Brown-Bag: Di Antara Inspirasi dan Penyesalan Diri

Juni 13, 2022

Malam ini kantorku mengadakan Brown-Bag. Ini istilah untuk acara presentasi portofolio pegawai-pegawai baru yang sudah lulus probation. Mengapa namanya Brown-Bag? Tidak ada yang tahu. Suka-suka Pak Bos. (Soal kantorku dan bagaimana aku mendarat di sini bisa dibaca di post ini).

Sofi dan Melisa presentasi malam ini, keduanya sudah bekerja di studio kurang lebih 6 bulan lamanya. Mereka menyiapkan file portofolio, Riyan menyiapkan proyektor, sementara aku dan kawan-kawan dari divisi penerbitan menyiapkan kamera dan mikrofon untuk dokumentasi. Anak-anak lain ada yang mengobrol, sebagian menatap layar HP masing-masing. Hanya Pak Bos yang belum turun.

Brown-Bag kadang jadi acara yang paling dihindari: oleh presenter karena gugup harus menunjukkan portofolionya kepada seisi kantor; dan oleh semua orang karena biasanya selalu ada pekerjaan yang lebih penting untuk diselesaikan. Namun, aku diam-diam selalu ingin ikut, sebagai presenter.

Ya, aku belum pernah maju Brown-Bag. Ada semacam peraturan tidak tertulis bahwa acara ini untuk kawan-kawan studio saja. Well, Nirma dari divisiku menjadi anomali setelah ia diundang presentasi beberapa bulan lalu. Aku cukup senang dengan sesi Nirma waktu itu karena menghadirkan warna berbeda pada acara Brown-Bag yang biasanya sangat didominasi hal-hal arsitektural. Waktu itu aku sempat ditunjuk untuk presentasi di kesempatan berikutnya. Namun, seperti biasanya, Pak Bos lupa. Brown-Bag kali ini pun barangkali luput kalau tidak ada yang mengingatkan. Makanya Sofi dan Melisa yang sudah 6 bulan di sini pun baru bisa presentasi sekarang.

Brown-Bag, meski selalu dihindari, sebenarnya selalu berakhir menjadi momen yang menyenangkan dan reflektif. Acara ini jadi kesempatan kami untuk berkenalan dengan si presenter, di luar persona yang ia tunjukkan sehari-hari di kantor. Seringkali aku terkaget-kaget menemukan selera arsitektur, keterampilan desain, dan pemikiran teman-teman studio yang tertuang dalam portofolionya. Namun, bahkan sesama anak studio pun juga suka kaget melihat sisi baru teman-temannya. Kami jadi belajar tentang satu sama lain, saling menginspirasi.

Seperti bagaimana Melisa malam ini. Anak ini sebenarnya tidak termasuk dalam lingkaran pertamanan utama saya di kantor. Ekspresinya cenderung meledak-ledak sehingga saya yang introvert ini tidak selalu kuat menghadapinya. Namun, di hadapan kami malam ini ia berbicara dengan lebih tenang menjelaskan satu per satu proyek arsitektur yang pernah ia kerjakan. Tidak semuanya ia tampilkan, hanya proyek yang membuatnya senang saja, katanya. Nyatanya proyek-proyek tersebut tak hanya membuat dirinya senang, tetapi kami yang melihatnya pun demikian.

Gaya visual Melisa amat indah. Komposisi bentuk, warna, dan pengemasannya sangat lembut, cerah, dan artistik. Namun, yang paling menyentuh sebenarnya adalah bagaimana ia mengekspresikan berbagai emosi yang dirasakannya dalam bentuk desain. Tidak hanya dari nuansa, tetapi fungsi dari bangunan-bangunannya sendiri juga merespons atau berusaha menghidupkan emosi tertentu. 

Melihat karya-karyanya membuat saya kembali ke masa awal mengenal arsitektur yang menyenangkan dan sederhana. Jangan salah paham, dari segi aspek perancangan, karya Melisa jelas jauh dari kata dangkal, tetapi ia mampu membawakannya dengan mudah. Lewat bahasa yang bisa dipahami manusia jenis mana pun, bahasa hati.

Melisa terlihat sangat menikmati setiap karyanya, setiap garis menggambarkan dirinya. Membuatku bertanya-tanya, ke mana saja selama ini? Mengapa bukan arsitektur yang seperti ini yang selama ini aku jalani?

Dalam sesi diskusi, kusempatkan untuk berkomentar. “Saya merasa tidak punya banyak memori indah saat mendesain. Melihat karya Melisa membuat saya membayangkan, andai selama ini saya berarsitektur dengan cara Melisa, sekarang saya ada di mana?” Tak kusangka, kedua mataku berair saat mengucapkannya.

Ya, ada rasa sesal yang tiba-tiba muncul dalam hati ini. Selama ini aku selalu percaya dengan jalan yang kupilih, termasuk memilih jalur literasi arsitektur. Namun, malam ini aku diingatkan kembali pada alasan pertamaku mengapa ingin menjadi arsitek. Lalu aku dihadapkan dengan seorang kawan muda yang telah dan sedang menjalani impian itu. Well, pada akhirnya Pak Bos bilang Melisa itu memang prodigy. Namun, pertanyaan itu terus menggantung di benakku cukup lama, “Mengapa aku tidak bisa? Andai waktu kuliah dulu aku lebih rajin, andai dulu aku mau membuka diri…"

Brown-Bag sudah selesai. Riyan ngobrol dengan Pak Bos tentang Brown-Bag selanjutnya. Namaku disebut-disebut.

Oh, kini aku tak lagi yakin apakah aku masih mau maju untuk presentasi.

You Might Also Like

0 comment

Subscribe