[BOOK REVIEW] Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015)
Maret 30, 2018
Judul: “Krisis dan
Paradoks Film Indonesia”
Penulis: Garin Nugroho & Dyna Herlina S.
Penulis: Garin Nugroho & Dyna Herlina S.
Genre: Nonfiksi
Desain sampul: Wiko Haripahargio
Desain sampul: Wiko Haripahargio
Editor: Zaki
Habibi
Jumlah halaman: 352 halaman
Tahun terbit: 2015
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Penerbit
Buku Kompas, Jakarta
Pertemuan saya dengan buku
terjadi di sebuah event cuci gudang Kompas Yogyakarta bulan Februari lalu. Saya
memang punya ketertarikan terhadap film, terutama film-film dalam negeri. Meski
sempat ragu karena buku ini diobral dengan harga yang sangat murah
(Rp10.000,00), nama Garin Nugroho yang terkenal sebagai kritikus dan pelaku
film nasional dan rasa penasaran saya terhadap perjalanan film Indonesia
mendorong saya membawa pulang buku ini ke kosan.
Membaca buku ini tak ubahnya
membaca ringkasan sejarah Indonesia. Garin dan Dyna mencoba menunjukkan
bagaimana kekuasaan politik, pertukaran budaya, dan kemajuan teknologi
mempengaruhi produk sinema di Indonesia. Saya yang selama ini mengandalalkan
pengetahuan sejarah bangsa dari penuturan guru dan buku paket selama SD hingga
SMA menjadi lebih paham setelah membaca buku ini. Dengan menggunakan pendekatan
film dan budaya, rangkaian peristiwa sejarah di otak saya yang tadinya hanya
berupa angka-angka tanggal mulai terajut membentuk rangkaian cerita yang utuh.
Mengetahui bagaimana film
berkembang selama masa penjajahan dan pasca kemerdekaan, saya jadi punya
perspektif baru dalam memandang kehidupan di masa itu. Penjajahan tak melulu
persoalan eksploitasi sebagaimana pemerintah Hindia Belanda jugalah yang
membangun sarana dan menghadirkan film ke Indonesia sebagai hiburan bagi
masyarakat pribumi (meski kontennya dikontrol dan disensor di sana sini untuk membentuk
persepsi penonton terhadap pemerintah). Fenomena inilah yang kemudian disematkan
Garin dan Dyna dalam judul buku ini, “paradoks”. Sampai di titik ini, saya
merasa hidup di zaman penjajahan kayaknya gak buruk-buruk amat. Di
tengah-tengah kegiatan sebagai aktivis kemerdekaan misalnya, sepertinya saya
masih bisa nonton film dan “fangirling” satu atau dua aktor kenamaan kala itu.
Fenomena kontrol film melalui
sensor terus berlangsung dan terasa sangat signifikan pengaruhnya hingga masa orde
baru. Tujuannya sama-sama untuk membentuk persepsi penonton terhadap
pemerintah. Di sini terlihat begitu kuatnya pengaruh film terhadap masyarakat
hingga pemerintah bertindak sangat ketat terhadap setiap film yang dibuat kala
itu, bahkan hingga membatasi asosiasi-asosiasi pekerja film yang boleh berdiri.
Selain menjadi cerminan budaya, film juga menjadi media propaganda yang memenangkan
mereka yang punya kuasa. Setidaknya itu sebelum arus globalisasi semakin lancar
masuk ke Indonesia, terutama dengan adanya internet.
Dijelaskan oleh Garin dan
Dyna, kini industri film Indonesia bergerak mandiri tanpa peran pemerintah.
Lebih karena pemerintah sudah tidak mampu mengatur lagi sepertinya. Berbagai
macam paham, kultur, dan informasi dapat diakses dengan sangat mudah dan
arusnya hampir tidak bisa dibendung. Produksi film menjadi sangat bebas dan
sangat progresif. Namun, mengingat kekuatan pengaruh film yang begitu kuat
terhadap penontonnya, kini setiap pekerja filmlah yang harus mengontrol dirinya
sendiri. Kelestarian budaya dan perkembangan wawasan nasional masyarakat
Indonesia di masa mendatang sedikit banyak ada di tangan produsen film.
Yang saya sampaikan sejauh ini
hanya garis besar buku ini. Di samping itu, banyak sekali detail-detail di buku
ini yang merubah persepsi, atau mungkin menjelaskan beberapa hal dalam hidupmu.
Misalnya, saya ingat betul poster-poster film bertema seks yang saya lihat
setiap hari saat berangkat sekolah waktu SD (2002-2008), yang dipasang di fasad
bioskop Magelang Tidar, bioskop yang kursi penontonnya bolong-bolong, apek, dan
bau clurut. Di bab “Krisis di Tengah Globalisasi (1985-1998)”, saya baru paham
bahwa apa yang saya lihat beberapa belas tahun lalu adalah sisa-sisa efek
masuknya filmnya barat dalam jumlah sangat besar di masa itu, menggeser film
nasional dan merugikan bioskop-bioskop lokal yang tidak mampu membayar sewa
roll film barat tersebut. Akhirnya bioskop-bioskop lokal macam Magelang Tidar (MT)
ini mengandalkan film bertema seks yang diproduksi secara serampangan dengan
harga murah untuk menyambung hidupnya. Alhamdulillah, di tengah kenyataan pahit
ini, saya masih punya kenangan indah menonton “Laskar Pelangi” di bioskop ini,
sebelum akhirnya MT tutup juga di tahun 2011.
Menganalisis film dengan cara
seperti ini membuat film terasa sangat dekat dengan diri saya. Mungkin itu juga
yang dirasakan Garin saat menulis buku ini. Ia mulai lebih subjektif ketika pembahasan
mulai masuk era orde baru, era di mana Garin tumbuh. Ia menuturkan beberapa
fenomena industri film yang ia alami semasa kecil, tampaknya sangat membekas
hingga samar-samar ia tuangkan pengalaman tersebut dalam film “Aach… Aku Jatuh
Cinta” (2016). Semakin ke belakang, objektifitas kepenulisan semakin mengabur
seiring Garin masuk lebih dalam di industri film dan menjadi pelaku film itu
sendiri. Paradoks yang begitu kuat di awal juga turut mengabur. Dyna yang juga dalam
posisi serupa tampaknya belum bisa menyelematkan tiga bab terakhir buku ini.
Selain kaburnya objektivitas,
buku ini juga memiliki kekurangan dalam hal sistematika penulisan. Kedua
penulis belum konsisten dengan pembagian bahasan berdasar rentang masa tertentu
yang mereka buat sendiri. Beberapa penjelasan melompat dari batasan era dan
beberapa topik dijelaskan berulang-ulang dengan informasi yang tidak jauh
berbeda. Membaca buku ini, kalau tidak benar-benar ingin tahu, mungkin tidak
akan pernah selesai karena terganggu dengan dua hal tersebut.
Alhamdulillah, saya
menyempatkan membaca kata pengantar dari Garin dan Dyna sebelum saya menulis
ulasan ini. Di situ mereka mengakui kekurangan-kekurangan tersebut dan bahkan
sempat mengurungkan diri untuk menerbitkan buku ini. Namun, menilik lagi niatan
Garin dan Dyna saat menulis buku ini, menurut saya mereka berdua telah
berhasil:
“Sekecil apa pun andil dari penulisan ini akan memperkaya khazanah dan perspektif dalam melihat perjalanan film Indonesia serta menjadi ruang dialog baru terkait film Indonesia.”
Magelang, 30 Maret 2018
Pas hari film nasional
1 comment
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus