Goodbye, Summer
Juni 18, 2022"Summer"
Aku masih ingat, saat pertama kali menonton film “500 Days of Summer”, si narator membuka cerita dengan berkata:
“This is a story of boy meets girl, but you should know upfront, this is not a love story.”
Waktu itu aku masih SMP dan tidak paham apa maksud dari kalimat itu. Aku makin gagal paham lagi setelah menyimak jalan kisahnya. Terserah, lah. Jelas-jelas ini cerita cinta!
Ketidakpahaman terhadap pesan si narator tidak menghentikanku dari menyukai film ini dan menontonnya berkali-kali. Namun, aku baru menyadari arti sesungguhnya dari prolog tersebut setelah aku menemukan dia, Summer-ku.
Haha, ironis. Aku tersenyum getir sambil memandang langit Jakarta yang masih berwarna jingga. Matahari sore ini terbenam dengan lambat dan aku bersyukur karenanya. Izinkan aku mengenang dia sedikit lebih lama.
Kutambahkan satu lagu lagi dalam playlist-ku: Jannabi - “For Lovers Who Hesitates”
Ingat bagaimana plot “500 Days of Summer” melompat-lompat secara acak selama rentang 500 hari? Belakangan aku baru sadar, sebenarnya babak pertama film ini dipenuhi dengan kenangan-kenangan indah yang Tom miliki tentang Summer. Aku pun demikian, begitu mengagumi sosoknya yang baik, menawan, pintar, berdedikasi, taat agama, dan sebutkan sifat-sifat mantu idaman lainnya, sepertinya aku akan selalu punya argumen untuk membenarkannya.
Namun, betapa bodohnya manusia, mudah terjebak dalam pemikirannya sendiri. Tanpa ia sadari, Tom sebenarnya mengabaikan hal-hal yang tidak ia sukai tentang Summer. Rasa cintanya terhadap Summer sebenarnya dibangun atas fantasinya terhadap sosok “the one”, alih-alih sosok Summer itu sendiri.
Aku lebih buruk. Karena malu dan berdalih “takut kebablasan”, aku justru menarik diri darinya, menghindari interaksi kecuali untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab. Aku gagal untuk bahkan sekadar memposisikan diri sebagai teman. Imbasnya, tak hanya interaksi kami terputus setelah berpisah, tetapi juga pada akhirnya aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya. Yang aku kagumi bukan dia, tetapi sosok yang kubangun dari imajinasiku terhadapnya.
Sudahlah tepat patah hati ini. Aku pun tidak akan sudi membiarkanku dicintai dengan cara seperti itu. Aku terlalu fokus pada pertanyaan, “Apakah ia menyukaiku?” dan lupa untuk mempertimbangkan: “Sosok seperti apa yang ia sukai?” Ternyata aku tidak pernah benar-benar menempatkannya sebagai subyek, sosok yang hidup, memiliki perasaan, dan punya pilihan. Mengapa tidak pernah terbayangkan, bahwa ia juga mungkin sepertiku, sedang memupuk rasa untuk seseorang entah itu siapa, yang ia yakini bisa melengkapi kehidupannya.
Aku menangis lagi. Kurasa ini baru pertama kalinya aku benar-benar berusaha untuk memahami dia. What a bad lover. Sambil menghapus air mata, kuberikan hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya, ku panjatkan sebuah doa: Semoga kau sukses dengan perjuangan cintamu di sana.
Langit mulai gelap. Aku turun dari busway, berbegegas keluar dari halte untuk menaiki angkot merah di seberang jalan yang akan membawaku pulang. Di dalam angkot, aku mengatur playlist-ku yang hanya berisi dua lagu itu dalam mode repeat.
Sejak pertama kali aku mendengarnya, aku sudah tahu bahwa kedua lagu itu akan menjadi lagu kebangsaanku kelak bila dilanda patah hati. Aku tidak peduli dengan keramaian jalanan yang macet, atau earphone-ku yang murahan dan bersuara aneh. Kubiarkan saja dua lagu itu mengalun berkali-kali hingga aku bosan mendengarnya, berharap aku juga akhirnya bosan dengan perasaan ini. Meski rasanya mustahil.
Tom pun butuh waktu lama untuk bisa berdamai dengan perasaannya kepada Summer. Jadi, untuk sekarang, biarkan aku bersedih. Namun, aku tidak menyesal. Aku mungkin belum mencintai dengan baik, tetapi aku belajar banyak. Seperti Tom yang akhirnya tergerak untuk mengejar impiannya lagi, kuharap aku bisa menemukan kembali hal yang berharga dalam diriku. Barangkali, setelah aku paham cara mencintai diriku sendiri, aku akan mampu untuk mencintai orang lain dengan lebih baik lagi.
0 comment