[DRAMA REVIEW] Green Mothers' Club (2022) - SKY Castle Versi Humble
Juni 06, 2022“Green Mothers’ Club”, judul dari drama ini diambil dari kata 녹색어머니 (nog-saeg eo-meo-ni: lit. green mothers), sebutan untuk asosiasi ibu-ibu wali siswa yang fungsinya mengatur ketertiban lalu lintas lingkungan sekolah dan memastikan keselamatan siswa yang datang setiap paginya. Saat bertugas, ibu-ibu ini biasanya mengenakan rompi berwarna hijau sehingga kemudian disebut green mothers. Awalnya, saya tertarik menonton drama ini karena istilah tersebut, berharap akan ada kisah yang muncul dari keseharian ibu-ibu mengatur lalu lintas sekolah. Namun, ternyata judul ini hanya gimik karena fokus ceritanya lebih luas dari pada itu. Well, thanks to that I got to watch such a fun and deep story.
Plot drama ini menceritakan bagaimana ibu-ibu ini “mengatur” pendidikan anak-anaknya yang duduk di sekolah dasar, diwarnai dengan konflik personal di antara para orang tua. Familiar dengan premis ini? Ya, saya juga langsung membayangkan drama SKY Castle yang ditayangkan di stasiun TV yang sama, JTBC, tahun 2018 lalu. Selain berbeda dari segi jenjang pendidikan, hal lain yang membedakan drama ini dari SKY Castle dari segi tema adalah kelas ekonomi keluarga yang lebih rendah, kisaran menengah ke atas. Mereka diceritakan tinggal di sebuah komplek apartemen di sebuah kawasan urban. Anak-anaknya bersekolah di sebuah SD negeri yang biasanya dipandang lebih rendah kualitasnya dibanding sekolah swasta.
Nampaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa kompetisi dalam pendidikan di Korea sangat ketat, bahkan sebagian hingga tahap ekstrem. Karena berada dalam kondisi yang tidak seberuntung tokoh-tokoh di SKY Castle yang bergelimang harta, ibu-ibu di Green Mothers Club bekerja lebih keras mendukung pendidikan anaknya dengan bimbel dan berbagai lomba yang bisa meningkatkan kualitas portofolio mereka. Mereka juga dengan setia mengantar jemput anak-anaknya ke setiap agenda yang sudah disusun dengan penuh perhitungan. Ketika suami-suami sibuk bekerja dan tahu beres dengan pendidikan anak-anaknya, para ibu dengan penuh ambisi bergerak seperti manajer mereka.
Pihak sekolah juga tak ketinggalan ikut berlomba-lomba dengan mengajari murid mereka materi satu-dua tahun di atas kelasnya. I know, it’s crazy right? Entah ini karena kebijakan sekolah itu sendiri yang mengupayakan sebanyak mungkin lulusan mereka diterima di SMP favorit agar reputasi terangkat, atau karena dorongan wali murid yang ingin mencicil materi, walau itu berarti melebihi kapasitas kognitif anak-anak mereka, atau merampas waktu bermain dan istirahat mereka. Walau sudah jelas tidak wajar, salah satu tokoh digambarkan rela pindah ke daerah ini agar bisa belajar di sekolah tersebut, sekaligus mengikuti berbagai program tambahan bersama anak-anak lainnya di luar sekolah dengan harapan nantinya bisa kuliah di universitas unggulan, mendapatkan pekerjaan yang berkelas, dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Pergerakan ibu-ibu dalam drama ini digambarkan sangat terorganisir. Mereka rutin bertemu untuk membicarakan perkembangan anak-anaknya, di mana harus bimbel, lomba apa yang perlu diikuti, buku paket mana yang harus dimiliki, bacaan apa yang harus dijadikan referensi, dll. Semua seakan sudah ada standarnya, walau itu semua tidak selalu gamblang disampaikan, melainkan lewat perbincangan sehari-hari yang terbatas dalam kelompok tertentu. Orang luar akan kesulitan untuk bisa masuk dalam komunitas mereka. Tidak hanya anak-anak yang harus beradaptasi, orang tuanya pun juga demikian.
Kesulitan dialami karakter utama kita, Lee Eun-Pyo yang baru saja pindah ke daerah tersebut dan tidak tahu apa-apa tentang bagaimana mengurus pendidikan anak-anaknya karena selama ini sibuk mengajar sebagai dosen. Awalnya ia sulit untuk berbaur karena ingin mendidik kedua putranya dengan biasa-biasa saja. Namun, ketika mencoba mencari teman ke komunitas ibu lain yang menjunjung tinggi kebahagiaan dan tumbuh kembang normal anak, ia justru ikut diajak membuat petisi dan berdemonstrasi untuk melawan arus mainstream. Eun-Pyo pun terjebak dalam dua kubu ekstrem.
Di luar itu, Eun-Pyo harus dipertemukan kembali dengan sahabat lamanya yang ia benci, juga suaminya yang merupakan mantan kekasih Eun-Pyo saat muda. Nantinya ia juga harus menghadapi berbagai skandal yang tumbuh dari rasa iri dengki di antara para ibu karena kesuksesan anak orang lain. Para suami juga akhirnya terlibat ketika masa lalu yang kelam perlahan terbongkar. Masalah menjadi semakin rumit ketika salah satu tokoh kita melakukan pekerjaan ilegal untuk membiayai pendidikan anaknya dan membuatnya terjerat kasus meninggalnya salah satu orang tua.
Saya rasa tidak akan cukup kata saya tuliskan untuk menjelaskan kompleksitas cerita dari Green Mothers Club yang tentunya lebih kaya dari apa yang telah saya jabarkan. Perlu diingat, drama ini tayang di kurun waktu bersamaan dengan dua mega drama lainnya, “My Liberation Notes” (JTBC) dan “Our Blues” (tvN). Standar pasar sudah cukup tinggi, dan fakta bahwa drama ini berhasil membuat saya jatuh hati sejak adegan pembuka hingga episode terakhir membuktikan kepiawaian penulis Shin Yi-Won merajut cerita yang rumit menjadi seru dan mudah dicerna meski ini kali pertamanya menulis untuk format layar kaca. Drama ini juga menjadi karya pertama Ra Ha-Na sebagai sutradara tunggal di kategori minidrama (16 episode). Walau dibuka dengan rating 2,5%, Green Mothers’ Club berhasil ditutup dengan rating 6% yang terbilang cukup tinggi di era sekarang.
Ada satu pertanyaan yang pasti akan muncul dalam benak kita setelah menonton drama ini: apakah benar perjuangan para ibu di Korea seekstrem itu? Meski tidak sedramatis penggambaran dalam cerita, menurut artikel dan jurnal ilmiah yang saya baca, para ibu di Korea memang seserius itu mengatur pendidikan anaknya. Banyak wanita Korea meninggalkan pekerjaan mereka setelah menikah untuk fokus pada pekerjaan rumah dan membesarkan anak. Tidak memiliki penghasilan dan karir yang konkret, akhirnya banyak dari mereka menjadikan kesuksesan anak sebagai kebanggaan dan harga dirinya. Ditambah akses mobilisasi sosial yang rendah, persaingan sejak fase pendidikan menjadi semakin sengit—walau kemudian menghasilkan generasi muda yang lebih memprioritaskan karir daripada pernikahan atau memiliki anak.
Saya rasa Green Mothers’ Club berhasil menangkap fenomena manager moms ini dengan baik, yang kemudian digambarkan dalam kelima karakter utama kita yang sangat berbeda karakter maupun latar belakangnya sehingga terlihat beragam spektrum ibu dalam menghadapi pendidikan anaknya. Pemilihan kalangan ekonomi menengah ke atas menjadikan drama ini lebih humble dan relatable bagi masyarakat Korea, sesuatu yang mungkin belum tercapai melalui SKY Castle.
Selain jadi lebih memahami isu pendidikan di Korea dan betapa krusialnya pendidikan dasar, lewat drama ini saya juga belajar atau lebih tepatnya berefleksi tentang betapa kompleksnya pertemanan para wanita. Nuansanya bisa berubah dari manis menjadi pahit secara tiba-tiba karena sifat alami wanita yang sensitif, atau bahkan keduanya hidup berdampingan untuk waktu yang lama hingga akhirnya pecah dan menodai pertemanan tersebut. Masalah personal antar-ibu bisa sangat mempengaruhi pendidikan dan kualitas sosial anak-anak mereka. Namun, saya juga belajar, meski anak-anak dapat menjadi buruk karena meniru orang tua mereka, hati mereka yang bersih dan tulus bisa merubah hati orang tuanya pula. Demi anak, orang tua bisa menjadi musuh atau teman dari orang tua lain.
Lalu pertanyaannya di sini: bisakah kita menjadi teman dari orang lain untuk diri kita sendiri?
Referensi:
- Kyunghee Shin, Kyung Eun Jahng & Dongjin Kim (2019) Stories of South Korean mothers’ education fever for their children’s education, Asia Pacific Journal of Education, 39:3, 338-356, DOI: 10.1080/02188791.2019.1607720
- Torres, Amairani (2020) Manager mothers and their impact on Korean society, Talk Talk Korea, diakses pada 6 Juni 2022 dari https://www.korea.net/TalkTalkKorea/Korean/community/community/CMN0000004547
0 comment