Alessandro Gottardo |
INVISIBLE IMPACT
Sejak awal membuat blog ini
saya memang sudah sering sharing tentang musik-musik yang saya dengarkan. Blog
ini juga menjadi saksi sepak terjang saya di dunia kpop selama tahun 2010
hingga tahun 2014, dan sekarang berlanjut lagi. Kalau ngomongin selera musik,
sebenarnya musik yang saya dengarkan gak terbatas di kpop saja. Pernah saya
sampaikan di #nowplaying Oktober 2017 bahwa saya juga menyukai musik indie
selama kuliah.
Namun, terlepas dari genre, musik,
layaknya buku, film, dan media informasi lainnya pasti membawa nilai atau
filosofi tersendiri dan sedikit banyak membawa pengaruh bagi mereka yang
menikmatinya, tidak terkecuali saja. Menikmati musik memang menyenangkan, seringkali
sampai tidak menyadari atau pura-pura mengabaikan cara penyampaiannya yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang saya anut. Industri musik barat dan
Korea tentunya menjadi contoh yang sangat relevan dalam kasus ini, lewat kisah
percintaan yang berlebihan, lirik, kostum, dan koreografi sensual, serta semakin
banyaknya pengangkatan isu LGBT sebagai hal yang lumrah.
Meskipun secara fisik dan
dalam keseharian saya tidak terlihat kecenderungan meniru hal-hal tersebut,
kenyataan bahwa saya menikmati beberapa produk tersebut mengganggu pikiran
saya. Saya khawatir apabila secara tidak sadar saya mulai membangun toleransi
terhadap kebatilan. Beruntung saya ditempatkan Allah di Indonesia, negara
dengan mayoritas muslim yang juga masih menjunjung tinggi etika dan nilai
moral. Lalu bagaimana jika nantinya saya harus menghadapi lingkungan yang jauh
berbeda atau jika terjadi pergeseran nilai di lingkungan saya sendiri?
Membagi lagu-lagu tersebut di
blog ini menjadi permasalahan selanjutnya. Let’s say saya sudah dewasa dan bisa
membedakan hal yang baik dan buruk. Namun, bagaimana dengan mereka yang membaca
tulisan saya? Sesulit memprediksi masa depan, saya juga tidak bisa menjamin
setiap pembaca tulisan punya prinsip yang cukup kuat dalam menghadapi hal-hal
tersebut. Saya tidak ingin nambah dosa dengan tanpa sengaja ngajak orang lain
bertindak batil.
PILIHAN LAGU DAN BAGAIMANA
ORANG MENILAI SAYA
Beberapa kali saya menemukan
diri saya ragu untuk membuat daftar #nowplaying tiap bulannya. Sebab utamanya
adalah jika lagu itu tampaknya akan membuat “nilai” saya di mata orang lain
turun (ya mostly saat lagunya kpop). Seringkali saya takut dianggap nerd
karena menyukai lagu-lagu yang dibawakan oleh pria-pria “banci”. LOL. Beberapa
kali saya mengurungkan niat memasukkan sebuah lagu atau menurunkannya ke
kategori “honorable mention” karena ketakutan tersebut. Padahal, di sisi lain
saya sendiri merasa lagu-lagu tersebut punya makna dan hikmah tersendiri yang
bisa dibagi pada para pembaca.
Pekan lalu saya baru saja
menyelesaikan buku Fumio Sasaki berjudul “Goodbye, Things”. Di sana ia
menjelaskan tentang bagaimana kita membangun “self-worth” atau nilai diri
melalui barang-barang kita. Melalui barang-barang, kita ingin menunjukkan
seberapa baiknya dan menariknya diri kita. Fumio Sasaki memberi contoh tentang
kebiasaan lamanya mengoleksi kaset atau CD musik yang akhirnya ia sadari
sebagai upayanya menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya mengerti soal musik dan
memiliki pengetahuan yang luas tentangnya. Kasus Fumio Sasaki ini sepertinya
juga berlaku di saya. Selain lagu-lagu yang saya malu untuk tunjukkan, ada juga
lagu-lagu yang secara tidak sadar “naik” dengan terpaksa karena saya takut
dianggap tidak ngetrend karena tidak menyukai lagu tersebut.
Menyedihkan ya? Wkwk
PURA-PURA MENJADI MUSISI
Pembaca #nowplaying juga
mungkin menyadari hal ini. Hampir pada semua lagu saya mencoba menganalisis
aspek musikalitasnya. Ridiculous. Sejak kecil saya tidak punya
background teori dan komposisi musik. Sekarang mau sok-sokan mengerti. Sama
seperti kasus Fumio Sasaki yang saya sebutkan sebelumnya, niatnya biar
kontennya semakin kaya dan biar keren karena ngerti musik (hahaha), tapi ya
akhirnya gitu guys, jadinya maksa :”))) SAYA SENDIRI GAK NGERTI DENGAN APA YANG
SAYA TULIS!
Saya kemarin sempat belajar
sedikit-sedikit dari YouTube tentang music theory, tapi saya rasa ilmu
yang belum matang tersebut malah jadi penghambat saya untuk merasakan musik
setulus sebelumnya. Musik yang baik bagi saya sejak awal adalah yang mampu
menyentuh hati. Meski ia dari genre yang belum pernah saya dengar
sebelumnya, atau dari bahasa yang sangat berbeda dengan yang saya ketahui, musik
yang baik akan tetap mampu mengkomunikasikan makna yang dibawanya.
CONCLUSION
Ketiga hal tersebut adalah
faktor utama yang menghambat jalannya #nowplaying. Niatan awal yang tadinya
sekadar berbagi musik-musik yang saya anggap bagus malah terdeviasi ke sana ke
mari dan lepas dari keyakinan saya sebagai umat muslim. It was very
time-consuming as I want to please everyone, but forgot to please me and other
things that I would also like to do.
Untuk mengembalikan
#nowplaying ke jalan yang benar (wkwk), berikut strategi yang saya persiapkan:
Saya akan hapus beberapa
konten blog yang berpotensi nambah dosa saya yang membaginya dan kamu yang
melihatnya. Saya juga akan lebih selektif terhadap lagu-lagu yang akan masuk ke
#nowplaying. Tentunya saya akan mengutamakan lagu-lagu yang jujur, punya makna
dalam, atau merupakan kritik terhadap isu tertentu (misal lagu “Instagram” oleh
DEAN yang muncul di #nowplaying Januari 2018) supaya bisa lebih bermanfaat bagi
kita yang mendengarnya. Saya juga tidak akan bertele-tele membahas musikalitasnya,
wkwk. Perkara lagu itu lame atau semacamnya, biarlah. Yang bisa saya
pastikan adalah lagu-lagu tersebut membawa pengaruh positif bagi saya, dan saya
sangat senang untuk dapat membaginya dengan kalian.
Magelang, 8 April 2018