Yang Terjadi Setelah Menulis Setiap Hari Selama 15 Hari - Refleksi #30DWC - Hari 15/30
Juni 15, 2022Work station saya di kantor |
Semua ini gara-gara Ipeh.
Ya, dia yang ngajak saya ikutan sebuah writing challenge, menulis minimal 200 kata per hari dan di-publish terbuka di blog, medsos, atau platform publik lainnya. Tadinya saya tidak yakin, tapi melihat programnya yang dibarengi kelas bahasa/menulis, mentoring, dan diskusi, saya akhirnya setuju ikut. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok kontrol berisikan 8 hingga 9 orang. Ipeh di Squad 1, sementara saya di Squad 2.
Awalnya saya agak pesimis juga bisa konsisten selama 30 hari karena saya bahkan masih kewalahan dengan kesibukan di kantor. Situasi saya waktu itu sering pulang malam, kurang istirahat, tidak sempat bersih-bersih kamar, apalagi olahraga. Waktu itu saya juga sudah dijadwalkan untuk training di divisi sebelah, mengorbankan salah satu waktu libur saya. Menambah satu lagi tanggung jawab setiap harinya membuat saya khawatir.
Benar saja, di hari Jumat, tanggal 3 Juni 2022 dan bertepatan dengan hari ketiga challenge, saya tepar, izin tidak masuk karena baru terbangun pukul 1 siang. Kemarinnya saya mulai training di divisi sebelah dan akhirnya lembur untuk menyelesaikan pekerjaan training dan tulisan challenge. Saya kira performa yang terseok-seok ini hanya muncul di awal masa challenge saja. Ternyata malah keterusan jadi sebuah pola hidup: bangun siang, kerja, menulis beberapa jam sebelum tengah malam, lanjut kerja, lalu baru tidur. Begitu terus siklusnya. Alhamdulillah, Pak Bos tidak masalah soal masuk siang, asal durasi kerja minimum terpenuhi (dan saya tinggal di kantor sehingga tidak ada masalah mobilisasi tiap harinya).
Pola hidup yang sangat buruk sebenarnya. Namun, lima belas hari berlalu sudah. Who knows how I can fix this before the end of the challenge.
Meski begitu, saya cukup bersemangat mengerjakan challenge ini. Alhamdulillah, saya sudah terbiasa menulis sejak kecil (walau dulu tulisannya tidak jelas maunya apa) sehingga 200 kata per hari sebenarnya target yang cukup rasional untuk saya. Malah saya justru sulit untuk menulis pendek karena harus memotong berbagai argumen yang saya miliki terhadap suatu topik (dan ini sebenarnya jadi masalah juga karena artinya saya butuh waktu lebih lama untuk menulis). Soal ide, saya punya banyak ide, mungkin malah terlalu banyak. Masalahnya selama ini adalah saya suka menunda-nunda karena tahu saya butuh banyak waktu untuk menulis sehingga selalu mencari-cari momen yang tepat, mencari waktu luang, libur, dst. Pada akhirnya banyak ide saya hanya jadi sekadar ide karena saya tidak pernah belajar untuk menciptakan momentum itu sendiri. Harapan saya dengan mengikuti challenge ini, saya bisa jadi lebih disiplin menuangkan ide saya ke dalam sebuah tulisan walau sedang tidak mood sekalipun.
Alhamdulillah, mungkin karena banyak teman dan ada sistem penilaian, saya beneran bisa menulis setiap hari, memaksakan otak saya bekerja dan tubuh saya bergerak, tackling every topic yang beberapa bahkan sudah saya endapkan setahun lebih. Ternyata, saya hanya butuh 1 sampai 4 jam untuk menghasilkan satu tulisan utuh sepanjang 250-1000 kata. Menulis menjelang waktu pengumpulan sebenarnya membantu saya untuk tidak berlama-lama dan fokus pada satu gagasan saja. Saya pun masih bisa menjalankan tugas saya di kantor dan tidur cukup.
Nah, kendalanya, tulisan yang saya tulis setiap hari sejauh ini baru melalui tahap penulisan yang pertama, yaitu menulis bebas. Well, tidak bebas-bebas banget sih, saya selalu punya kerangka besar yang membantu saya menulis tiap paragrafnya, tetapi tulisan-tulisan tersebut tidak pernah benar-benar disunting. Saya juga tidak punya cukup waktu untuk meriset sehingga topik-topik yang saya tulis kebanyakan berdasarkan pada pengalaman atau observasi pribadi. Akan sulit bagi saya untuk menulis tentang arsitektur brutalisme di Ukraina karena harus membaca dan menonton berbagai referensi terlebih dahulu sebelum bahkan menuliskan satu kalimat saja.
Nah, karena tidak melalui proses riset, mulai terbentuk juga pola pikir tertentu pada proses menulis saya, terutama saat menulis ulasan drama/film. Karena waktu terbatas, otak saya semacam membuat langkah-langkah atau struktur tulisan yang kemudian saya ulangi lagi di tulisan-tulisan saya berikutnya. Misal, saya mulai dari awal ketertarikan terhadap karya tersebut, setting expectation, lalu masuk ke premis cerita, pesan-pesan moral, teknik penceritaan, performa akting, dan seterusnya. Sebenarnya pola atau alur berpikir seperti ini tidak selalu buruk, tetapi saya takut jadi terbiasa dan tidak tergerak untuk berpikir kritis di luar pendapat saya sendiri.
Apalagi, saya bekerja di bidang penerbitan/literasi. Dari pagi sampai sore (atau dalam kasus saya, siang sampai malam) otak saya sudah diperas untuk membaca, menganalisis, dan menulis. Kadang di malam hari saya sudah tidak kuat untuk mengeksplorasi topik-topik saya kembali, dan akhirnya saya tulis seadanya saja :”)))
Well, sebenarnya sejak awal saya sudah punya solusi untuk persoalan ini. Solusinya ada pada mindset, yakni beranggapan bahwa saya memang tidak menulis untuk menghasilkan tulisan final, tetapi sekadar mengeluarkan ide-ide yang saya miliki terlebih dahulu. Pemilihan blog dibanding platform lain untuk mempublikasikan tulisan saya selama challenge berlangsung sebenarnya dilandasi mindset ini pula. Biarlah blog yang lebih personal dan lebih sedikit view-nya ini kita jadikan ruang brainstorming untuk ide-ide mentah. Mari kita tabung sebanyak-banyaknya tulisan, kita endapkan, lalu kita ramu lagi dengan berbagai bumbu baru sebelum kita sajikan mereka pada khalayak yang lebih luas. (Kebetulan saya lebih aktif berinteraksi di Instagram)
Lima belas hari telah berlalu dan saya cukup senang melihat log blog saya yang tidak pernah kosong. Saya juga mendapat berbagai feedback dari sesama pejuang challenge yang sangat membangun dan menambah semangat menulis. Semoga saya bisa tetap istiqomah selama lima belas hari sisanya. Aamiin.
Terima kasih kepada Ipeh yang telah mengajak saya.
Ayo, Peh! Kita bisa!
0 comment