Dari Penerbitan ke Studio Arsitektur: Menghadapi Ketakutan dalam Bekerja (Pt. 2/4)
Juni 03, 2022Saat dulu mulai bekerja di penerbitan arsitektur, saya berencana bekerja hanya selama satu tahun, sekadar untuk mendapatkan pengalaman lalu pulang ke Magelang untuk membersamai orang tua. Namun, di sinilah saya, di tengah tahun kedua saya. Andaikan saat itu saya mengikuti rencana tersebut, mungkin sekarang saya sedang di Yogyakarta, bekerja di media online atau penerbitan reguler, memilah berbagai naskah novel atau buku nonfiksi untuk diterbitkan; lalu saya akan pulkam setiap akhir pekan untuk merawat rumah. Atau mungkin saya menjadi CPNS, mendapatkan jaminan penghasilan hingga saya pensiun, seperti ibu saya.
Akan tetapi, berada setahun di sini memberikan banyak pelajaran tentang arsitektur, mungkin lebih banyak dari yang saya pelajari selama empat tahun di kampus. Hal tersebut membuat saya cukup sedih apabila harus meninggalkan pengetahuan tersebut untuk sesuatu yang sangat berbeda (meskipun banyak orang yang banting setir bertestimoni tentang pola pikir perancangan yang dipelajari di arsitektur banyak membantu mereka menyelesaikan pekerjaan).
Teman-teman dan mentor, termasuk bos saya menyarankan untuk menjadi dosen. Awalnya saya ragu karena meski tertarik dengan pendidikan, mengajar di kelas tidak pernah menjadi media edukasi favorit saya—seperti yang saya bilang sebelumnya, saya lebih suka menulis. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, dengan menjadi dosen, saya tetap bisa punya waktu untuk orang tua dan juga keluarga yang kelak akan saya bangun di masa depan. Saya juga bisa berkontribusi langsung mengubah sistem pendidikan arsitektur kita agar menjadi (setidaknya sedikit) lebih baik.
Akan tetapi, pertanyaan baru muncul: bagaimana mungkin saya bisa mendidik calon-calon arsitek, apabila saya sendiri tidak punya pengalaman bekerja sebagai arsitek di studio? Mungkin saya terkesan mengada-adakan masalah, tetapi di otak saya ini persoalan logika saja. Di hati saya ada perasaan tak pantas untuk berbuat demikian, rasanya seperti sedang melakukan penipuan, dan kaitannya dengan pendidikan membuatnya terasa lebih buruk.
Mungkin sudah saatnya saya menghadapi ketakutan saya. Ya, ketakutan. Saya bukannya sekadar tidak suka dengan pekerjaan studio, tetapi sebenarnya saya takut. Sebelum akhirnya bekerja di tempat ini, saya sempat datang ke psikolog yang membantu menyadari ketakutan saya untuk bekerja. Saya khawatir tidak bisa survive karena terus dibayangi performa yang buruk saat kuliah.
Saya menjadi lebih tenang setelah psikolog tersebut mengingatkan bagaimana saya bisa survive hidup setahun di negeri asing. Momen itu banyak membantu saya masuk ke dunia kerja walau saya masih tidak memilih studio arsitektur karena sudah saking lamanya tidak menyentuh berbagai aplikasi mendesain. Setelah akhirnya bekerja, walau dengan lingkungan yang cenderung santai dan bersifat kekeluargaan, saya belajar untuk memahami karakter saya yang perfeksionis dan punya standar tinggi, bahkan untuk diri saya sendiri. Saya belajar untuk memaafkan diri saya apabila tidak mampu mencapai standar tersebut.
Kebetulan (atau mungkin sudah ditakdirkan oleh Tuhan), selain menjalankan penerbitan arsitektur, bos saya adalah seorang arsitek yang mengepalai sebuah studio berskala sedang. Saya dan kawan-kawan di studio bekerja dalam satu lingkungan dan kami cukup akrab satu sama lain. Selama ini saya bersyukur tidak harus mengerjakan apa yang mereka kerjakan, apalagi mereka sering begadang hingga larut. Namun, akhir-akhir ini saya jadi sering membayangkan apabila saya duduk bersama mereka, ikut mengerjakan proyek hingga terbangun dan akhirnya digunakan. Apalagi lingkungan kerja mereka jauh dari nuansa kompetisi, setiap orang terbuka untuk mengajari satu sama lain. Bos saya juga dulu pernah beberapa kali menawari apabila saya ingin pindah divisi ke studio, tetapi selama ini selalu saya tolak.
Kali ini giliran saya yang menawarkan diri saya untuk pindah ke studio. Namun, siapa sangka bos saya justru menolak ide tersebut.
Bersambung...
1 comment
Asyik!!
BalasHapus