Saat masih menggunakan kasur kapuk pun aku bisa nempel dengan kasur seharian, apalagi dengan kasur busa. Ditambahkan dengan ruang yang sempit dan tidak adanya meja kursi belajar, akhirnya mengerjakan tugas pun ku lakukan di atas kasur ditemani meja lipat pendek. Makin njeglong-lah kasur kamar kosku.

Saat aku tinggal di Jepang, asramaku menyediakan kasur futon. Namun, ternyata karakter futon di asrama seperti kasur kapuk yang bila tidak sering dijemur dan ditepuk, perlahan akan keras juga. Apalagi futon asrama bukan tipe yang dilipat setiap hari, tetapi yang dibiarkan saja menghampar di atas dipan seperti kasur biasa. Hal ini berbeda dengan futon hotel yang kemungkinan lebih berkualitas dan selalu dilipat dan digelar kembali setiap hari, juga selalu diganti kain selongsongnya. Rasanya… Ya Allah, sangat lembut dan empuk seakan aku tidur di atas awan. Selepas exchange, aku pun pulang dan kembali pada kasur-kasur lamaku.

Aku bertahan cukup lama dengan kasur busa murahan dan kasur kapuk hingga akhirnya aku mulai bekerja di Tangerang. Mes kantorku menyediakan kasur busa yang lebih tipis dibanding kasur busa kosku di Jogja, hanya 5cm tebalnya. Well, apa yang kuharapkan dari kamar mes seharga Rp250.000,-/bulan? Jadi, ya, aku terima-terima saja. Beberapa bulan pertama, aku cukup percaya diri bisa bertahan dengan kasur ini untuk waktu yang lama. Akan tetapi, badanku mulai nyeri setiap kali bangun tidur, apalagi bila malam sebelumnya aku bekerja hingga cukup larut. Aku tahu kasurku perlu diganti, tetapi aku juga tidak ingin mengeluarkan uang untuk membeli kasur baru.

Setahun berlalu, alhamdulillah aku dapat rezeki lungsuran kasur spring bed dari teman kantor yang resign, dan aku tidak harus membayar apa pun. Di situlah aku baru merasakan betapa nyamannya kasur spring bed. Tentu aku sudah pernah mencoba kasur jenis ini sebelumnya, seperti saat menginap di hotel atau rumah teman dan kerabat, tetapi semua itu dalam hitungan hari saja. Merasakan tidur di atasnya selama berbulan-bulan adalah hal yang berbeda. Kasur jenis ini juga tidak njeglong permanen sesering apapun aku mendudukinya. Betapa nyamannya kasur spring bed sampai-sampai aku berjanji pada diri sendiri untuk membelikan orang tuaku satu nanti bila ada rezeki.

Masalah mulai muncul ketika aku terlalu nyaman dengan kasurku dan jadi makin enggan untuk bangun, bahkan ketika sudah waktunya untuk bekerja. Hal buruk ini menjadi semakin parah di hari-hari kebiasaan lemburku kambuh. Aku butuh alternatif.

Di sini kemampuan tidur-di-mana-saja-ku akhirnya bekerja kembali. Sekarang, bila kerja lembur, aku lebih memilih untuk tidur di kantor. Tepatnya di atas sofa yang masih terbilang empuk, tetapi tidak sangat nyaman hingga membuatku susah bangun bila alarmku berbunyi di waktu subuh. Aku sampai membeli selimut baru untuk menemaniku tidur di kantor. Dedikasi yang aneh dan cukup absurd sebenarnya, tetapi harus dilakukan kalau tidak ingin melewatkan hal-hal penting dengan pola hidupku yang seperti ini.

Aku mengharapkan datangnya hari di mana siklus harianku akhirnya kembali normal sehingga aku bisa tidur lebih awal di atas kasurku yang empuk di kamar. 

You Might Also Like

0 comment

Subscribe