Dulu, waktu aku masih kecil, waktu aku belum sadar besar cinta kedua orang tuaku, aku sering sedih bila berkunjung ke kerabat di desa yang sudah sepuh dan tinggal sendirian di rumah yang tua. "Mbah", begitulah aku menyapa mereka. Jalannya grumah grumuh, sudah sering lupa juga. Menurut Bapak, anak-anak mereka ada jauh di luar kota.
"Waw.. anaknya pasti kaya-kaya", pikirku. Kemudian, aku mengedarkan pendanganku ke sekeliling rumah Mbah dan yang kurasakan hanya miris. "Irikah Mbah pada anak-anaknya yang sudah kaya? Apakah ia marah pada mereka karena jarang berkunjung? Geramkah ia bila tak disantuni setiap bulan?"
Ya, itu pikiranku dulu. Bila kulihat lagi, diriku ini miskin pencerahan.
Kini, saat aku sudah agak besar, sudah mengicipi asam manis kehidupan, sudah mulai menyadari betapa besarnya cinta orang tuaku, aku kembali mengunjungi Mbah. Diriku tersentak dalam diam ketika obrolan-obrolan ringan mengudara. Mbah bercerita macam-macam, terutama tentang anak-anaknya di kota, yang sudah makmur, sudah punya cucu yang lucu, yang sayang pula pada Mbah, yang sering membawakannya beras, daging, dan sembako lainnya.
Orang tua, tak pernah iri pada anaknya, tak akan pernah. Orang tua akan lebih bahagia bila anaknya hidup lebih makmur walau hanya sedikit. Orang tua...
Kupandangi kedua orang tuaku. Kembali aku tertohok. Bagaimana aku, seorang anak kepada orang tua(ku)?
Tohokan di awal Syawal