[BOOK REVIEW] Happy Little Soul (2017) – Perfectly Imperfect Mother
Mei 16, 2018Hipwee Community |
Judul: “Happy Little Soul”
Penulis: Retno Hening Palupi
Penulis: Retno Hening Palupi
Genre: Nonfiksi (Keluarga)
Editor: Tesara Rafiantika
Editor: Tesara Rafiantika
Jumlah halaman: 202 halaman
Tahun terbit: 2017Penerbit: Gagas Media, Jakarta
Tahun terbit: 2017Penerbit: Gagas Media, Jakarta
Bukankah Kirana sangat menggemaskan?
Sebagai follower akun instagram @retnohening selama dua tahun belakangan, senang
rasanya ketika si Ibuk hendak menerbitkan sebuah buku bertajuk “Happy Little
Soul”. Saya penasaran bagaimana si ibuk mengajarkan berbagai keterampilan pada
Kirana, dari berbahasa, berhitung, hingga bersikap. Bagaimana tidak? Selain
ceria, Kirana juga menunjukkan kemampuan intelektual di atas rata-rata anak
seusianya.
Dengan harapan rasa penasaran saya
akan terjawab, saya belilah buku ini. Ia ini dibuka dengan ucapan terima kasih
dari Ibuk kepada ibunya Ibuk yang telah banyak menginspirasinya, juga pada
suami, keluarga, penerbit, dan tak ketinggalan, tentunya sebuah ucapan untuk
Kirana;
“Mayesa Hafsah Kirana, anak pertamaku yang ibuk sayangi, karena Kirana jugalah Ibuk bisa menulis buku ini. Karena Kirana, banyak yang percaya bahwa Ibuk adalah ibu yang menginspirasi. Padahal, jika dilihat lebih dekat lagi, Kirana tahu, Ibuk masih sangat banyak kekurangan dan masih harus banyak sekali belajar. Terima kasih Kirana. Kirana yang mengajarkan Ibuk kesabaran, kekuatan, ketidakegoisan, dan kebahagiaan yang sederhana. Terima kasih, Nak.”
Di kantin kampus, sambil menyantap
semangkuk soto, saya hampir menitikkan air mata membaca paragraf tersebut. Saya
merasakan ketulusan yang tidak saya rasakan selama mengikuti akun @retnohening.
Rasa tersebut terjelaskan pada
tulisan-tulisan setelahnya. Saya belajar bagaimana perjuangan Ibuk mendapatkan
Kirana, dari keguguran hingga persalinan tanpa dihadiri suami (yang sudah mulai
kerja di Muscat dan ternyata Kirana lahir lebih cepat dibanding perkiraan).
Meskipun saya punya beberapa pengalaman mengurus dan membimbing yang lebih
muda, memiliki anak jelas merupakan hal yang berbeda secara mereka keluar
langsung dari badanmu sendiri.
Saya juga terharu saat Ibuk membahas
tentang dermatitis atopi atau eksim yang diidap oleh Kirana. Follower
akun @retnohening mungkin sudah biasa mendengar tentang ini dan melihat sendiri
ruam-ruam di kulit Kirana. Namun, saya sendiri tidak pernah tahu betapa
sedihnya Ibuk melihat hal itu, betapa ia mengusahakan segala hal dan juga telah
mengorbankan banyak hal pula dari waktu tidurnya hingga rasa ibanya ketika
Kirana tidak bisa memakan setiap makanan yang ia inginkan. Beberapa kali pula
beliau ceritakan ia marah dan hilang kendali ketika mengalami tekanan tinggi
ditambah Kirana yang sedang tidak mau menurut.
Namun, namanya bukan Ibuk dan Kirana
kalau melalui itu semua dengan terus bersedih. Pemberian judul “Happy Little
Soul” bukan tanpa alasan. Tampaknya Ibuk ingin mengajarkan bahwa di atas segala
ujian yang Allah berikan, yang lebih penting adalah bagaimana sikap kita
terhadapnya. Menanamkan mindset “It’s OK, I am special” pada Kirana yang masih
balita tentunya merupakan hal yang sangat positif dalam menyikapi eksim yang
diidapnya. Yang saya lihat, Ibuk mencurahkan banyak perhatian dan menghadirkan
opsi-opsi pada Kirana sehingga ia tidak merasa hidup dalam keterbatasan.
Satu hal lain yang saya pelajari dari
Ibuk adalah bagaimana ia membangun komunikasi dengan Kirana. Sejak masa
kandungan, Ibuk sudah mulai mengajak Kirana bicara dan memperdengarkan Kirana
doa-doa atau ayat al-Qur’an dengan keyakinan Kirana mampu mendengarnya dan
berharap kelak Kirana akan lebih cepat memahami bahasa manusia. Dengan
keyakinan yang sama, ia terapkan hal tersebut ketika Kirana sudah lahir. Salut
saya ketika Ibuk mengusahakan untuk tidak mencadel-cadelkan bicaranya supaya
Kirana memahami bagaimana pelafalan kata yang benar (how could you not,
babies are cute!). Makanya gak heran ya kalau Kirana pandai berbicara. Karena komunikasi yang dibangun lebih awal dan lebih intens ini pula hubungan di antara keduanya jadi sangat dekat. Nah, itu baru satu hal. Masih banyak lagi hal yang beliau bagi di buku ini: dari
permainan anak, resep masakan, hingga tips pemanfaatan gadget dalam pola
pengasuhan anak (waini).
Yang saya sangat senangi dari sosok
Ibuk juga adalah bahwa beliau dengan penuh kesadaran berikhtiar dan menyerahkan
segalanya pada Allah SWT. Bahkan secara gamblang menuliskan harapannya bagi
Kirana untuk menjadi anak yang sholehah dan menjadi "tabungan" bagi dirinya dan
suami di akhirat kelak. Hal ini berujung pada tujuan dan metode pengasuhan anak yang merujuk pada kaidah Islam. Untuk saya yang belum pernah mempelajari parenting
sama sekali, membaca buku ini menjadi starter positif bagi saya untuk embracing
peran saya sebagai ibu muslim di masa depan. (Aduh, serius banget yak, wkwk)
Tapi beneran sih. Setelah baca buku
ini, saya jadi lebih tertarik pada parenting. Saya mulai pertimbangan juga
tentang laki-laki seperti apa yang nanti bakal jadi suami saya. Dari yang saya baca
di buku ini, kesepakatan antara suami dan istri dalam mengasuh anak juga sangat
penting. Kemistri dalam hal urusan rumah juga penting, ‘cause as you guys
might have know menjadi ibu rumah tangga tidak bisa dianggap sepele, as
it requires a lot of work too.
Saya teringat ucapan salah seorang
sahabat saya, “Peran sebagai ibu gak bisa kita pelajari nanti saat kita sudah jadi
ibu. Saat kita udah berhadapan dengan anak kita nanti, udah hampir gak ada
waktu untuk belajar lagi.” Ibuk sendiri punya pengalaman menjadi pengajar di
sebuah preschool selama beberapa bulan sebelum akhirnya menikah. Dari
pengalaman itu pun, Ibuk mengaku masih memiliki banyak kekurangan dalam
membesarkan Kirana. Lha gimana saya, belum tahu apa-apa, tapi sudah ngimpi
ingin berkeluarga. Wkwk.
Apakah Ibuk Retno Hening adalah sosok
ibu yang sempurna? Well, selama membaca buku ini beberapa kali saya merasa
kecewa (?) mengetahui sisi lain Ibuk yang tidak saya lihat di Instagram. Lucu
sebenarnya karena kekecewaan tersebut timbul karena ekspektasi yang saya
ciptakan sendiri. Jelas sekali bahwa setiap manusia menerima kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Bukan hal yang keliru pula bagi Ibuk untuk tidak
membagikan segala hal di media sosial.
Respons semacam yang saya alami ini
sesungguhnya sudah diantisipasi oleh Ibuk. Dituliskan sendiri oleh Ibuk di awal
buku ini,
“Saya berterima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayang untuk saya dan Kirana. Namun, ada rasa cemas di hati saya, betapa pujian yang saya dapatkan membuat saya takut, takut saya menjadi sombong, takut apa yang disangkakan tidka sesuai dengan diri saya, sehingga banyak orang kecewa…”“Saya bukan ahli, saya hanya ibu rumah tangga, yang masih belajar. Ambillah kebaikan yang ada dalam buku ini, dan buanglah apa yang dirasa buruk. Saya meminta maaf jika ada kesalahan yang saya tulis. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang banyak. Aamiin.”
Aamiin.
_________
P.S.
Saya suka sekali dengan ilustrasi-ilustrasi
yang dibuat. Saya jadi merasa lebih dekat dengan Ibuk dan Kirana selama membaca buku ini. Terlepas dari itu, sayang, buku ini tidak disertai lembar daftar isi, sehingga saya agak kesulitan
saat hendak membaca ulang topik tertentu. Kemudian, ada beberapa topik kecil
yang diceritakan beberapa kali tanpa penambahan informasi yang berarti. Kalau
Ibuk, editor, dan penerbit ada rencana memproduksi buku lagi, hal seperti ini
mungkin sebaiknya dikurangi saja.
I enjoyed the book. Terima kasih ^^
Salam hangat untuk Ibuk, Ayah, Kirana, dan Rumaysaa di Muscat~
Selesai
ditulis pada 16 Mei 2018
Sambil membayangkan wajah ibuku di rumah
0 comment