[MOVIE REVIEW] Sunny (2011) - A Movie that Stays in Your Heart and Grows with You

Februari 16, 2020

Selama ini saya selalu kebingungan bagaimana saya akan membuka bahasan mengenai film ini, hingga akhirnya saya teringat sebuah dialog antara Kang Dan-I dan Ji Seo-Jun dalam drama Romance is a Bonus Book (2019).

Kang Dan-I bercerita tentang sebuah buku yang sangat familiar baginya tetapi kini terkesan berbeda.
“Ini jelas buku yang sudah aku baca berkali-kali, tapi aku terus melihat kalimat-kalimat baru yang aku tidak lihat sebelumnya.”
Rasanya seperti membacanya untuk pertama kali.

Ji Seo-Jun dengan bijak menanggapi,
“Bukunya tidak berubah. Aku yakin kamulah yang berubah. Hati pembacanya telah berubah.”

Lalu, saya pikir, "Bukankah ini ungkapan yang sempurna untuk menggambarkan kesan saya terhadap Sunny?" 
___

[Disclaimer]

Artikel ini fokus pada pengalaman menonton film Sunny untuk kedua kalinya. Sebagian besar isinya ditulis sekitar dua bulan sebelum perilisan film Bebas. Argumen baru ditambahkan sesuai kebutuhan untuk membuat ulasan film ini semakin utuh dan tidak berserakan dalam pembahasan film lain.

This is a spoiler content.
___



[Original Title써니 (Sunny)
[DirectorKang Hyung-Chul
[Genre] Drama, Comedy, Period-1980, Women, Teen, School.
[Release Date] May 4, 2011
[Synopsis]
A group of girlfriends once inseparable in their teens reunite years later when they realize one of them is terminally ill. The film alternates between two timelines: the present day where the women are middle-aged, and the 1980s when they were in high school.
(Viu & Wikipedia)


Sunny bukan film yang saya tonton berkali-kali seperti buku yang Kang Dan-I sebutkan, tetapi jelas sebuah film yang sangat membekas di hati saya, undeniably salah satu film Korea terbaik yang pernah ditonton seorang Hanifah Sausan yang kala itu baru kelas 1 SMA. Sejak itu, beberapa kali tersirat di benak saya untuk merasakan kembali cinematic experience film ini. Namun, siapa sangka, butuh delapan tahun bagi saya untuk akhirnya berkesempatan menontonnya lagi, thanks to kabar Miles Films yang digawangi duo Mira Lesmana dan Riri Reza hendak membuat remake-nya untuk penonton dalam negeri.

Saya mengingat Sunny sebagai sebuah film yang komplit: mengundang banyak tawa sekaligus air mata, juga sukses memberikan rasa emosional yang membekas setelahnya. Materi ceritanya berkutat soal persahabatan, kisah cinta, dan kegilaan masa remaja. Sederhana, tetapi terasa sangat relatable bagi saya waktu itu. Namun, saya juga ingat betul, karena usia saya yang muda dan tampaknya masih dalam masa puber, adegan-adegan yang berlatar di masa kini (di mana tokoh-tokohnya adalah wanita paruh baya) terasa tidak begitu menyenangkan. I mean, adults were our my enemy back then :p



Di kali kedua saya menontonnya, saya adalah Kang Dan-I. Saya tercengang dengan adegan-adegan yang jelas sudah pernah saya lihat sebelumnya, tapi seakan menyuarakan hal yang berbeda: isu yang dibawanya; transisi antaradegannya; humor-humor di dalamnya; dan jajaran aktor yang kini sudah lebih bisa saya kenali. Saya tidak benar-benar yakin apakah film ini terasa seperti film baru, tetapi ia jelas memberikan kesan yang baru. Tentunya bukan karena filmnya yang berubah (yang mana jelas tidak mungkin), melainkan sayalah yang berubah: tambah tua, tambah ilmu, tambah pengalaman, dan tambah banyak “sepatu” yang sudah saya coba.

Menonton lagi Sunny di masa sekarang, saya menyadari bahwa kekuatan Sunny bukan sekadar alur cerita, pengemasan, dan permainan emosi, tetapi juga kemampuannya dalam menampilkan unsur sejarah, kondisi sosial masyarakat Korea Selatan utamanya di masa sekarang, dan juga realita kehidupan yang bersifat universal.

THE MOST SUBTLE WAY TO TELL A TRAGEDY

Sunny pada plot masa lampau berlatar pada era 1980an, diindikasikan dengan gaya berpakaian dan asesoris bermerek Nike dan Adidas, juga lagu-lagu serta film yang populer di masa tersebut. Namun, yang menurut saya paling menarik adalah pengemasan momen Pemberontakan Gwangju menjadi sesuatu yang halus, humoris, dan bahkan bisa memberikan bumbu romantis.

(IMDb)

Pada kurun waktu tersebut, Korea Selatan memang sedang mengalami pergolakan politik selama bertahun-tahun melawan rezim diktator. Gwangju menjadi salah satu tempat dengan pergerakan massa terbesar. Seoul yang merupakan latar film Sunny juga tidak ketinggalan menjadi saksi bisu perjuangan tersebut. Kakak laki-laki Na-Mi digambarkan sebagai mahasiswa aktivis pergerakan menentang pemerintah kala itu. Kemudian, siapa sangka kita akan merasa terhibur melihat Geng Sunny dan Geng Girls' Generation saling beradu pukul dan jambak, sementara di belakang mereka warga sipil sedang berkelahi dengan aparat. Momen Na-Mi diantar pulang oleh Joon-Ho juga mungkin tidak akan segreged itu jika tidak ada tentara-tentara patroli malam yang menyoraki mereka saat si doi bilang, "Kalau kamu ketemu lagi mereka yang gangguin kamu, bilang aja kamu pacarku." (Hyaaaaaaaaaaaaaaaaa) Itu baru segelintir. Setelah saya tonton lagi, banyak sekali detail-detail sejarah mereka ditampilkan, tak hanya lewat prop seperti baju atau teknologi, tetapi juga lewat penggambaran kondisi sosial masyarakatnya.

(IMDb)

Yang paling saya suka dari itu semua adalah bagaimana kehidupan mereka terus berjalan seperti biasa meski sesungguhnya mereka sedang berada di tengah konflik politik. Hal ini memberikan sudut pandang baru bagi generasi muda seperti saya yang mudah terjebak dalam penggambaran peristiwa sejarah di buku paket sekolah yang terkesan penuh derita karena fokus pada tragedi. Kang Hyeong-Chul (45, Sutradara & Screenwriter) yang melalui masa muda mereka pada era tersebut, dibantu referensi kisah masa muda ibunya, saya rasa telah berhasil memberikan gambaran yang lebih kontekstual dan lebih realistis tentang sebuah keniscayaan bahwa "no matter what happen, life must go on."

MENJADI (WANITA) DEWASA, DI KOREA

Bicara soal "life must go on", akhirnya tokoh-tokoh kita tumbuh dewasa dan menjadi emak-emak. Ingat bagaimana saya dulu merasa bosan melihat mereka? Ya, siapa yang tidak jenuh melihat film kita dibuka dengan adegan Na-Mi versi emak-emak sedang menyiapkan sarapan dan bersih-bersih rumah? Yang saya tidak tahu dulu adalah bahwa penggambaran tersebut akan mejadi realita saya juga beberapa tahun ke depan.

(IMDb)

Kondisi masyarakat Korea dan Jepang yang saya pelajari selama program exchange saya di Fukuoka setahun terakhir mengindikasikan peran wanita yang erat dikaitkan dengan pekerjaan rumah tangga. Dalam narasi tentang keresahan emak-emak Korea yang telah berkali-kali saya saksikan dalam beberapa film dan drama, pekerjaan tersebut termasuk mengurus seluruh tetek bengek pendidikan anak-anaknya dan mendukung keberhasilan suaminya di dunia kerja. Maka tak heran ketika keberhasilan mereka dinilai dari kedua hal tersebut, apalagi dengan persaingan dalam dunia pendidikan yang sangat ketat (SKY Castle, 2018-2019). Banyaknya tanggung jawab yang dibebankan pada seorang ibu membentuk kecenderungan yang tinggi bagi seorang wanita untuk meninggalkan karir mereka setelah menikah untuk mengurus keluarga. Sementara, sulit bagi mereka untuk kembali lagi ke dunia kerja dan mengaktualisasikan diri (Romance is a Bonus Book, 2019). Sekalipun mereka berhasil untuk mempertahankan karir mereka, rasanya hampir mustahil untuk menjalani semuanya (Misaeng, 2014; Listen to Love, 2016; At Eighteen, 2019).

(IMDb)

Ketika semua perhatian sudah dicurahkan kepada orang lain, tak jarang ibu-ibu ini merasa kehilangan dirinya. Kini saya bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari diri Na-Mi ketika bertemu Geng Sunny dan dibawa untuk mengingat lagi masa mudanya. Ditambah kepergian suaminya untuk perjalanan dinas, Na-Mi mendapat motivasi dan kedaulatan yang lebih besar untuk menentukan apa yang ingin ia lakukan selanjutnya, menggambar lagi atau melabrak bullier anaknya, misal. LOL. Omong-omong, saya sekarang paham perasaan Na-Mi dewasa yang sesungguhnya saat memutuskan untuk memberikan bingkisan pada mantan gebetannya (Dulu, saya kira dia masih suka sama Joon Ho! Dasar remaja ingusan! :v).

(IMDb)

Na-Mi adalah gambaran salah satu dari beragam segmen masyarakat Korea. Ia cukup beruntung bila dibandingkan dengan anggota Geng Sunny lainnya yang harus menjadi pekerja kelas rendah, atau harus menjajakan tubuhnya, atau harus mengubur masa lalunya agar diterima di strata sosial yang lebih tinggi, atau meninggal tanpa sempat berkeluarga karena terlalu sibuk bekerja.

(IMDb)

ASPEK PRODUKSI

Sesungguhnya, alasan utama saya menonton kembali film ini adalah karena saya jatuh hati berat pada Lee Byeong-Hun (iya, namanya memang sama dengan nama aktor senior yang sangat terkenal itu, tapi bukan doi). Ia adalah pria dibalik kursi penulis dan sutradara drama keluaran JTBC, Be Melodramatic, yang baru-baru ini menarik perhatian saya berkat dialog-dialognya yang menyegarkan dan pendekatan karakternya yang unik. Lee Beyong-Hun juga melahirkan film Twenty dan Extreme Job yang telah menjadi mega-hit sebelumnya di negeri gingseng. Menilik lebih jauh karya-karya beliau, ternyata Sunny merupakan karya layar lebar kedua Lee Byeong-Hun sebagai screenwriter atau lebih tepatnya screenplay adapter yang bertugas mengubah naskah Kang Hyeong-Cheol menjadi scenario dan menambahkan aspek dramatisasi ke dalamnya. Sebelumnya, mereka telah bekerja sama dalam porsi yang serupa untuk film Speedy Scandal yang juga merupakan film box office ketika ia dirilis pada tahun 2008.

Lee Byeong-Heon (Joong-Ang Ilbo) dan Kang Hyeong-Cheol (Naver Post)

Setelah menonton berbagai film dan drama yang diproduksi Lee Byeong-Hun, juga membandingkan dengan film yang digarap sendiri oleh Kang Hyeong Cheol, saya benar-benar yakin bahwa aspek humor dalam film ini menjadi lebih hidup berkat kehadiran Lee Byeong-Hun dalam prosesnya. Ia (selanjutnya) punya kecenderungan menghasilkan film komedi yang absurd dan kayaknya-gak-bakal-kejadian-di-dunia-nyata (in a good way, of course). Sementara, Kang Hyeong-Cheol punya peran besar mengusung latar tahun 1980an dan peristiwa bersejarah di belakangnya (berkaca pada Swing Kids (Kang Hyeong-Cheol, 2018)) yang lebih down-to-earth, kontekstual, dan emosional. Nah, saya rasa perpaduan pengaruh antara kedua orang inilah yang membuat Sunny terasa sangat PAS. Terlepas dari itu, mereka berdua juga perlu diapresiasi atas upaya interpretasi yang sangat baik terhadap karakter wanita walaupun mereka sendiri laki-laki.

Bergeser ke departemen akting, jujur saja saya menikmati penampilan semua aktor yang terlibat di dalamnya, bahkan untuk peran sekecil polisi yang hendak menangkap kakak Na-Mi. Hal ini tentu juga berkat kepiawaian Kang Hyeong-Cheol sebagai sutradara. Karena tidak bisa menyebutkan semuanya, berikut beberapa aktor yang menarik perhatian saya:

Kang So-Ra (29), yang mana di tahun ketika film ini dirilis, sempat menggetarkan Korea dengan efek girl-crush berkat keberhasilannya memerankan sosok Ha Chun-Hwa yang tangguh; Shim Eun-Kyung (25, memerankan im Na-Mi) yang kala itu baru bermain di film keenamnya, kini rajin mondar-mandir mengisi posisi lead actress di berbagai produksi film maupun drama, tak hanya di Korea tetapi juga di Jepang; Park Jin-Joo (31, memerankan Hwang Jin-Hee) dengan personanya yang nyablak dan khas berhasil menjadi scene stealer di setiap tokoh yang diperankannya; Cheon Woo-Hee (32) yang di film ini mendapat peran kecil sebagai seorang mantan-teman yang posesif, kini menjadi salah satu aktris muda yang paling dipercaya di industri hiburan Korea (The Wailing, 2016) dan juga jadi langganan Lee Byeong-Hun di dramanya (Be Melodramatic, 2019); Lee Kyoung-Young (59, memerankan Joon-Ho dewasa) si ahjussi tampan dan superkarismatik yang muncul sangat singkat, tetapi sangat berhasil memberikan emosi dan kesan yang diperlukan pada film ini (shout-out to casting department); dan tentunya kita tidak bisa melewatkan Kim Young-Ok (82, memerangkan nenek Im Na-Mi) yang terlepas dari usianya yang sangat tua, berhasil membabat penonton dengan umpatan-umpatan dan treatment acting yang bikin geleng-geleng kepala.

(IMDb)

EKSPEKTASI TERHADAP “BEBAS”

For your information, negara kita dan negara gingseng ini punya banyak kemiripan, lho. Di masa lampau, kita sama-sama pernah diambil alih oleh Jepang. Karena itu pula, tanggal kemerdekaan kita pun tidak jauh berbeda, dekat dengan momen mundurnya Jepang dari Perang Dunia II. Perkembangan politik kedua negara setelah itu juga memiliki beberapa kemiripan, walau Korea tampaknya melalui fase yang lebih progresif. Setelah menyadari sejarah pergerakan demokrasi Korea yang disajikan di film Sunny, saya menebak bahwa film Bebas nanti akan berlatar masa lampau tahun 1990an, menjelang akhir era diktator Orde Baru yang dikuasai oleh kaum militer. Tentunya ini nantinya akan menjadi narasi menarik untuk masa yang sering digambarkan kelam ini.
Masih bicara soal kesamaan, isu tentang peran wanita di dalam masyarakat memang sebuah isu global. Akan tetapi, tentu ada hal-hal kultural yang akan membedakan karakter masyarakat Korea dari masyarakat di Indonesia (yang menurut saya narasinya tidak sesolid narasi tentang wanita di Korea). Nah, saya penasaran betul seberapa peka Miles Films melihat perbedaan budaya tersebut dan sejauh apa dia akan meramunya dalam film Bebas.
___

Setelah menggali lebih dalam mengenai Sunny, saya semakin memahami mengapa film ini sangat dicintai publik Korea, bahkan ia menempati posisi kedua untuk penghasilan terbesar pada tahun 2011 ketika ia dirilis. Sampai saat ini pun, Sunny masih berada di top-list portofolio seluruh tim dan aktor yang terlibat di dalamnya. Seperti halnya Sunny yang selalu punya tempat di hati masyarakat Korea, saya harap Bebas yang akan segera dirilis juga akan mendapat posisi yang serupa di hati masyarakat Indonesia :)

Selesai ditulis di atas meja jati tua
Rumah Magelang, 16 Februari 2020

___

Artikel ini bisa hadir di hadapanmu berkat:

  1. Allah SWT yang atas kehendaknya, dapat terwujudlah film-film yang luar biasa. Pada-Nya juga saya berterima kasih atas keterampilan menulis dan kemudahan yang saya dapat selama prosesnya.
  2. Kak Ruth dan Numanproof-reader saya untuk artikel ini, atas koreksi dan pendapatnya yang luar biasa helpful.
  3. Hanip yang telah membantu mengonfirmasi penerjemahan beberapa referensi berbahasa Korea.


You Might Also Like

0 comment

Subscribe