Teladan yang Terasingkan dalam Kemajuan Zaman - Arsitektur dan Budaya Vernakular Tradisional Papua
Mei 27, 2018
Tulisan ini dibuat dalam rangka penugasan Beasiswa Paguyuban Akabri Pertama 1970.
Melihat lagi ke tahun 2015 di mana tulisan ini dibuat, waktu itu saya baru semester 2, baru saja selesai belajar soal arsitektur vernakular. Setelah saya membaca lagi esai ini, ternyata di usia segitu memang ilmu saya masih cethek. Yang kubahas baru sekadar aspek visual, yang kelihatan oleh mata: bentuk, corak. Sementara esensi utama dari arsitektur itu sendiri, berupa pola hidup dan kebudayaan masyarakatnya belum terangkat dengan baik.
Melihat lagi ke tahun 2015 di mana tulisan ini dibuat, waktu itu saya baru semester 2, baru saja selesai belajar soal arsitektur vernakular. Setelah saya membaca lagi esai ini, ternyata di usia segitu memang ilmu saya masih cethek. Yang kubahas baru sekadar aspek visual, yang kelihatan oleh mata: bentuk, corak. Sementara esensi utama dari arsitektur itu sendiri, berupa pola hidup dan kebudayaan masyarakatnya belum terangkat dengan baik.
Akan
tetapi ini lumayan lah, untuk menambah khasanah pengentahuan mengenai
ragam arsitektur tradisional Indonesia. Beberapa sumber referensi
seperti itchcreature.com juga telah mencoba menghadirkan pola pikir yang
kritis kepada pembacanya terutama mengenai konteks ketimbang sebatas
eklektisme (arsitektur copy-paste).
Pintu kritik, saran, dan diskusi akan selalu terbuka lebar
Pintu kritik, saran, dan diskusi akan selalu terbuka lebar
Selamat membaca :)
____________________________________________________
Teladan yang Terasingkan dalam Kemajuan Zaman
ARSITEKTUR DAN BUDAYA VERNAKULAR TRADISIONAL PAPUA
Papua memiliki arsitektur yang terwujud dalam banyak macam, dan Honai yang selama ini diberi label sebagai rumah adat Papua nyatanya hanya milik satu dari lebih dari 250 suku yang ada di penjuru Papua. Suku-suku tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Setiap suku ada dan diakui eksistensinya karena masing-masing memiliki budaya dan cara hidup unik dan khas. Mereka tidak sama meski tidak jauh berbeda.
Honai sendiri,
mengapa akhirnya dijadikan ikon rumah adat Papua juga berdasar pada prinsip di
atas. Awalnya, pelabelan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada
masyarakat mengenai banyaknya suku yang ada di Indonesia. Namun, tidak semua
suku di Papua memiliki budaya yang matang pada seluruh aspek kehidupan mereka.
Tidak semua suku memiliki rumah yang unik. Kebanyakan mereka memiliki rumah dengan
bentuk yang sangat sederhana. Tanpa ciri khas tertentu, akan sulit untuk
membedakannya dengan rumah adat lain di seluruh Indonesia. Maka, Honai dengan bentuk melingkar dan
atapnya yang seperti batok kelapa terlihat paling menonjol dan berbeda,
sehingga dilabeli sebagai rumah adat Papua, sekaligus memberi efek generalisasi
pada seluruh suku yang ada di Papua.
Vernakular, Tradisional, Vernakular Tradisional
Sebelum menelaah
rumah-rumah adat papua lebih jauh, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa
klasifikasi arsitekur dan budaya bila didasarkan pada proses perkembangan
budaya.
Vernakular,
adalah sesuatu yang anonim, pribumi, polos, primitif, sederhana, dan berdasar
pada potensi lokal. Dapat dikatakan vernacular adalah sebuah tahap awal dari
proses lahirnya sebuah budaya (masih berdasar pada insting, spontan, menyikapi
kondisi alam), ditandai dengan bentuk yang sederhana, sehingga sulit membedakan
mana yang merupakan hasil kebudayaan mana karena bentuk yang mirip satu sama
lain (tidak memiliki ciri khas tertentu). Hal inilah yang terjadi pada rumah
adat suku-suku di Papua yang akhirnya mengalami generalisasi karena belum
sepenuhnya mencirikan budaya masing-masing (primitif).
Tradisional
adalah tahap lanjut dari lahirnya suatu budaya, di mana aplikasi bentuk
berdasar pada nilai-nilai filosofi tertentu yang dianut oleh masing-masing
kelompok etnis. Maka, bentuk akhir dari arsitektur tradisional menjadi sangat
khas, sehingga dapat dibedakan jenisnya satu sama lain.
Sedangkan Vernakular Tradisional adalah tipe yang
paling umum disandang hampir seluruh arsitektur lokal di Indonesia. Meski telah
memiliki ciri khas yang unik, arsitektur tersebut masih memiliki aspek-aspek
vernakular seperti penggunaan material lokal, pembangunan dengan sistem gotong
royong, dan adanya sistem perlindungan tertentu yang melindungi pengguna dari
ancaman luar.
Tiga “Wajah” Arsitektur Papua
Bila digolongkan
berdasarkan raut dasarnya, terdapat tiga bentuk utama dalam arsitektur papua.
Bentuk-bentuk tersebut merupakan adaptasi masing-masing suku terhadap kondisi geografis
daerah tempat mereka berhuni. Pemilihannya
juga didasari kuatnya pengaruh animisme dan dinamisme dalam kepercayaan mereka.
Persegi:
bentuk ini adalah bentuk yang paling banyak digunakan, terutama pada suku-suku
dengan gaya hidup yang masih primitif (vernakular). Persegi dipilih antara lain
karena sederhana, mudah didirikan, dan sangat fungsional dari segi penggunaan
ruang. Contoh rumah adat: Yame Owa
(rumah laki-laki) Suku Mee , Ibeiya (rumah
kaki seribu) Suku Moile, Rumah Tinggi Suku Korowai.
Ibeiya |
Yame Owa |
Kariwari |
Lingkaran:
seperti yang digunakan oleh Suku Dani pada Honai
(rumah laki-laki).
Nilai-Nilai dan Kearifan Lokal Arsitektur Papua
Aspek Tradisional
Suku-suku
di Papua memiliki tingkat solidaritas yang tinggi. Mereka hidup secara
berkelompok dan mendiami wilayah teritorial terntentu. Mereka saling melindungi
satu sama lain dan gerakan bergotong royong telah mengakar pada darah mereka.
Karakter ini mengalami simbolisasi, seperti pada rumah Honai Suku Dani di mana bentuk lingkaran memiliki makna kesatuan
dan persatuan yang paling tinggi untuk mempertahankan dan mewariskan budaya,
suku, harkat, martabat yang telah di pertahankan oleh nenek moyang dari dulu
hingga saat ini. Lingkaran juga bermakna sehati, sepikir dan satu tujuan dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan.
Berlanjut pada fungsi, ketika
hunian modern membagi fungsinya dalam ruang-ruang yang terintegrasi dalam satu
massa bangunan, suku-suku di Papua membangun beberapa bangunan kecil dengan
fungsi-fungsi yang berbeda, di antaranya: rumah adat, rumah laki-laki, rumah
perempuan, dapur, dan kandang ternak. Mereka memiliki bentuk yang hampir sama
terutama pada rumah adat, rumah laki-laki, dan rumah perempuan. Perbedaan
hirarki duwujudkan dalam perbedaan dimensi. Bangunan lain yang memiliki fungsi
servis dibuat lebih sederhana.
Honai |
Laki-laki dan perempuan
dipisahkan sejak usia empat hingga tujuh tahun. Mereka percaya bahwa dengan tinggal
(tidur) bersama, laki-laki tidak akan berpikir baik, logis, dan benar.
Laki-laki juga dilarang untuk mendekati perempuan pada saat perempuan mengalami
menstruasi. Permisahan ini juga wujud penegasan dalam pembagian tugas.
Laki-laki bertugas untuk memimpin arah gerak suku, melindungi suku, dan berburu
makanan. Sedangkan perempuan bertugas mengurus rumah, memasak, mengurus ternak
babi, dan berladang.
Aspek Vernakular
Kembali kepada fungsi utama hunian sebagai tempat manusia berlindung dan bertahan hidup, maka sebuah desain hunian harus aman. Ancaman yang secara umum ada pada masyarakat Papua adalah iklim, bencana alam, binatang buas, dan musuh (suku lain).
Seperti Suku Dani, dalam menentukan lokasi perkampungannya (uma), mereka mengutamakan tempat yang tinggi tetapi tidak jauh dari sungai. Pemilihan lokasi yang tinggi ini merupakan salah satu cara masyarakat Dani untuk menghindari bahaya banjir, air tergenang, serbuan binatang buas, serta sergapan suku-suku lain. Selain itu mereka menggunakan pintu dengan pangkal yang tinggi untuk menghalau hewan buas masuk.
Uma |
Suku lain mengatasi banjir atau air pasang, sekaligus hewan buas dengan cara meninggikan rumah mereka (lantai panggung). Lantai ditopang dengan kolom-kolom (tiang) hingga ketinggian tertentu, seperti yang dilakukan suku Moile pada Ibeiya dan Suku Tobati-Enggros pada Kariwari, dan juga suku-suku lain yang umumnya mendiami area pantai, danau, dan hutan.
Salah satu yang paling unik adalah rumah adat Suku Korowai yang disebut Rumah Tinggi. Disebut demikian karena posisi rumahnya yang sangat tinggi, dibangun di atas pohon untuk menghindari hewan buas. Selain itu, teknik ini merupakan strategi untuk melakukan perburuan terhadap binatang yang akan dijadikan makanan. Rumah ini juga dilengkapi kamuflase berupa penggunaan material kayu yang sama dengan pohon tempat rumah didirikan. Ketinggian rumah umumnya mencapai 40 meter di atas tanah. Namun, beberapa waktu yang lalu, pernah dibangun Rumah Suku Korowai dengan ketinggian 140 meter yang membutuhkan waktu dua minggu.
Rumah Tinggi |
Dalam menghadapi gempa, masyarakat Papua memiliki cara yang bermacam-macam. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan penggunaan kayu sebagai material utama serta sambungan yang fleksibel terhadap goncangan. Pada Honai, Suku Dani mengunakan bahan penutup atap yang terbuat dari jerami/rumbia (rumput alang-alang), dengan pertimbangan bahwa material tersebut ringan, lentur, menyerap goncangan gempa. Suku Moile mengaplikasikan perkuatan pada struktur pondasi dan kolom penopang lantai, yaitu substruktur berupa balok yang dipasang diagonal bernama hauwa.
Lain halnya dengan masalah
iklim. Udara yang bersuhu rendah mengharuskan rumah-rumah memiliki perapian di
dalamnya. Perapian ini berfungsi sekaligus sebagai penerang pada malam hari dan
pusat berkumpulnya orang-orang. Ketika tidur, kaki mereka dihadapkan pada
perapian agar selalu hangat. Sedangkan asap dipercaya dapat mengawetkan rumput
alang-alang sehingga tidak harus sering diganti. Perapian juga merupakan solusi
pada rumah adat Ibeiya untuk mendapatkan
sirkulasi udara yang baik, dengan cara memanfaatkan prinsip udara panas akan
bergerak ke atas. Perapian akan memanaskan udara, lalu udara yang naik
dibebaskan melalui ventilasi atas. Kemudian, udara dingin akan mengisi ruang
yang ditinggalkan udara panas melalui bukaan yang minim berupa pintu di bagian
depan dan belakang rumah. Lain halnya dengan Ibeiya, Honai mengaplikasikan
sistem dinding ganda yang memiliki celah di antaranya untuk adaptasi udara,
sehingga ketika udara di luar dingin, udara di dalam rumah hangat.
Salah satu ciri utama arsitektur vernacular adalah
penggunaan material lokal. Salah satu sebabnya adalah karena hunian vernacular
didirikan dengan cepat, sehingga bahan yang digunakan yang dekat-dekat saja. Sebab
lain adalah untuk memudahkan proses renovasi komponen hunian yang rusak.
Berkaitan dengan hal ini, umumnya setiap kelompok etnis memiliki “hutan adat”nya
sendiri-sendiri. Hutan adat ini terletak tidak jauh dari pemukiman suku dan
selalu dijaga kelestariannya sebagai wujud terima kasih mereka atas apa yang
telah alam berikan pada mereka.
Mereka tidak sembarangan
bila berniat mengambil kayu. Kayu yang akan digunakan tidak serta merta
kemudian langsung ditebang tetapi akan dilucuti dahulu daun-daunnya. Kemudian,
pohon ditinggal selama sekitar sebulan atau dua bulan agar perlahanlahan mati
layu hingga cengkeraman akar pohon menjadi melemas pada tanah, lalu ditebang.
Alasan proses ini dilakukan adalah untuk menjaga tanah dari proses erosi atau
tanah longsor.
Geliat Konservasi dan Preservasi Arsitektur Papua di
Era Modern
Papua dengan kekayaan alamnya yang luar biasa kini
sedang giat membangun. Modernitas perlahan merengkuh suku-suku pedalaman Papua.
Tak dapat dipungkiri, teknologi mempermudah segalanya. Maka tidak heran bila
gaya hidup tradisional mulai ditinggalkan.
Sayangnya, perubahan ini kurang berorientasi pada
kelestarian arsitektur papua. Gedung pemerintahan dan fasilitas publik dibangun
dengan gaya yang kejawa-jawaan, berkiblat pada penguasa negeri. Padahal tidak
semua konstruksi itu cocok dengan iklim maupun cuaca di Papua. Belum lagi
identitas asli Papua mulai terkikis karena dianggap kuno atau terbelakang.
Bersyukurlah, terdapat pihak-pihak yang sadar akan hal ini dan menjalankan pembangunan dengan berorientasi pada kultur Papua. Semisal wacana pembangunan Kantor Bupati Jayawijaya yang terinspirasi oleh sistem klustering Suku Dani, atau sayembara Landmark Jayapura berupa menara penjaga (kayou) (tetapi dibatalkan hasilnya karena kayou adalah milik Suku Dani yang bukan berasal dari Jayapura). Mungkin bukti konkretnya bisa kita lihat dari aksi Yayasan Rumah Asuh yang merekonstruksi lagi kayou milik Suku Dani di Suroba, Lembah Baliem serta memperbaiki Honai-Honai yang rusak.
Rancangan Kantor Bupati Jayawijaya |
Kayou Suku Dani di Suroba |
Design Sayembara Landmark Jayapura |
Penutup
Terlepas dari arsitektur, ada jauh lebih banyak
teladan yang bisa kita petik dari kehidupan suku-suku di Papua. Salah satunya
lewat gaya hidupnya yang berorientasi pada kelestarian alam. Dari mulai pakaian
hingga makanan yang mereka gunakan dan konsumsi, semuanya berasal dari alam di
sekitar mereka lalu menjadi sampah yang larut dicerna oleh bumi, bahan yang “tuntas”,
selesai secara ekologi, lestari, kembali ke alam.
Mengutip P. Khrisno A.,
“Kita yang tinggal di Kota, selalu disediakan makanan nasi dan berpakaian
yang telah kita anggap layak tetapi tidak mentutaskan masalah secara holistik.
Kita dituntut secara sosial untuk beradab tetapi tidak bisa bahkan cenderung
tak acuh menyelesaikan masalah sampah seperti misalnya plastik dan detergen.”
Kita perlu mencoba belajar kembali pada mereka, mencoba mengambil
kebijakan yang baik yang diajarkan masyarakat tradisi untuk hidup dan berdampingan
dengan alam dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
-----------. 1999.
Indonesian Heritage Vol.6 “Architecture”. Singapore: Archipelago Press
Hematang, Yashinta I. P.,
dkk. 2014. Kearifan Lokal Ibeiya dan
Konservasi Arsitektur Vernakular
Papua Barat. Semarang:
Indonesian Journal of Conservation
-----------. 2013/2014. Tipologi Arsitektur Tradisional Rumah Honai
Suku Dani Papua.
Papua: PRODI S1 TEKNIK ARSITEKTUR, UNIVERSITAS
TADULAKO (ppt)
Arsitektur Tradisional Papua. https://othisarch07.wordpress.com/arsitektur-tradisional-papua/
diakses pada 5/16/2015 pukul
1.15)
Arsitektut
Tradisional dalam Perkembangan Pembangunan. https://www.facebook.com/notes/plato-ajamaru/arsitektur-tradisional-dalam-perkembangan-pembangunan/436704313105613 (diakses pada 5/16/2015 pukul 1.22)
Politik
Arsitektur dan Ruang Kota di Papua https://deateytomawin.wordpress.com/2009/03/18/politik-arsitektur-danruang-kota-di-papua/ (diakses pada 5/16/2015 pukul 2.19)
Permukiman Honai Suku Dani Si Inspirator
Rancangan https://tombakdirgantara.wordpress.com/tag/arsitektur-papua/
(diakses pada 5/16/2015
pukul 2.30)
Suroba
File 2015 : Belajar Membangun Peradaban yang Tuntas. http://itcarchitecture.com/?p=3903 (diakses pada 5/16/2015 pukul 2.44)
Menara
Penjaga, Sebagai Landmark Jayapura. http://www.itchcreature.com/?p=519 (diakses pada 5/16/2015 pukul 2.45)
Mengenal
Arsitektur Papua Melalui 3 “Wajahnya”. https://arsitektour.wordpress.com/2014/12/03/mengenal-arsitektur-papua-melalui-3-wajah-nya/ (diakses pada 5/16/2015 pukul 2.47)
Rumah
Pohon Suku Korowai Papua http://www.imagebali.net/detail-artikel/763-rumah-pohon-suku-korawai-papua.php (diakses pada 5/16/2015 pukul 2.55)
Arsitektur Tradisional
(Yame Owa) dan Kearifan Membangun Suku Mee Papua (1) http://radiosuaradogiyaifm.blogspot.com/2012/02/arsitektur-tradisional-yame-owa-dan.html (diakses
pada 5/19/2015 pukul 2.30)
Rumah
Pohon Suku Korowai yang Menakjubkan http://www.mobgenic.com/2012/11/30/rumah-pohon-suku-korowai-yang-menakjubkan/ (diakses pada 5/19/2015 pukul 2.46)
0 comment