Dari Penerbitan ke Studio Arsitektur: Menghadapi Ketakutan dalam Bekerja (Pt. 4/4)
Juni 05, 2022Tentu, sebagai anggota masyarakat saya terhitung masih muda, tetapi di tempat kerja kami saya termasuk golongan tua. Walau saya akrab dengan teman-teman di studio, banyak dari mereka lebih muda dari saya, plus lebih jago urusan mendesain. Jujur, ada rasa minder. Bahkan mentor saya nanti satu angkatan di bawah saya. Saya khawatir akan dicemooh karena tidak paham hal-hal mendasar atau nantinya akan merepotkan mereka karena pekerjaan saya tidak beres. Meski saya tahu mereka anak-anak baik dan tidak akan memperlakukan saya seperti itu, kekhawatiran itu tetap ada.
Selama sebulan sejak lebaran, saya menenangkan hati yang kadang bergejolak ketika anak-anak studio mulai bertanya pada saya soal wacana training tersebut, apa alasan di baliknya. Beberapa kali saya menceritakan hal yang sama, mungkin sampai sahabat saya di kantor bosan mendengarnya karena dia sering duduk bersama saya saat jam istirahat. Awalnya saya gugup, tetapi dengan mereka tahu satu persatu ternyata malah jadi sedikit meringankan hati saya. Mungkin cerita yang diulang-ulang itu menjadi semacam mantra yang membuat saya lebih yakin dengan diri saya sendiri.
Di penghujung bulan Mei, saya sudah tidak mungkin menunda lagi. Saya pun menemui mentor saya yang lebih muda itu dan mengutarakan niat serta alasan saya. Dia pun menjelaskan secara singkat bagaimana tim studio biasa bekerja dan jenis pekerjaan yang kemungkinan akan saya pegang nantinya. Di hari Kamis, tanggal 2 Juni itu, saya resmi memulai training di studio.
Setelah menjalani taining hari pertama, sudah jelas kekhawatiran saya tidak terbukti. Mentor sangat pengertian memberikan tugas yang tidak urgen sehingga saya lebih leluasa mengerjakannya. Soal keterampilan teknis, awalnya saya ragu-ragu bertanya pada rekan di sebelah saya, tetapi akhirnya saya tanyakan juga daripada pekerjaan saya tidak selesai—walau tak langsung dijawab karena dia terlalu sibuk menggoda saya -..- Tentu kecepatan saya lebih lambat dari teman-teman lainnya. Malam itu saya begadang, disambi menulis awal dari cerita ini untuk #30DWC hari kedua. Namun, di waktu begadang itu, dengan hanya empat-lima orang yang tersisa, kami jadi saling bercerita, dan saya pun bercerita tentang ketakutan-ketakutan saya. Walau mereka menanggapi sambil tertawa-tawa, saya bisa merasakan mereka mengerti dan mengakomodasi situasi saya.
Besoknya saya kesiangan, baru bangun pukul satu siang. Walau tidak terasa di badan, nampaknya training pertama itu banyak menyita pikiran dan energi saya. Akhirnya, hari itu saya izin tidak masuk kerja di penerbitan untuk beristirahat lagi. Pak Bos memaklumi.
Oh tidak, saya tidak kapok. Saya bersyukur training pertama saya berjalan lebih baik daripada yang saya bayangkan, dan saya akan kembali lagi pekan depan, barangkali dengan ketakutan yang berbeda, tetapi akan kembali saya buktikan pada diri saya sendiri bahwa saya bisa menghadapinya.
Kapan training ini akan berakhir? Saya belum tahu. Mungkin sampai saya merasa puas, walau saya juga belum tahu berapa ukuran puas itu. Apakah setelah ini semua saya akan menjadi dosen? Entahlah, pengalaman saya selama ini membuktikan kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Namun, saya cukup yakin saya akan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ini.
Hingga tiba hari saya menjadi lebih berani. One step at a time.
End
Terima kasih pada pembaca yang telah membaca sampai sini
Terima kasih Pak Bos dan teman-teman yang sudah sangat suportif.
앞으로도 잘 부탁드립니다.
0 comment