[Book Review] The Book of Forbidden Feelings (2016) - Beyond Negative
Februari 08, 2018
Judul: “The Book of Forbidden Feelings”
Genre: Fiksi
Penulis Teks & Ilustrasi: Lala Bohang
Layout: Natasha Tontey
Editor: Siska Yunita
Jumlah halaman: 152 halaman
Dicetak pertama kali pada 2016
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Genre: Fiksi
Penulis Teks & Ilustrasi: Lala Bohang
Layout: Natasha Tontey
Editor: Siska Yunita
Jumlah halaman: 152 halaman
Dicetak pertama kali pada 2016
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
AT FIRST, IT IS CONFUSING
Lala Bohang adalah satu dari
segelintir penulis dan seniman Indonesia yang merilis buku dalam bentuk illustrated poetry, sebuah format yang
jarang diproduksi di Indonesia, meski belakangan frekuensinya sedang tinggi-tingginya.
Oleh karena itu, melihat karya ini mampang di toko buku sebenarnya sebuah
pemandangan yang sangat fresh.
You're the kind of love that I always avoid.
I can see all the scars
from your past
relationships, also bits
of rough childhood all
over you brown skin.
When we're holding
hands, it feels like sitting alone
in a cinema watching all of it
all of your past girlfriends holding your hands.
“The Book of Forbidden Feelings”, hlm. 13
“The Book of Forbidden Feelings”, hlm. 13 |
Mengatamkan buku ini
sebenarnya membuat saya kebingungan lagi karena alih-alih merasa takut seperti
di awal, saya justru merasa tercerahkan. Metode penulisan Lala berubah dari
deskripsi destruktif tentang hubungan percintaan, pertemanan, dan rutinitas
menjadi penjabaran mengenai perasaan-perasaan yang terkait dengannya. Lala juga
menambahkan kadar positif ke dalam puisi-puisinya, membuatnya menjadi lebih
hangat.
I'm as weak as you are.
Still keeping emails,
messages, and hand
written notes from all
of my ex-lovers. I'm as
weak as you
are but also
as strong as you are.
I keep on living.
“The Book of Forbidden Feelings”, hlm.58
“The Book of Forbidden Feelings”, hlm. 58 |
Lala menutup bukunya dengan
bahasan mengenai “nothing” yang
lagi-lagi membuat saya bingung karena tidak menemukan keterkaitan bahasan ini dengan
bahasan-bahasan sebelumnya. Begitu tiba di halaman terakhir dan merasa puzzled membaca statement “THIS IS NOT A
MOTIVATIONAL BOOK”, saya buru-buru membaca ulang pengantar dari Mia Maria
dan akhirnya menemukan benang merah dari seluruh isi buku ini.
BEYOND NEGATIVE
Bagi saya, “The Book of
Forbidden Feelings” tak ubahnya rekam jejak perkembangan diri Lala Bohang
sebagai seorang manusia. Mia Maria menuliskan dalam pengantarnya, “The freedom came when fear is understood and
overcome,” selayaknya Lala yang menuliskan dan menggambarkan ketakutan- ketakutannya
dan berdamai dengannya. Dalam sudut pandang Lala, manusia tidak seharusnya
memaksa dirinya untuk selalu dalam keadaan baik dan menuntut kesempurnaan.
Sudah menjadi fitrahnya manusia untuk berada dalam dualisme ini; baik dan
buruk, senang dan sedih. Kita bukan Tuhan. Maka dari itu, it’s okay to be not okay, as it is part of us.
Dari lalabohang.com:
“The Book of Forbidden Feelings” is a mixture of genuine and unapologetic feelings, thoughts, and emotions through text and drawing medium. Where good and bad, happiness and sadness, positivity and negativity, black and white standing side by side and befriend with each other. Not necessarily pessimistic or optimistic, and sometimes speaking not in a crystal clear manner but hopefully something you can relate to.
“The Book of Forbidden Feelings”, hlm. 28 |
Yang lebih menarik dari ini
semua adalah bahasan mengenai “nothing”.
Dalam interpretasi saya, mengurai ketakutan dan keresahan mengantarkan kita
pada persoalan yang lebih besar, “Apakah hidup benar-benar hanya untuk meratapi
mantan pacar dan kawan palsu?” “Nothing”
yang disebut Lala di buku ini bagi saya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita
sebut sebagai hakikat kehidupan.
Begitu kita tiba pada “nothing”,
kita seakan mendapat kacamata baru
dalam melihat hal-hal di sekeliling kita sebagaimana hakikat kehidupan menjadi
pedoman dan tolak ukur kita dalam melakukan segala hal, termasuk dalam
memandang ketakutan-ketakutan kita. Lala menuliskan dalam bukunya,
Let’s talk about nothing. Nothing is not nothing at all. There are so many things in nothing. More important than any important things you have learned all your life. Nothing is the most beautiful thing in the world because in nothing the possibility is endless. Everything is nothing and nothing is everything. Nothing is zero and empty. From zero you can become one hundred and be back to zero again.“The Book of Forbidden Feelings”, hlm. 136
Menemukan “nothing” adalah
sebuah loncatan. “Nothing” muncul begitu saja seketika ketakutan diurai. It’s a
completely greater thing compared to our fears. Maka tak heran jika bahasan “nothing”
seakan tidak berhubungan dengan ketakutan-ketakutan kita, as they are now “nothing”. (Oh, Lala Bohang, mengapa kamu sangat
pintar mempermainkan kata?)
EPILOG: “THIS IS NOT A
MOTIVATIONAL BOOK”
“The Book of Forbidden Feelings”, halaman terkahir |
Kembali ke halaman terakhir
buku ini tempat Lala menegaskan sesuatu, “THIS
IS NOT A MOTIVATIONAL BOOK”, saya jadi ingin ngekek karena saya sempat
berpikir sebaliknya. Sampai pada titik ini, “The Book of Forbidden Feelings”
lebih seperti catatan penting yang dibuat Lala untuk dirinya sendiri, kindly shared to us, walau dengan
malu-malu. Meski banyak disalahpahami sebagai buku yang ditujukan untuk membuat
pembacanya bunuh diri, buku ini sebenarnya mengajak kita berdamai dengan
ketakutan kita dan mungkin mengantar kita pada hal-hal yang lebih penting dalam
hidup, as she stated, “This book is meant
to be a good friend, the one you can keep by your side, the one you can be
honest with.”
Yogyakarta, 8 Februari 2018
Sambil mengucap hamdalah karena besok bukunya sudah bisa dikembalikan
0 comment