My Introduction to Hipoglikemia

Juli 01, 2022

Aku agak lupa sejak kapan, barangkali saat SMP atau SMA, aku mulai mengalami keringat dingin dan tremor apabila aku telat makan. Well, tidak setiap kali telat makan aku akan merasa seperti itu. Kalau persoalannya hanya telat makan, biasanya aku hanya akan merasa lapar dan lemas. Bahkan saat berpuasa, kadang aku bisa bekerja lebih keras dibanding ketika tidak berpuasa. Benar bahwa tiap kali aku keringat dingin, biasanya aku memang belum makan. Namun, tampaknya persoalannya tidak sesederhana kurang asupan energi saja.

Awalnya, saat itu terjadi aku akan langsung makan. Namun, melakukan itu ternyata tidak langsung mengembalikan kondisi tubuhku. Hingga suatu saat aku mengalami keringat dingin, tetapi tidak berada dalam kondisi bisa langsung makan. Akhirnya, aku makan permen sebagai pertolongan pertama. Ajaib, ternyata metode itu justru lebih cepat membuat keringat dinginku reda. Sejak itu aku selalu sedia permen, coklat, atau snack manis lainnya ke mana pun aku pergi dan itu selalu membantu.

Saat kuliah, aku punya kesempatan ngobrol dengan teman yang kuliah kedokteran tentang kondisi kesehatan. Aku pun bertanya tentang kondisiku tersebut, barangkali ada apa-apa.

“Jadi, aku kenapa, ya? Kondisi itu ada sebutannya nggak, sih?”

“Oh, ada, Mbak. Kalau diagnosisku benar nih, kemungkinan besar Mbak ini ada hipoglikemia,” jawab temanku itu.

“Eh, apa namanya? Hipogl…?”

“Hi-po-gli-ke-mi-a. Hehehe. Susah, ya, namanya?”

“Wkwk, iya. Jadi, itu penyakit atau gimana?”

“Nah, hipoglikemia itu kondisi ketika kadar gula dalam darah terlalu rendah, Mbak.”

Seketika aku merasa seakan mendapat pencerahan. Apalagi, waktu KKN aku beberapa kali minta temanku yang anak medika untuk memeriksa kadar gula darah untuk deteksi diabetes dan hasilku selalu lebih rendah daripada standar gula darah normal.

“Ooooooh, pantesan. Aku kasih permen biasanya langsung sembuh!” 

“Nah, iya, Mbak. Memang itu pertolongan pertamanya.”

“Pantes, pantes. Eh, tapi dia bahaya ga, ya?” tanyaku khawatir.

“Mbak gak pernah sampai pingsan, kan?”

Aku menggeleng.

“Hoo, kalau gitu masih aman, kok. Siap sedia permen aja,” begitu katanya, dan konsultasi informal kami berakhir. Aku pun merasa lega karena akhirnya mendapat penjelasan medis atas kondisiku.

Entah mengapa, sejak aku tahu soal hipoglikemia, aku jadi jarang mengalami keringat dingin atau tremor. Mungkin secara tidak sadar aku makin menikmati saat-saat makan dan menambah asupan gula ke tubuh. Sekarang, aku sudah jarang membawa permen. Paling-paling aku beli sedikit saat aku harus berpergian jauh untuk jaga-jaga. Aku berharap kondisi ini tidak memburuk ke depannya.

Semoga tulisan ini membantu kamu yang mengalami hal serupa.

You Might Also Like

0 comment

Subscribe