[Movie Review] The Greatest Showman (2017)
Januari 13, 2018
[Warning]
It will be a huge spoiler to read this review if you haven't got the chance to watch the movie.
Taken from IMDb:
Orphaned, penniless but ambitious and with a mind crammed with imagination and fresh ideas, the American Phineas Taylor Barnum will always be remembered as the man with the gift to effortlessly blur the line between reality and fiction. Thirsty for innovation and hungry for success, the son of a tailor will manage to open a wax museum but will soon shift focus to the unique and peculiar, introducing extraordinary, never-seen-before live acts on the circus stage. Some will call Barnum's wide collection of oddities, a freak show; however, when the obsessed for cheers and respectability showman gambles everything on the opera singer Jenny Lind to appeal to a high-brow audience, he will somehow lose sight of the most important aspect of his life: his family. Will Barnum risk it all to be accepted? - Written by Nick Riganas
GENRE : Drama,
Musical & Performing Arts
DIRECTOR : Michael Gracey
WRITER : Jenny Bicks, Bill Condon
RELEASE DATE :
wide
RUNTIME :
STUDIO : 20th Century Fox
MAIN CAST : Hugh Jackman, Michelle Williams,
Zac Efron, Zendaya, Rebecca Ferguson.
.,.
I managed to watch the movie last Tuesday, bersama adikku (IG: @razizah) dan teman KKNku, Dida (IG: @dida.khalida). I definitely rushed to the cinema after having my Maghrib prayer. (Damn, I really don't like how they set movie schedule close to Maghrib praying time). Alhamdulillah, sampai di bioskop sebelum filmnya dimulai.
Saya sebenarnya sangat mengantisipasi film ini setelah melihat trailernya diputar di bioskop (sembari menunggu film "Wonders" dimulai). Dengan audio yang mantap, trailer ini berhasil membuat saya berpikir, "Oke, fixed nonton."
BEAUTIFUL OPENING
I'm not kidding. Film dibuka dengan lagu "The Greatest Show" di mana Hugh Jackman sebagai P.T. Barnum menyanyi dan menari diiringi hentakan kaki-kaki penonton yang duduk di tribun sirkus. Dengan permainan lighting, dipadukan dengan beat lagu dan koreografi, pembuka ini berhasil mencuri perhatian penonton. Lebih-lebih ketika pemain sirkus bermunculan, turut menari, and then, a twist, turned out semua itu hanya mimpi si Barnum muda.
Scene-scene selanjutnya yang menceritakan perjuangan hidup dan cinta si Barnum muda hingga dewasa disajikan super duper musikal, which was kind a surprise to see it that early. Yet, it was very beautiful, permainan transisi shot, scene, dan gestur tokoh harmonis dengan musik yang melatar belakanginya. Bagaimana batas antara "regular scene" dan "musical scene" melebur dan keduanya menjadi sebuah kesatuan menghasilkan flow cerita yang smooth dan menarik.
Scene-scene musikal pada bagian pembukaan juga punya simbolisasi bagus, misal saat Barnum dan Charity dewasa menari di atas rooftop. Charity yang meloncat ke sana ke mari di tepi rooftop tanpa rasa takut terjatuh menunjukkan rasa cinta dan kepercayaan Charity pada Barnum yang begitu besar. How they managed dance dangerously till the end, showed just how strong their love to each other that they're not affraid to take risk as long as they are together.
Pada poin ini, saya beneran pengen ngeploki art director, production design, screenplay writer, atau siapa pun mereka yang membuat gulungan kain yang dibawa Barnum muda jatuh dan menggulung terbuka di depan teras rumah ketika ia melihat Charity pergi untuk sekolah di asrama, dan siapa pun yang membuat jemuran di rooftop tertiup angin searah dengan gerak tari Barnum dan Charity.
Banyak sekali detail-detail yang terjadi, dan itu semua campur aduk dengan musik yang ciamik dan scene yang bikin mewek-mewek. Saking terpukaunya, di kepala saya sudah muncul pikiran, "Fixed, aku mau nonton lagi," hal yang sebenarnya sudah jarang saya rasakan ketika nonton film zaman now.
Unfortunately, it was only at the begining.
LACK OF PROCESSES
Tadinya, saya kira transisi sequence yang cepat cuma berlaku di opening saja, notabene dia meringkas kisah pendewasaan karakter Barnum. Ternyata, sequence-sequence selanjutnya tak kalah singkat dan ringkas, unless this time it left us with a lot of questions upon sudden acts of the characters, caused by lack of their motive.
Kita bisa melihat Phillip Carlyle (Zac Efron) (partner kerja Barnum) fell for Anne Wheeler (Zendaya) (pemain palang gantung di sirkus Barnum) at first sight, for sure, tapi tak banyak hal signifikan yang terjadi antara mereka. Lalu tahu-tahu kita melihat mereka berdua diam-diam bergandengan tangan sembari menonton pertunjukan. W-what?? We need more affection ahead of time! Scene-scene mereka selanjutnya jadi terasa sedikit hambar karenanya.
Kasus serupa juga terjadi pada hubungan antara anggota sirkus dengan Barnum. Tak pernah terlihat mereka berlatih bersama sebelum mereka tampil pertama kali maupun setelahnya. We could only see them performing, which is when they were working. Kita tidak diberi lihat bagaimana mereka membangun kerja sama, membangun hubungan yang erat yang lebih dari sekedar partner kerja.
Later in time, saya jadi kurang bisa meresapi semangat para anggota sirkus ketika mereka harus berjuang sendiri setelah "ditelantarkan" oleh Barnum. Saya pun terbengong-bengong ketika mereka menghibur Barnum yang bangkrut dengan mengatakan bahwa Barnum adalah orang yang telah menjadikan mereka keluarga.
And sorry to say, itu bukan puncaknya. Saya lebih bengong lagi ketika di tengah pertunjukan final, Barnum dengan dramatis menyerahkan topi ikoniknya pada Philip sebagai simbol penyerahan posisinya sebagai pimpinan sirkus pada Phillip. And Phillip was shown very grateful as he felt very happy during his time managing the circus. For God's sake, we didn't see enough of him handling the circus behind the stage :0
Saya rasa, satu-satunya karakter dengan progress cerita yang cenderung baik dan proposional adalah Charity dan kedua anak Barnum. Not to mention that later Barnum and Charity had the quickest and easiest make up I've ever seen.
JURANG YANG TAK TERJEMBATANI
Dengan latar utama New York tahun 1850an, isu mengenai kesenjangan sosial keras didengungkan dalam film ini: antara kaum menengah ke bawah, kulit hitam, orang-orang dengan kelainan fisik, dan kaum elit. Sirkus Barnum mendapat penolakan yang cukup besar dari kaum elit, digambarkan lewat bullying terhadap putri Barnum yang dibilang bau kacang (nonton sirkus sambil makan kacang), lewat demo haters, dan lewat sosok kritikus New York Times yang terus-terusan meluncurkan komentar negatif terhadap sirkus Barnum dalam tulisannya: palsu dan tak tidak berkelas.
Barnum berusaha sangat keras membawa dirinya dan pertunjukkannya ke level sosial yang lebih tinggi. He ended up chose Jenny Lind (played by Rebecca Ferguson), a famous swedish singer, to be his next performer. We all could expect that later he will abandon his sircus. A good thing actually, as we also expect some genius problem solving in the next coming critical situation. (Well, I guess we all hope to see the circus member finally succeed to attract the elite)
Namun, ketika tim sirkus tak menunjukkan progress yang signifikan dalam penampilan mereka setelah ditelantarkan oleh Barnum, ekspektasi itu perlahan surut. Di akhir cerita, ketika Barnum membuka lagi sirkusnya, tak terlihat kaum elit hadir dalam kerumunan penonton. Phillip who came from a white noble family and Anne who was a black woman indeed ended up together, but that's not really Barnum's bussiness. Saya berani menyatakan bahwa pada akhirnya tokoh Barnum gagal membangun jembatani antara dua kaum ini.
Saya tahu film ini berdasarkan cerita nyata. Mungkin saat itu mereka memang tidak berhasil menggaet kaum elit. Namun, ketika mereka terang-terangan mengambil isu tersebut (bahkan menjualnya dalam trailer), setidaknya mereka bisa menghadirkan hikmah dari kegagalan tersebut di film ini.
dan quote P. T. Barnum, "The noblest art is that of making others happy." yang ditampilkan untuk menutup film tersebut, definitetly was not enough, at least for me.
ANALOGI SENSASI GEPREK CABE 15 DAN TEH MANIS PANAS
A few friend of mine also commented about how rough the CGI was. As we are architecture students, we are a bit more familiar with image/animation rendering, and can easily point out a bad one. Dengan canggihnya teknologi perfilman masa kini, khususnya di Hollywood sendiri, The Greatest Showman's was cleary a poor example.
Fi, sentimen banget sih sama filmnya? Seburuh itukah?
Yes and No.
The Greatest Showman jelas punya potensi besar. Latar cerita, karakter, dan permasalahan yang muncul semuanya menarik dan menantang untuk digarap. Line up castnya pun menurutku lebih dari layak untuk memerankan karakter-karakter yang ada dan menjawab tantangan dari konflik cerita yang telah ditetapkan. Sayangnya (sayang bangeeeet) tim produksi kurang cermat dalam mengembangkan cerita dan mengeksekusinya. Awalan yang epik tidak diiringi dengan progress cerita dan detail artistik yang idealnya terus meningkat. Excitement yang dirasakan penonton justru tambah turun sejalan dengan rampungnya film.
Ibarat makan geprek cabe 15 dan berharap merasakan sensasi pedas bertemu dengan panasnya teh manis di dalam mulutmu setelahnya, eh si mas-mas geprek malah ngasih teh anget...
Kalau Pakde Hugh Jackman bilang mereka butuh 7,5 tahun untuk memproduksi film ini, well mungkin mereka butuh waktu lebih lama lagi. Saya pun gak keberatan kalau durasi filmnya jadi lebih panjang, selama saya gak plonga-plongo lihat Zac Efron dan Zendaya tiba-tiba gandengan tangan.
EVERLASTING MUSICAL PERFORMANCES
If there are goods remained in the movie, one of it must be its musical elements. It was exciting to watch Hugh Jackman singing and dancing as I am more familiar with him acted as Logan. It was also very nostalgic to watch Zac Efron doing musical again after High School Musical trilogy ended years ago. It's funny how his singing voice has changed, become more mature, haha. The choreographies are also beautiful (despite its poor progression throughout the movie). It must have taken a lot of practice to get in sync. Terrific!
The music, no exception, is another masterpiece. I've downloaded the original soundtrack album and have been listening to it for the whole weekend. My favorites are "Never Enough" by Loren Allred (I wanna give a big appreciation to Rebecca Ferguson for her perfect lip-sync to the song when she acted as Jenny Lind), "A Million Dreams" by Ziv Zaifman, Hugh Jackman, and Michelle Williams, "This Is Me" by Keala Settle and The Greatest Showman Ensemble, "The Greatest Show" by Hugh Jackman, Keala Settle, Zendaya, Zac Efron, and The Greatest Showman Ensemble, and "Tightrope" by Michelle Williams. Well, that's nearly half of the album, hahaha. I think Benj Pasek and Justin Paul have done a very great job :)
EPILOG
Kembali ke analogi geprek cabe 15 dan teh manis hangat, meskipun berakhir dengan kekecewaan, gurihnya ayam goreng dan citarasa garam, bawang, dan cabe masih membekas nikmat di lidah saya.
To remind you, these are my personal opinions. So it's up to you whether you'll agree with me or not. Saya pun bukan ahli sinematografi atau semacamnya. Saya hanya seorang movie-and-storytelling-nerd yang gemas melihat hasil produksi yang kurang memuaskan. Hehe.
I'd be very happy to start a discussion about the movie. If you have any other opinion please drop a line in the comment box below.
Thank you for your time and I hope to see you in another movie review :D
Yogyakarta, 13 Januari 2018
Di dalam kamar kos di sekitar McD Jakal
0 comment