[REINTERPRETASI] Blog Saya
Maret 18, 2018
Wawancara Melon dengan DEAN pada
video di atas merupakan inspirasi saya dalam menulis entri ini. Setahun
belakangan, saya memilki kekhawatiran serupa yang DEAN paparkan dalam
wawancara. Saya benci menemukan diri saya berlama-lama di Instagram, tanpa
tujuan pasti. Saya benci menemukan diri saya secara berkala mengecek jumlah
like dan bersedih ketika angkanya tak lagi bertambah. Saya benci ketika saya
merasa lebih rendah dibanding orang lain yang saya lihat foto-fotonya di Instagram.
Kebiasaan ini juga muncul
ketika saya mengelola blog. Lebih-lebih karena blog ini sudah lebih dulu ada
dibanding akun Instagram saya, saya menemukan bahwa ternyata kebiasaan ini
sudah ada sejak delapan tahun lalu. Awal saya memulai blog adalah untuk
mengikuti trend kala itu, yaitu mengelola blog. Blog perlahan mulai jadi media
pelarian saya yang di dunia nyata adalah seorang pemalu. Begitu nyaman dengan
kegiatan mengelola blog, saya mulai memperhatikan jumlah view dan melakukan
upaya-upaya untuk menambah jumlahnya, mulai dari publikasi ke sana sini,
memperbaiki tema tampilan blog, sampai memilih konten dan judul yang menarik.
Meski saya sempat nyaris vakum selama kuliah, mindset saya tetap seperti
ini dan bertambah parah setelah saya mulai memiliki akun Instagram. Media
sosial yang seharusnya menjadi sarana seseorang menunjukkan orisinalitasnya di
satu sisi malah mendorong para penggunanya memenuhi tuntutan trend demi
mendapatkan apresiasi dan perhatian.
Butuh sekitar empat+tiga tahun
bagi saya untuk menyadari dan melakukan tindakan terhadap fenomena yang terjadi
di diri saya ini. Merasa lelah dan ingin mentas dari problem ini, saya mencoba
mengurai diri saya dari hal-hal yang paling mendasar: “Jadi sebenarnya saya punya
blog ini buat apa? Buat siapa?”
DEAN: ALBUM UNTUK DIRI SAYA
SENDIRI, ALBUM YANG AKAN MENGHIBUR SAYA
Pertama, manusia punya akal,
dia memproses informasi, lalu muncul output. Dalam memproses informasi, tujuh
semester yang sudah saya lalui di kampus arsitektur memberitahu saya bahwa menulis
merupakan metode terbaik saya untuk melakukan hal tersebut. Beberapa makalah
yang saya buat untuk tugas kuliah mendapat apresiasi yang baik dari dosen, bahkan
lebih baik daripada tugas-tugas studio saya. Wkwk. Dengan menulis, saya punya
kontrol lebih baik terhadap topik yang ingin saya dalami sehingga bisa
menghasilkan output yang lebih komprehensif.
Terkait output, beberapa orang
lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Namun, saya merasa saya punya kewajiban
untuk berbagi. Sebagaimana dalam Islam, tuntasnya ilmu yang dimiliki oleh
seseorang adalah ketika ia dapat mengaktualisasikan ilmu tersebut dan
membagikannya kepada orang lain. Nah, sampai di sini, ada tembok tipis yang
membedakan keinginan berbagi dengan keinginan pamer. Astaghfirullah. Meski niat
awal adalah berbagi, tidak jarang saya menemukan diri saya perlahan memberikan
perhatian lebih terhadap bagaimana orang lain akan membangun persepsi mengenai
saya lewat tulisan saya. Masuk ke tahap ini, saya akan kembali terjebak dalam
fenomena ini lagi, sementara belum tentu pesan yang saya maksud bisa tersampaikan
dengan baik.
Pada akhirnya, saya meluruskan
niat untuk menulis demi diri saya sendiri. Terdengar selfish memang, tapi saya
rasa lebih aman daripada harus “tersesat” lagi. Maka, blog ini akan menjadi
sebuah catatan untuk diri saya sendiri, untuk merangkum pemikiran dan
pengalaman yang saya dapat, sarana bertutur yang jujur, sarana analasis, untuk
memastikan segala hal yang saya alami ada hikmahnya. Dengan kata lain blog ini
adalah media syukur saya. Blog ini juga menjadi media kontrol saya terhadap
informasi apa yang sebaiknya saya konsumsi setiap harinya. Singkat kata, blog
yang membantu saya berdiri tegak menghadapi berbagai macam tantangan dalam
hidup.
Nah, terakhir, kalau ada orang
yang mau baca dan belajar darinya, ya saya alhamdulillah aja deh. Nah,
kalau ada yang menganggap negatif tulisan saya, ya terserah deh. Yang jelas
saya tidak berniat begitu. Kalau ada pendapat lain, lebih baik disampaikan di komen. Aku akan senang kalau diajak diskusi :)
(Kuharap blogger mengembangkan fitur untuk menyembunyikan
view number di dashboard pengguna, seperti yang dimiliki YouTube)
EPILOG
Saya menyadari bahwa tidak ada
yang final dari proses ini, sebagaimana saya masih berkembang dan punya banyak
sifat dan kebiasaan buruk yang harus diubah. Di masa depan, bisa jadi saya
punya mindset yang jauh berbeda. Bisa jadi saya yang di masa depan akan
menganggap tulisan saya yang sekarang sebagai total crap.
Namun, manusia akan
terombang-ambing kalau tidak bisa membuat keputusan dan punya pendirian. Maka,
biarlah saya dengan segala pengetahuan dan kemampuan saya sekarang menulis apa
yang menjadi keputusan saya saat ini. Biarlah saya menyesalinya kelak bila
memang saya bersalah. Biarlah saya belajar dan berupaya menjadi lebih baik
sehingga saya yang di masa depan dapat tersenyum melihat seberapa jauh saya
telah berkembang.
Ditulis sejak Februari 2018
6 comment
Sip!
BalasHapusmatur thank u sudah mampir :)
HapusNice fi. Ku selalu suka sm penggunaan diksimu. Benar. Beda tipis antara ingin berdakwah sama pamer, terkadang niat kita ternodai sm pikiran yg seolah mau pamer. Tp insyaAllah kalau kita menyadari, itu akan lbh baik. Dan lagi, ku setuju banget kalau blog tuh memang sarana yang pas buat ngliat perkembangan diri. Smangattt Ufiii!!!
BalasHapuswah, makasih banyak re sudah baca dan menanggapi. ya, semoga dengan sadar, kita bisa menghindarinya dengan lebih baik. semangat juga rere ^^
HapusHalo Ufi, aku Ijah Arsitektur UGM 2011. Tau blog kamu dari IGnya Pak Mario. Jarang-jarang anak arsitektur jago nulis gini. Kutunggu tulisan selanjutnyaa. Salam kenal :)
BalasHapusHai Mbak Ijah. Salam kenal. Saya sudah cukup kaget tulisan saya dibaca pak Mario, eh malah ada kakak tingkat yang ikutan mampir. Terima kasih banyak, mbak, atas feedbacknya. Saya habis mampir blog mbak juga. Semangat dengan instagramnya ya mbak!
Hapus